NovelToon NovelToon
Terjerat Cinta Ceo Impoten

Terjerat Cinta Ceo Impoten

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Obsesi
Popularitas:941
Nilai: 5
Nama Author: Nona_Written

"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"

**

Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.

bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..

jangan lupa Follow ig Author
@nona_written

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 1: Rumor yang tidak sedap

Suasana kantor Willson Company sore itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma tanah basah yang samar tercium dari jendela kaca yang terbuka sedikit. Di dalam ruangan besar yang minimalis dan elegan itu, Makes Rafasya Willson duduk tegak di balik meja kerjanya, memandangi sosok perempuan muda yang berdiri dengan kepala tertunduk.

“Jadi menurut kamu, aku tidak bisa memberikanmu keturunan, Zha?”

Suaranya tenang. Datar. Tapi ada luka yang jelas mengendap di ujung nada bariton itu. Luka yang tak bisa dia tutupi, meski wajahnya tetap tanpa ekspresi.

Zhavira terdiam. Kedua tangannya saling meremas di depan perut, tubuhnya sedikit gemetar. “Ma—maafkan saya, Pak. Saya... tidak bermaksud menyakiti Anda. Hanya... hanya saja, saya takut.”

Makes bersandar ke kursinya, matanya masih menatap lurus pada Zhavira—sekretaris pribadinya yang sudah bekerja dengannya selama lima bulan terakhir. Awalnya, dia tak pernah menyangka akan jatuh cinta. Dia tak punya waktu untuk urusan perasaan. Dunia bisnis terlalu kejam untuk membiarkan kelembutan tumbuh di sela-selanya.

Namun sejak kedatangan Zhavira—dengan mata bulatnya yang seperti danau jernih, suara lembutnya, dan cara dia memperhatikan detail kecil dalam pekerjaan—hatinya mulai tumbuh liar. Tanpa ia minta.

**

—Makes Rafasya Willson—

Dia tak pernah bisa melupakan hari pertama gadis itu masuk ke ruangannya. Membawa map cokelat dan gugup saat mengucapkan salam.

Suaranya kecil, tapi jelas.

Senyumnya tipis, tapi hangat.

Tidak seperti wanita lain yang pernah mencoba masuk ke hidupnya dengan gaun mewah dan wewangian mahal, Zhavira justru datang dengan kesederhanaan dan kejujuran. Tak ada ambisi dalam tatapannya, hanya dedikasi.

Dan di situlah Makes jatuh. Pelan-pelan. Dalam diam.

Dia selalu mengamati dari jauh. Cara Zhavira memegang cangkir kopi, bagaimana dia mencatat dengan teliti, bahkan ketika memperbaiki dasinya diam-diam sebelum meeting penting. Kecil, nyaris tak terlihat—tapi terasa.

Perasaan itu semakin tumbuh ketika Makes melihat sisi lembut Zhavira saat berbicara dengan klien yang kasar. Gadis itu tetap sopan, tetap profesional. Tidak banyak bicara, tapi tahu waktu yang tepat untuk diam. Zhavira bukan sekadar sekretaris. Dia pengingat. Bahwa hidup bukan hanya tentang angka, grafik, dan tekanan.

Sayangnya, Makes tahu terlalu baik—cinta diam-diam tidak pernah cukup. Terutama untuk seseorang seperti Zhavira, yang memiliki mimpi sederhana: keluarga, anak-anak, dan cinta yang bisa tumbuh dari kesetiaan.

Dan dia?

Dia hanya pria dengan rumor murahan: impoten, arogan, terlalu fokus pada bisnis, terlalu dingin untuk dicintai.

Itulah mengapa kata-kata Zhavira tadi begitu menghantamnya. Membuka luka yang sudah lama dia bungkam di balik jas mahal dan jabatan prestisius.

**

“Zhavira,” Makes memanggilnya lagi, kali ini lebih pelan, tapi lebih menusuk.

Zhavira menatapnya, walau dengan ragu. “Ya, Pak?”

“Aku tidak butuh penilaian orang. Tapi saat hal itu datang darimu... rasanya jauh lebih menyakitkan.”

Gadis itu mengatupkan bibir. Hatinya mencelos. “Saya tidak berniat menilai, saya hanya—”

“Takut kalau menikah dengan pria impoten,” potong Makes, kali ini dengan senyum tipis yang tidak sampai ke mata.

Diam.

Hening sejenak menguasai ruangan itu. Lalu suara petir yang terlambat datang menyusul, membuat Zhavira terlonjak kecil.

“Saya... saya cuma ingin menikah dengan seseorang yang bisa memberi saya keluarga, anak-anak...,” ucap Zhavira pelan. “Itu impian saya sejak kecil.”

Dan Makes tahu, gadis itu jujur. Lugu. Tapi kejujuran kadang seperti sembilu.

“Siapa bilang aku impoten?”

Pertanyaan itu terdengar bagai dentuman di kepala Zhavira. Dia menatap pria itu kini dengan mata membesar. “A—apa?”

“Siapa bilang aku impoten?” ulang Makes, kini bangkit dari duduknya. Ia berjalan pelan ke arah jendela, menatap langit Jakarta yang masih diselimuti mendung.

Zhavira menggigit bibir bawahnya. Tidak berani menjawab.

“Aku hanya tidak pernah tertarik menjalin hubungan... sampai kamu datang,” lanjut Makes, suaranya nyaris seperti bisikan, tapi cukup jelas untuk membuat jantung Zhavira berdetak lebih kencang.

Seketika, ia mengutuk dirinya sendiri. Kenapa dia bicara tentang keturunan? Kenapa dia mengutarakan ketakutan itu? Kenapa... Makes Willson terlihat kecewa?

“Aku tahu kamu mendengar gosip itu,” kata Makes, menoleh pelan padanya. “Tapi kamu tahu siapa aku, Zha. Apa kamu pikir aku tipe pria yang akan... membiarkan diriku diseret oleh rumor?”

Zhavira menggeleng cepat. “Tidak, Pak.”

Makes menatapnya lebih lama, sebelum akhirnya kembali duduk. “Lain kali, pikirkan baik-baik sebelum bicara.”

Zhavira mengangguk pelan, lalu membungkuk sopan. “Saya minta maaf.”

Saat hendak melangkah keluar, Makes memanggilnya sekali lagi.

“Zhavira.”

Ia berhenti. Menoleh.

“Kalau kamu memang ingin punya anak... kamu hanya perlu minta,” ucap Makes dengan senyum tipis dan tatapan menusuk, “karena aku tahu betul bagaimana cara membuatnya.”

Wajah Zhavira memerah seketika. Hatinya berdebar kacau. Ia tak tahu harus menjawab apa, jadi ia hanya buru-buru keluar, meninggalkan Makes yang kini menyandarkan diri ke kursinya, mengusap pelipisnya dengan napas berat.

‘Satu langkah terlalu jauh... tapi aku sudah tidak bisa mundur.’

**

Sudah tiga hari sejak percakapan canggung itu terjadi.

Tiga hari sejak Makes Rafasya Willson, bosnya yang dingin dan ditakuti banyak orang, mengucapkan kalimat yang tak bisa Zhavira lupakan. Kalimat yang sukses membuat tidurnya tak tenang, pikirannya tak karuan, dan langkahnya terasa berat setiap masuk ke ruang kerjanya.

“Kalau kamu memang ingin punya anak... kamu hanya perlu minta.”

Zhavira menggigit bibir saat mengingatnya. Ia menyesal. Menyesal telah membiarkan pikirannya yang impulsif membuat bibirnya melontarkan sesuatu yang begitu sensitif. Harusnya dia tahu batas. Harusnya dia tetap profesional.

Itulah sebabnya sejak hari itu, dia menjaga jarak. Tidak lagi menatap mata Makes terlalu lama. Tidak lagi mengantarkan kopi ke meja dengan catatan kecil. Tidak lagi menawarkan diri untuk ikut rapat luar kantor jika tidak diperintah langsung.

Namun yang membuatnya lebih panik lagi adalah satu hal: semakin ia menjaga jarak, Makes justru semakin mendekat.

“Zhavira, kamu ikut saya ke meeting dengan klien di luar siang ini. Saya butuh catatan kamu.”

Zhavira menoleh dari meja kerjanya. “Biasanya itu bagian Pak Dika, Pak...”

“Minggu ini kamu yang tangani aku langsung. Ada yang ingin aku ubah dari alur laporan mingguan.”

Padahal, laporan itu selalu sama selama tiga bulan terakhir.

Zhavira mengangguk pelan, tak berani membantah. Tapi jantungnya berdetak tak menentu.

**

Mobil hitam elegan melaju membelah jalanan Jakarta. Di dalamnya, hanya mereka berdua. Sopir di depan, sementara Zhavira duduk di kursi penumpang belakang bersama Makes.

Hening.

Zhavira sibuk menatap jendela, berpura-pura memeriksa email di ponsel, sementara Makes memandangi wajahnya dengan tatapan penuh kalkulasi. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi ia tahu, gadis itu sedang menutup pintu perlahan. Dan dia tidak suka pintu yang ditutup.

“Aku tidak suka kamu menjauhiku,” ucap Makes pelan, tapi cukup terdengar di tengah sunyi mobil.

Zhavira tersentak, menoleh cepat. “A—apa?”

“Mata kamu bahkan tak lagi mau menatapku, Zha.”

Zhavira menunduk. “Saya hanya ingin tetap profesional, Pak.”

Makes tertawa pelan, hambar. “Lucu. Kau tetap profesional bahkan ketika hatimu takut tak punya keturunan.”

Wajah Zhavira memerah. “Itu kesalahan saya. Dan saya benar-benar minta maaf.”

“Kenapa kamu meminta maaf tapi terus menghindar?”

Kembali diam.

Hati Zhavira berdesir. Dia tahu ini bukan hanya soal pekerjaan lagi. Makes perlahan merobek batas yang selama ini dia jaga. Tapi... kenapa?

Kenapa seorang CEO yang begitu dingin dan dihormati, kini mengejarnya?

“Aku tak butuh sekretaris yang hanya bekerja dengan tangan. Aku butuh yang bekerja dengan hati,” ucap Makes lagi, matanya tajam menusuk. “Dan kamu dulu seperti itu.”

Zhavira menahan napas. Tangannya mengepal di pangkuan.

“Pak, saya hanya ingin menjaga agar tidak ada... kesalahpahaman.”

“Kesalahpahaman bahwa aku tertarik padamu?”

Zhavira menegang. Tak menjawab. Tidak bisa. Karena Makes benar. Itulah yang ia takutkan.

Dan ternyata memang itu yang sedang terjadi.

**

Setelah meeting dengan klien selesai, Zhavira berusaha cepat-cepat keluar dari gedung. Tapi Makes menyusul, menyodorkan payung saat hujan mulai turun rintik.

“Aku antar kamu pulang,” katanya tegas.

“Tidak usah, Pak. Saya bisa naik ojek online.”

“Kamu basah-basahan, lalu sakit, siapa yang tangani laporanku?”

Zhavira menelan ludah. Ia tahu, itu hanya alasan. Tapi ia tak bisa menolak.

Di dalam mobil, Makes tiba-tiba memutar lagu klasik. Bukan selera Zhavira, tapi entah mengapa terasa menenangkan. Sejenak, mereka terdiam. Hujan mengaburkan kaca jendela, menciptakan batas samar antara luar dan dalam—seperti jarak yang mulai dikaburkan Makes.

“Aku bukan pria sempurna, Zha. Tapi... kalau kamu bisa melihat aku lebih dari rumor, lebih dari posisiku... kamu akan tahu, aku bisa mencintai lebih dari yang kamu kira.”

Zhavira menoleh, menatapnya—untuk pertama kalinya sejak percakapan itu. Dan yang ia lihat di mata Makes bukan rayuan, bukan godaan. Tapi luka. Luka yang dalam.

“Mengapa saya, Pak?”

Pertanyaan itu nyaris seperti bisikan. Tapi Makes tersenyum.

“Karena kamu tidak pernah mencoba memilikiku. Itu yang membuatku ingin dimiliki olehmu.”

Zhavira membeku.

Dan untuk pertama kalinya, dia tidak bisa lari. Tidak dari Makes. Tidak dari tatapan itu. Tidak dari rasa yang mulai merambat naik ke dadanya.

**

Keesokan harinya, Zhavira datang ke kantor lebih pagi. Tapi yang mengejutkannya, sebuah buket bunga lily putih sudah ada di atas mejanya.

Tidak ada catatan nama. Hanya sebuah kartu kecil bertuliskan:

"Untuk seseorang yang mulai menutup pintu. Izinkan aku mengetuknya, setiap hari, sampai kamu membuka sedikit saja."

Zhavira menggigit bibir, memejamkan mata. Kali ini, bukan karena takut.

Tapi karena hatinya mulai goyah.

Dan Makes tahu... itu tandanya permainan baru saja dimulai.

Makes Rafasya Willson

Zhavira Mesyana

1
Kei Kurono
Wow, keren!
Nona_Written: ❤️❤️ terimakasih
total 1 replies
ladia120
Ceritanya keren, jangan sampai berhenti di sini ya thor!
Nona_Written: makasih, bantu vote ya 😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!