NovelToon NovelToon
Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Beda Usia / Pelakor / Identitas Tersembunyi
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: ila akbar

‎Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
‎Menjalin hubungan dengan duda ❌
‎Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
‎Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4

Mawar menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. Dengan jemari yang masih gemetar, ia kembali membuka halaman berikutnya dan mulai membaca.

Hari itu, sesuatu yang tak pernah kuduga terjadi.

Di depan pintu kontrakan kecil kami, berdiri kedua orang tuaku.

Aku terdiam, menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Wajah mereka tak lagi sekeras dulu. Waktu telah mengubah banyak hal—menipiskan keangkuhan yang dulu begitu kukenal. Ibu menangis, sementara Ayah menatapku dengan sorot mata yang sulit kutafsirkan.

“Resti… pulanglah.”

Suaranya lirih, tidak ada paksaan, tidak ada kemarahan. Hanya permohonan yang penuh penyesalan.

Aku tetap diam.

“Pulang? Setelah semua yang terjadi?” batinku.

“Ayo kembali ke rumah,” lanjut Ayah. Suaranya terdengar lebih lembut dari yang pernah kuingat. “Lupakan semuanya… lupakan kesalahan masa lalu.”

Aku menatap mereka satu per satu, mencari niat tersembunyi di balik kata-kata itu. Namun, saat aku melihat Ibu menggenggam tangan Anjani dengan mata berkaca-kaca, aku tahu... mereka benar-benar menginginkan aku kembali.

Mungkin mereka akhirnya menyadari betapa sakitnya hidup tanpa keluarga. Mungkin penyesalan telah memakan habis kesombongan mereka.

Dan aku… aku hanya ingin memberi Anjani dan Mawar kehidupan yang lebih baik.

Dengan hati yang masih penuh luka, aku akhirnya mengangguk.

Bertahun-tahun setelah kepergian Mas Tama, bayangannya masih menghantui setiap sudut pikiranku. Aku terus mengenang senyum hangatnya, genggaman tangannya yang menenangkan, dan janji-janji yang kini hanya tinggal kenangan. Rasa kehilangan itu begitu dalam, seperti jurang tak berujung yang terus menarikku semakin tenggelam.

Orang tuaku, yang tak tahan melihatku terus terpuruk dalam kesedihan, akhirnya mengambil keputusan. Mereka ingin menjodohkanku dengan seorang pria kaya, seorang pengusaha sukses bernama Bumi.

Malam itu, Mas Bumi dan keluarganya datang melamarku. Aku duduk di ruang tamu, jantungku berdebar tanpa alasan yang jelas. Entah karena gugup, atau karena perasaan asing yang tiba-tiba menyelinap ke dalam hatiku.

Namun, saat mataku bertemu dengan tatapan Mas Bumi, ada sesuatu dalam dirinya yang mengingatkanku pada Mas Tama. Cara ia berbicara, kelembutan sorot matanya—semua itu membawa kembali kenangan yang telah lama kusimpan rapat-rapat. Ada kehangatan dalam dirinya, sesuatu yang tak lagi kurasakan sejak kepergian Mas Tama.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasakan seberkas cahaya dalam hatiku.

Mungkin... aku bisa bahagia lagi.

Mungkin, dengan Mas Bumi, aku bisa menemukan kembali arti cinta yang sempat hilang. Dan yang terpenting, Anjani dan Mawar akan memiliki sosok ayah yang bisa menyayangi mereka, sebagaimana Mas Tama dulu menyayangi kami dengan sepenuh hati.

Mawar terus membaca, matanya terpaku pada setiap kata yang tertulis di halaman itu. Namun, semakin jauh ia membaca, semakin dadanya terasa sesak.

Hingga akhirnya, ia tiba pada bagian yang membuat napasnya tertahan.

Sebuah kisah yang lebih keji dari yang pernah ia bayangkan.

Sebuah luka yang tak termaafkan.

Malam yang seharusnya menjadi malam bahagiaku bersama Mas Bumi...

Malam di mana seharusnya aku mengenakan gaun pengantin dan mengucap janji suci...

Justru berubah menjadi awal dari mimpi buruk yang tak pernah kubayangkan.

Malam itu, udara dingin menggigit kulit, menyusup hingga ke tulang. Langit gelap tanpa bintang, seakan menjadi pertanda buruk akan sesuatu yang mengerikan.

Aku duduk diam di depan cermin, gaun putih panjang menjuntai di tubuhku. Riasanku sudah sempurna, wajahku begitu cantik malam ini—malam yang seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidupku.

Mas Bumi dan keluarganya masih dalam perjalanan. Di luar kamar, suasana begitu ramai. Ayah, Ibu, Anjani, dan Mawar sibuk menyambut kedatangan mereka. Bahkan Lusi, adikku yang selalu ceria, ikut membantu memastikan semuanya berjalan sempurna.

Aku tersenyum kecil, menanti kebahagiaan yang tinggal beberapa saat lagi…

Namun, kebahagiaan itu tidak pernah datang.

Yang datang adalah mimpi buruk.

BRAK!

Pintu kamarku terbuka paksa, menabrak dinding dengan suara menggelegar. Aku terlonjak dari kursi, jantungku seakan berhenti berdetak.

Beberapa pria berbadan kekar menerobos masuk. Wajah mereka tertutup masker hitam, hanya menyisakan sepasang mata yang memancarkan kebengisan. Nafas mereka berat, langkah kaki mereka mantap dan terukur—mereka bukan orang biasa.

Mereka datang untukku.

Aku tersentak bangkit, berniat lari ke pintu. Namun, sebelum sempat berteriak meminta tolong, satu tangan kasar menarik rambutku ke belakang.

“Aaaakh!” Aku menjerit, meronta, berusaha melepaskan diri.

Tubuhku terhempas ke lantai, keras dan menyakitkan. Kepalaku membentur ujung meja, rasa panas menyebar di pelipisku, diikuti dengan sesuatu yang hangat mengalir turun—darah.

Aku berusaha merangkak, ingin kabur, ingin mencari pertolongan… Tapi mereka terlalu cepat.

Salah satu dari mereka menekan bahuku ke lantai, tangannya mencengkeram rahangku begitu kuat hingga rahangku terasa nyaris remuk. Aku dipaksa menatapnya.

Mata hitam itu kosong. Tidak ada belas kasih. Tidak ada rasa ragu.

“Diam.” Suaranya datar, dingin, seperti pisau tajam yang menusuk langsung ke jantungku.

Aku menjerit, mencoba melawan, tapi mereka terlalu kuat.

Kain kotor dilemparkan ke wajahku, membungkam mulutku dengan kasar. Tanganku dipelintir ke belakang, diikat erat dengan tali yang begitu kencang hingga kulitku terasa seperti terbakar.

Aku terus menendang, memberontak, berusaha menyingkirkan tangan-tangan keji itu. Tapi percuma.

Aku tidak berdaya.

Mereka menyeretku keluar kamar, langkah kaki mereka tergesa-gesa, seperti sedang berlomba dengan waktu.

Aku menendang sekuat tenaga, berharap ada yang mendengar—Ayah, Ibu, Mawar, Anjani… atau bahkan Lusi!

Tapi tak ada yang datang.

Di luar sana, suara tawa dan alunan musik pesta masih menggema, bercampur dengan percakapan riang. Mereka semua larut dalam kebahagiaan, dalam perayaan yang seharusnya menjadi milikku.

Ke mana mereka?

Mengapa tak ada yang menolongku?

Ya Tuhan… tolong aku!

Aku dilempar ke dalam sebuah mobil van hitam yang menunggu di luar rumah. Pintu tertutup rapat, menjerumuskanku dalam kegelapan.

Napas tersengal, dada naik turun, tubuhku mulai gemetar. Mataku kabur oleh air mata yang tak terbendung lagi.

Aku tidak tahu ke mana mereka akan membawaku.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku.

Mobil terus melaju menembus kegelapan malam, meninggalkan semua yang kukenal, semua yang kucintai, jauh di belakang. Jantungku berdebar tak karuan, seolah memberi peringatan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

Lalu, tiba-tiba mobil berhenti.

Keheningan terasa lebih mencekam daripada jeritan ketakutanku sendiri. Aku mencoba menajamkan pendengaran, mencari suara, tanda kehidupan… tapi yang kudengar hanya desir angin dan gemerisik dedaunan.

Saat pintu mobil dibuka, udara dingin menusuk kulitku, membawa serta bau tanah basah dan pepohonan yang menjulang tinggi.

Hutan lebat… menjadi saksi penderitaan yang harus kutanggung malam itu.

Mereka...

Mereka tidak hanya menculikku. Mereka memperlakukanku layaknya binatang, merenggut kehormatanku tanpa sedikitpun belas kasih.

Mawar terhenyak, tubuhnya membeku seketika. Tangannya yang gemetar terangkat, menutup mulutnya yang mulai terbuka tanpa suara. Isakan tertahan di tenggorokannya, menciptakan sesak yang begitu menyesakkan dada.

Matanya membelalak, tidak berkedip, menelusuri setiap kata yang tertulis di dalam diary itu. Jemarinya mencengkeram halaman kertas dengan begitu erat hingga nyaris merobeknya.

Dunia di sekitarnya terasa berputar.

Jadi ini… alasan Ibu kehilangan kewarasannya?

Bukan hanya karena pengkhianatan.

Bukan hanya karena Tante Lusi merebut Om Bumi…

Tapi karena sesuatu yang jauh lebih keji.

Lebih menyakitkan.

Lebih menghancurkan.

Mawar merasa tenggorokannya mengering, udara di ruangan seakan menipis. Matanya kembali menelusuri tulisan itu, berharap ia salah membaca, berharap semua ini hanyalah kesalahpahaman belaka. Tapi tidak.

Kata-kata itu ada di sana. Nyata. Tak terbantahkan.

Selama ini, ia dan Anjani selalu mengira bahwa yang membuat Ibu kehilangan kewarasannya adalah pernikahan Lusi dengan Bumi. Mereka mengira, itu saja sudah cukup menyakitkan. Tapi ternyata… kenyataan yang tersembunyi jauh lebih mengerikan.

Dengan tangan yang semakin bergetar, perasaan sakit yang merayapi dadanya, dan dendam yang mulai menggerogoti hatinya, Mawar memaksakan diri untuk melanjutkan membaca.

Ia harus tahu segala-galanya.

Ia harus tahu seberapa dalam luka yang telah diukir dalam hidup ibunya.

Dan lebih dari itu…

Ia harus tahu siapa dalang di balik kisah keji ini.

1
Aqilah Azzahra
semangat kak
Ila Akbar 🇮🇩: ♥️♥️♥️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!