⛔ jangan plagiat ❗❗
This is my story version.
Budayakan follow author sebelum membaca.
Oke readers. jadi di balik cover ungu bergambar cewek dengan skateboard satu ini, menceritakan tentang kisah seorang anak perempuan bungsu yang cinta mati banget sama benda yang disebutkan diatas.
dia benar-benar suka, bahkan jagonya. anak perempuan kesayangan ayah yang diajarkan main begituan dari sekolah dasar cuy.
gak tanggung-tanggung, kalo udah main kadang bikin ikut pusing satu keluarga, terutama Abang laki-lakinya yang gak suka hobi bermasalah itu.
mereka kakak-adik tukang ribut, terutama si adik yang selalu saja menjadi biang kerok.
tapi siapa sangka, perjalanan hidup bodoh mereka ternyata memiliki banyak kelucuan tersendiri bahkan plot twist yang tidak terduga.
salah satunya dimana si adik pernah nemenin temen ceweknya ketemuan sama seseorang cowok di kampus seberang sekolah saat masih jam pelajaran.
kerennya dia ini selalu hoki dan lolos dari hukuman.
_Let's read it all here✨✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daisyazkzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
•Perpisahan•
Zyle duduk di depan jendela. Kali ini berbeda, bukan lagi di ruang kelas membosankan dengan suara pak Harto.
Sebuah tempat asing antah berantah, tanpa saudara, tanpa orang tua. Zyle pertama kali berpergian lama tanpa semuanya kecuali teman.
Hari ke tiga Olimpiade.
Semuanya berjalan lancar, soal-soal itu berhasil diatasi Zyle penuh kesabaran. Walaupun sulit, memuakkan, dan membuat kepalanya cenat-cenut setiap hari demi hari.
sayangnya di hari ke empat, Zyle terbaring lemah setelah pulang ke penginapan. Terkena demam dan tubuhnya semakin mengurus perlahan.
"Zyle, aku beli obat. tolong diminum sekarang." Gwen masuk ke kamar dengan rambut dibalut handuk. Tak tega melihat Zyle berbaring lemah.
wajahnya merah, Zyle sedari tadi terus mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
"Zyle. minum dulu, semoga besok kamu sudah baikan." bujuk Gwen, duduk di bawah ranjang Zyle. "Ayo..minum.."
Perlahan Zyle menggerakkan tubuhnya, meraih obat di plastik. "kak... Olimpiadenya masih lama, ya?..."
Gwen mengangguk. "iya. Apa kamu mau aku antar ke rumah sakit? Biar aku minta izin ke Bu Fio."
Zyle menggeleng pelan. "dulu...kalo Zyle sakit, kak Ren sering beli banyak makanan."
"kamu mau?" tanya Gwen, tersenyum.
Zyle malah menggeleng lagi. "Jangan. Kak Gwen kan harus belajar. Zyle juga."
Gwen menghela nafas pendek. Ternyata rasanya sepi tanpa Zyle yang sehat dan heboh itu.
Mereka sedang berjuang disini, begitu juga dengan Ren yang sudah duluan berjuang mengikuti tes kuliahnya sampai detik dimana ia mendapatkan kabar gembira, dia lulus.
Tiba-tiba hp Zyle berdering kencang. Saat dilihat sekilas Gwen tersenyum, "zi, kakakmu telfon."
dengan gerakan cepat Zyle mengambil hp, sumringah mengangkat telfonnya.
Dari balik layar, Ren tersenyum lebar, melambaikan sertifikat kelulusan. "Yo! Zyle! Gue lulus!!"
Zyle tertawa lemah, "keren kak."
"kenapa Lo lemes gitu? Sakit apa?" Ren berubah khawatir. "gue tinggal bentar udah K.O kan Lo."
"Gak tau nih." balas Zyle. "kakak dapet buket ya? Padahal kalo ada disana Zizi mau kasih yang isinya uang!"
Ren sontak tertawa, "banyak gaya Lo. Gimana Olimpiadenya? Lancar?"
"Lancar. Tapi disini gak seru."
"Zi, liat nih!" Ren membalik kamera ke belakang, menyorot sosok Devano yang sedang duduk di kursi membaca beberapa surat.
pakaiannya sama dengan Ren. Memakai kemeja putih polos dan celana formal hitam.
Devano mendekat, tersenyum. "Zyle, gimana kabarnya?"
"Sakit.."
"serius? udah minum obat?"
"Hehe...Depan jadi maskulin... kayak papa muda..." ledek Zyle.
Devano memperlihatkan toga nya. "mau pake ini kan? sini." ia pura-pura memasangkan toga ke atas kepala Zyle.
"Depan, selamat ya udah lulus. Jangan lupain Zizi." gadis itu menatap sedih. "Kirim ya fotonya..."
"tenang zi! Gue pasti kirimin!" kata Ren.
Suara mereka terdengar bahagia. Mungkin rasanya mencapai keberhasilan memang semenyenangkan itu.
Zyle terus berusaha tersenyum sepanjang mengobrol dengan mereka berdua di telfon. Karena ini menjadi terakhir kalinya melihat dan bicara dengan Devano.
Semua kenangan lama itu, mungkin akan terkubur menjadi sebuah perjalanan kecil. Dan perlahan Devano pasti melupakannya.
Meskipun Zyle tidak bisa mengucapkan selamat tinggal secara langsung, tapi ia yakin, seandainya bisa melakukan itu, Zyle benar-benar ingin memeluk mereka sekali saja.
Beberapa jam kemudian, malam mulai datang. Pukul enam sore, Gwen pulang sehabis pergi ke perpustakaan sekitar, membawa seporsi bubur ayam hangat.
"Zyle, buat kamu."
Rupanya obat tadi bekerja juga. Zyle merasa agak sedikit membaik. Dengan tergopoh ia berusaha duduk tegak diatas kasur.
"Thanks kak.."
Gwen mengangguk, duduk di meja rias samping kasur mereka.
"Aw...panas..." gerung Zyle.
Gwen malah tiba-tiba tersenyum saat sedang melihat hp nya sambil memakai masker wajah. "Zyle, tau tidak? semenjak telfonan tadi dan Devano tahu kamu sedang sakit, dia terus mengingatkan aku untuk menjagamu."
Zyle memberi senyum kecil, dan balas mengatakan kalau Devano memang sering begitu. Dia terlalu khawatir, bahkan menganggapnya seperti anak kecil.
"Zyle...aku mau bertanya."
Zyle mengangkat alis, "Oke?"
"Bagaimana kamu bisa dekat dengan Devano?"
Zyle bingung menjawabnya, karena semua berjalan begitu saja. Kedekatan mereka pun berawal dari sering bertemu. "hmm...karena kak Ren. Depan suka main ke rumah...gue nimbrung aja..."
Gwen tertawa kecil. "Iyakah? Aku merasa perlakuannya padamu agak beda.. meskipun Devano juga sering mengkhawatirkan orang lain."
"gak tahu. Dulu Depan pernah bilang gue mirip adik perempuannya." kata Zyle, nyengir.
"Ruka ya? Anak itu memang sudah lama hilang."
Zyle mendekat, "eh? Kakak juga tahu?"
"iya. Devano yang bercerita sendiri." Gwen mengubah posisi duduknya. "sebelum Ruka hilang, Devano lebih pendiam. dia tidak peduli dengan sekitar."
"meskipun tampangnya agak serius, tapi Devano termasuk bintang sekolah. Baik dalam akademis maupun popularitas." tambah Gwen.
Zyle tahu itu. Padahal bukan Devano saja, setahunya, ada tiga bintang di sekolah dharma Surya. Yaitu, Devano, kak Gwen sendiri, dan satu orang lagi yang namanya jarang diketahui.
"Zyle, apa Ren tidak pernah bilang padamu?"
"bilang apa?"
"Ren, aku dan Devano, sebenarnya kami mendapat beasiswa."
Zyle terkejut bukan main, sendok yang ia genggam sampai terlepas. "b-beasiswa? Kak Ren dapat beasiswa?"
"Aku pikir kamu sudah tahu. Kelihatannya belum, ya? sebenarnya aku, dan kakakmu mengikuti tes beasiswa dengan koneksi dari ibu Devano di luar negeri."
"Jangan bercanda. Kak Ren bodoh itu cuma tau main game." Zyle tertawa.
"tidak. hasil tes Ren diatas rata-rata. Bahkan lebih tinggi dariku." sanggah Gwen, serius.
mulut Zyle terbuka lebar. Apa ini yang namanya orang pintar pura-pura bodoh? Apakah selama ini Ren adalah salah satu bintang? Gila. Zyle hampir tak percaya. berapa IQ Ren sebenarnya?!
Di mata Zyle, Ren suka bercanda, tukang ikut campur, menyebalkan, tapi suka mentraktir, dan maniak game. Kenapa orang se-aneh itu bisa mendapat beasiswa?
"bukan mereka saja yang akan berangkat dua hari lagi. Aku juga akan menyusul di universitas yang sama, tapi di jurusan berbeda." kata Gwen lagi.
"K-kayaknya...gue harus belajar deh..." Zyle cengengesan, seketika merasa dirinya paling bodoh sedunia.
***
Ren tersenyum lebar, dan Devano berdiri di sebelahnya dengan wajah teduh, membawa dua koper besar.
Zyle baru dikirimi foto itu tadi pagi. lumayan untuk penyemangat hari ini.
hitungan demi hitungan dimulai pada menit pertama. Zyle kembali berhadapan dengan ratusan soal di hadapannya.
Memusingkan.
inilah saatnya Zyle mengingat semua yang telah ia pelajari dengan susah payah. Seandainya keajaiban terjadi dan dirinya menang, Zyle bersumpah akan mendapatkan beasiswa juga seperti Ren.
Kakaknya yang hebat. Terlihat santai, namun rumit di dalam. Begitulah Ren.
Sekarang mereka sudah benar-benar sampai di negara lain. Berfoto dengan wajah cerah di depan sebuah gedung modern yang katanya universitas impian.
rasanya Zyle ingin menyusul sekarang juga. Tapi ia harus menahannya selama dua tahun lagi. Dan pada saat itu, entahlah bagaimana kabar Ren.
Zyle berharap, Ren bahagia disana sebagai ganti sudah menjadi kakak yang baik untuknya sedari kecil.
***