Menyukai seseorang tanpa tahu balasannya?
tapi dapatku nikmati rasanya. Hanya meraba, lalu aku langsung menyimpulkan nya.
sepert itukah cara rasa bekerja?
ini tentang rasa yang aku sembunyikan namun tanpa sadar aku tampakkan.
ini tentang rasa yang kadang ingin aku tampakkan karena tidak tahan tapi selalu tercegat oleh ketidakmampuan mengungkapkan nya
ini tentang rasaku yang belum tentu rasanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asrar Atma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
seharusnya hati-hati
Pov Daniza
"Hati-hati bawa sepeda nya Daniza, lihat lutut,siku dan tangannya tergores. Kalau engga, nggak usah sekolah hari ini"Ayah membalikkan telapak tanganku saat aku hendak bersalaman dengannya
"Nggak usah saja turun hari ini, ngirim surat saja lewat Ali."aku membawa tangan ayah untuk ku cium "Nggak apa ayah, aku tangguh kok" aku mendongak menunjukkan betapa aku serius akan ucapanku seraya tersenyum sampai mataku menyipit.
"Yaudah kalau begitu, tapi Hati-hati tetap"lalu aku berjalan menghampiri Mama dan bersalaman dengannya
"Makanya jangan menghayal bawa sepedanya, syukur sepeda nya ngga rusak "begitu kata Mama, malah menyalahkan anaknya dan menyayangkan sepeda, beda sekali sama Ayah.
Aku mengangguk saja lalu mencium Delia yang mengoceh disekitar Vino.
"Jaga kakak mu loh Verrel"aku mendongak mendengar pesan Ayah pada Verrel yang ternyata tengah bersalaman
"ngga kebalik, Yah. Daniza yang kakak, masa aku yang adik jaga dia" lalu Verrel bersalaman dengan Mama
"kamu itu laki-laki, wajarlah kamu yang jaga. Kakakmu kan perempuan"
"lah gitu, emang kalo Verrel laki ngga bisa jatuh, ngga bisa sakit, ngga boleh dijaga. Curang sekali perempuan"
"ngelawan kamu sama Ayah" Ayah mengangkat tangannya lalu menepuk pelan bokong Verrel membuat kami terkekeh
"Saling jaga saja"itu pesan Mama seraya melihat kami bergantian, pesan kali ini terjadi sebab kemaren aku pulang dengan meringis dan sedikit pincang, lutut dan tanganku hanya sedikit yang cedera ringan tapi karena Ayah kaget sekali, aku jadi hampir menangis
" Daniza kamu bawa sepedanya pelan- pelan saja, sekali dua tiga kayuh berhenti biar roda nya berputar pelan-pelan. Nggak apa-apa lambat sampai yang penting selamat sampai tujuan" Ayah sampai memperagakan gerakannya, membuatku tidak kuasa jika tidak tersenyum.
Lalu Ayah tertawa dengan renyah sampai garis kerutan matanya terlihat jelas, dan itu adalah senyuman dan tawa yang paling ku suka, dari Ayah pastinya. Bahkan seakan belum cukup pesan itu, atau mungkin karena rasa Kawatirnya. Ayah masih berpesan saat ban sepedaku mulai ku kayuh.
"lihat kanan kiri nak, hati-hati dijalan tetap waspada"
Aku menepikan sepedaku ke pingir jalan saat hampir sampai didepan halaman rumah yang penuh taman bunga yang beraneka ragam. Di teras rumah kayu berloteng Lani sudah menunggu dengan sepeda yang sudah siap.
"Duluan Daniza..."
"Duluan Kak.."aku menoleh sekaligus mendengus menanggapi cara Verrel berpamitan- tidak sopan.
Mentang-mentang badannya lebih tinggi dari aku, apa Vano juga akan seperti itu nanti, hari ini saja dia masih memanggil kakak, tapi siapa yang tahu nanti?.
"Daniza.."aku menghentikan sepedaku dengan kaki setengah melompat dan aku langsung turun dari sepeda
"Aku kelamaan ngga Lan ?"tanya ku saat Lani mendekat dengan menaiki sepedanya dan berhenti di dekat ku.
Takutnya aku benar-benar terlambat gara-gara mandi yang kelamaan karena harus menghindarkan luka ku dari air, biar tidak perih padahal Lani hari ini piket kelas.
"Ngga, aku baru juga siap. Luka kamu gimana Dan ?" Lani melihat lutut ku, aku menyikap rok sekolahku sampai memperlihatkan lutut yang diperban
"lumayan perih tapi udah diobati. Udah siapkan, ayo berangkat "aku melihat ke rumah Lani yang pintunya tertutup rapat, mungkin karena orangtua nya sedang berdagang. Pantas saja dia merasa kesepian.
Dijalan aku bercerita pada Lani bagaimana Ayah mengajarkan cara bersepeda yang aman sembari langsung mencobanya. Lalu kami tertawa bersama saat betapa lambat nya cara yang diajarkan Ayah, lebih persis seperti orang yang baru belajar sepeda.
"Daniza, aku sampe kaget lihat kamu kemaren. Tiba-tiba bangat oleng. Sampai Han yang didepan teras langsung lari ngelihat."aku jadi teringat bagaimana Haneul berjongkok didepanku dan mengulurkan tangannya, tapi aku justru hanya bisa menatap tangan dan wajahnya bergantian sambil meringis, sampai perlahan uluran itu ditarik kembali oleh pemiliknya.
"Aku juga kaget tiba-tiba langsung hilang keseimbangan, tapi makasih udah bantuin"
Sampai disekolah aku lalu memarkir kan sepedaku, melihat kearah parkiran motor- kendaraan Haneul telah ada disana. Dia pagi-pagi sekali hari ini karena piket kelas, ruang kelas pasti sudah bersih cuma olehnya sendiri yang lain cuma kebagian ngambil buku paket.
Saat aku tengah melepas sepatu, Lani mengadu padaku. Aduan yang terdengar bagaikan lagi ngeluh tentang kelakuan pasanganku kepadaku. Begitu cara otak ku memproses nya, membuatku jadi mengulum senyum merasa tidak enak pada Haneul.
"ngga enak kalau satu jadwal piket sama Han itu, Dan.."Padahal aku malah ingin sekali satu jadwal dengan Haneul dari dulu saat aku mulai menyukainya cuma dari dulu sampai sekarang tidak pernah terwujud
"aku ngga kebagian apa-apa padahal berangkatnya udah pagi, apa pas subuh aja kali yaa Dan, biar ngga keduluan Han."aku memunggungi Lani, ingin menaruh sepatuku di rak sepatu buatan kerja kelompok ku- buatan Haneul terutama
"Siapa yang mau nemenin Lan ?, kalau subuh gitu aku takut" Lani terkekeh dibelakang ku, aku melihat sepatu Haneul dan langsung meletakkan sepatuku disamping sepatu hitam miliknya- kedua sepatu itu terlihat serasi dan lucu. Hah...begini saja aku bahagia.
"Iya ya, takut ada penampakan. Aku juga takut kali Dan, tadi itu cuma bercanda doang" aku berbalik tanpa sengaja melihat kesamping kearah koridor, dari sana mataku langsung mendapati Haneul tengah berjalan dengan membawa bak sampah.
Dia kemungkinan habis membuang sampah, keningnya terangkat dengan tatapan kearah ku berdiri. Siapa gerangan yang dia lihat ? ,tapi aku tidak ingin berbalik melihat kebelakang, takutnya seseorang yang menarik perhatiannya sampai cara melihatnya seperti itu adalah Rina.
Tapi aku masih mencari perhatian padanya dengan berjalan tertatih menuju kelas, ingin menunjukkan bagaimana keadaan ku setelah terjatuh dari sepeda, kemaren sore, didepan halaman rumahnya.
"Tambah sakit Dan ?"dengan tergagap aku pun menjawab, membenarkan pernyataan Lani
" Padahal tadi kamu jalan nya ngga separah ini deh, perasaan bahkan tadi sempat kena bodi sepeda"
"ka..rena it-tu tuh jadi sakit"
"Coba ku lihat"bersamaan dengan ucapannya itu tangan Lani ikut bergerak ingin menyikap rok ku, aku segara menahannya sebelum terbuka mencapai lutut.
"Takutnya berdarah Dan, "aku menggeleng lalu melirik Haneul yang semakin dekat.
"aman kok" aku meyakinkan sambil tersenyum, beruntung Lani langsung mengangguk tidak lagi penasaran.
Aku langsung menghela napas lega,aman pikirku. Tidak ke ulang seperti kemaren saat Lani berteriak dengan kencang memanggil ku yang terjatuh dan Haneul yang tiba-tiba sudah ada didepan mataku ketika aku baru saja mendongak.
"ini pasti sakit, bisa berdiri Daniza ? aku bisa bantu kamu berdiri" ucapan yang dilontarkan dengan lembut, uluran tangan dan tatapan yang begitu dalam tetap membuatku bergeming, lalu Lani datang masuk diantara kami dan langsung menyikap rok sekolah ku dan tepat saat itu Haneul membuang pandangan nya sambil berdehem lalu bangkit, dan itu membuatku malu.
Rasanya Aku bagai perempuan penggoda yang pura-pura jatuh untuk menggoda.
Apalagi saat Haneul mengatakan"tutup rok mu" rasa sakitnya bertambah berkali lipat karena malu
aaaaaaa aku tak sanggup menungguuuu