NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Tuan Davison

Istri Rahasia Tuan Davison

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Aliansi Pernikahan / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Rembulan Pagi

Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.

Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.

Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8. Cincin Di Jari Manis

"Lima puluh juta dalam sebulan. Tawaran terakhir."

Sheina terdiam. Tawaran itu terlalu besar untuk langsung ditolak, tapi juga terlalu asing untuk diterima tanpa berpikir. Ia menunduk, memperhatikan jari-jarinya yang saling menggenggam.

“Pak, ini... saya nggak ngerti. Maksudnya nikah bohongan?”

“Secara hukum tidak ada catatan. Tapi di mata nenek saya, kamu adalah istri saya. Dia ingin melihat saya menikah sebelum dia pergi.”

Davison menatap Sheina dengan pandangan serius, tapi suaranya tetap tenang. “Saya tahu ini bukan hal kecil. Tapi saya janji, saya nggak akan menyentuh kamu. Ini murni urusan peran.”

Sheina menghela napas. Kepalanya mulai terasa berat.

“Kalau nanti nenek Bapak udah nggak ada, saya bebas?”

“Bebas. Nggak ada lagi yang terikat. Kamu bisa anggap semua ini cuma pekerjaan. Saya bahkan siap kasih kamu pesangon tambahan saat selesai.”

Sheina mengangkat wajahnya, menatap pria itu dengan penuh keraguan.

“Dan kalau saya bilang iya, saya harus tinggal di sini?”

Davison mengangguk. “Minimal selama nenek saya ada. Di luar itu, kamu bebas ngatur waktu sendiri. Saya juga nggak akan ganggu privasi kamu.”

Hening sejenak. Detik demi detik terasa berjalan lebih lambat.

“Sheina,” suara Davison terdengar pelan, nyaris seperti bisikan. “Saya mohon. Kamu satu-satunya orang yang bisa bantu saya sekarang. Saya nggak punya siapa-siapa lagi.”

Suara bel rumah tiba-tiba berbunyi. Mereka berdua terdiam.

“Itu nenek saya,” ujar Davison cepat.

Sheina menatapnya dengan tatapan panik.

“Pak, cincinnya mana?” bisiknya.

Davison langsung berdiri dan menuju sebuah laci kecil di dekat rak televisi. Ia mengambil sebuah kotak kecil berwarna biru gelap dan membukanya. Di dalamnya ada dua cincin tipis berwarna perak.

Ia menyerahkan salah satunya kepada Sheina.

Tangan Sheina sedikit gemetar saat ia menyelipkan cincin itu ke jari manis kirinya. Lalu ia menatap Davison dengan ragu.

“Saya belum bilang iya, Pak.”

Davison menatapnya lekat-lekat. “Kalau kamu nggak keluar bareng saya sekarang, nenek saya bakalan curiga. Anggap aja kamu lagi nyelamatin orang tua saya yang udah tua dan sakit.”

Sheina mendesah pelan. Ia berdiri.

“Oke. Tapi nanti kita ngobrol lagi.”

Davison tersenyum tipis. “Setelah nenek saya pulang, kita bahas semuanya. Sekarang, ikut saya, ya.”

Pintu dibuka. Di depan sana, seorang wanita tua berdiri dibantu sopir pribadi. Matanya bersinar begitu melihat Davison, lalu berpindah ke Sheina.

“Nenek,” sapa Sheina sambil tersenyum.

"Sheina cantiknya, apa kabar?"

"Baik, Nek."

Nenek Davison melangkah masuk ke dalam rumah, dibantu Sheina di sisi kirinya. Supirnya tetap menunggu di luar, duduk di dalam mobil yang terparkir di halaman. Di tangannya, nenek mendorong keranjang belanjaan yang penuh hingga ke bibir pintu. Melihat itu, Davison segera menghampiri dan ikut membantu membawa sebagian kantong yang tergantung di sisi keranjang.

"Nenek belanja sebanyak ini?" tanya Davison sambil mengangkat salah satu kantong yang tampak berat.

"Nenek tahu kalian baru pindah, pasti belum ada apa-apa di dapur, kan?" jawab nenek sambil tersenyum kecil.

Sheina mengangguk pelan. "Iya, Nek."

"Nah, jadi nenek belikan kebutuhan makanan."

Tanpa banyak bicara, Sheina langsung tanggap. Ia membuka kulkas dan mulai menyusun bahan-bahan makanan satu per satu. Tangannya gesit, seolah sudah terbiasa. Davison ikut membantu, mengatur bahan lainnya di rak-rak dapur. Sementara itu, nenek duduk di kursi meja makan, memperhatikan keduanya dengan mata yang berbinar-binar.

Mereka berdua tidak sadar sedang diperhatikan. Sibuk dalam kesunyian kecil yang nyaman. Sampai tiba-tiba, saat hendak mengambil barang dari keranjang yang sama, tangan mereka bersentuhan. Seketika, mata mereka saling bertemu. Hening. Lalu cepat-cepat keduanya menarik tangan masing-masing dan kembali sibuk, pura-pura tidak terjadi apa-apa.

Semua barang akhirnya selesai dibereskan. Saat berbalik hampir bersamaan, Sheina melangkah ke depan, dan Davison pun begitu. Mereka saling berhadapan. Davison bergerak ke kanan, Sheina ikut ke kanan. Davison ke kiri, Sheina juga ke kiri. Keduanya saling menahan napas, lalu menghela bersama, mencoba melangkah bersamaan dan malah bertabrakan pelan.

Sheina hampir terjatuh, namun Davison dengan refleks menahan tubuhnya. Sheina mendongak. Tingginya hanya sebatas dada Davison.

Suara tawa kecil terdengar dari arah meja makan. Nenek masih duduk di sana, menyaksikan semuanya dengan senyum menggoda.

"Kalian ini pengantin baru, ya? Romantis sekali. Lihat cincin kalian, manisnya."

Sheina langsung terlihat canggung. Ia buru-buru mengalihkan pembicaraan.

"Nenek mau teh?"

Nenek menggeleng lembut. "Nenek biasa minum teh herbal khusus. Tapi tadi lupa bawa dari rumah."

Sheina membatin dalam hati, Wah teh herbal khusus, pasti mahal.

Nenek menatap Sheina dengan penuh kehangatan. "Sheina bisa masak?"

"Bisa. Nenek mau makan masakan Sheina?"

"Mau sekali."

Sheina berjalan ke dapur, membuka beberapa laci dan lemari. Lalu bersuara, "Ini nggak ada peralatan dapurnya?"

Davison menggeleng. "Belum dibeli."

Nenek berdiri sambil terkekeh pelan. "Kalau begitu, ayo kita beli bersama."

Wajah nenek terlihat cerah dan penuh semangat. Tapi di sisi lain, Sheina justru merasa deg-degan. Semua ini berjalan begitu cepat. Bahkan terlalu cepat untuk hatinya yang belum sepenuhnya siap.

Begitu pintu rumah tertutup, Sheina langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling halaman. Matanya refleks menatap pagar depan, khawatir sosok ibunya tiba-tiba muncul dari arah rumah sebelah.

Nenek sudah lebih dulu melangkah menuju mobil hitam yang terparkir rapi di bawah pohon mangga. Sopir pribadi membantu membukakan pintu untuknya. Sementara itu, Davison berjalan ke arah mobil lain di sampingnya dan membuka pintu kemudi.

Sheina berdiri di depan anak tangga teras, tidak segera bergerak.

Davison yang sudah masuk ke dalam mobilnya memanggil pelan, “Sheina?”

“Aku takut ketahuan ibu,” jawabnya lirih sambil menunduk.

Setelah diam sebentar, Sheina buru-buru mengeluarkan ponselnya. Ia mengetik cepat.

Sheina: Bu, Sheina keluar bentar ya. Katanya Davison ada urusan sama pemilik lama rumah ini. Cuma sebentar, tenang aja.

Tanpa menunggu balasan, ia langsung memasukkan kembali ponselnya dan berjalan cepat ke arah mobil Davison.

Begitu masuk dan menutup pintu, Sheina menghembuskan napas panjang.

“Lega?” tanya Davison sambil melirik sekilas sebelum menyalakan mesin.

“Lumayan,” jawab Sheina. “Aku cuma takut banget kalau orangtuaku tau. Apalagi Ibu. Bisa panik.”

Davison mulai menjalankan mobil, mengikuti dari belakang mobil nenek yang sudah lebih dulu keluar pagar.

“Selagi nenek bisa dikendalikan, aku janji dia nggak akan tiba-tiba datang ke rumah kamu,” kata Davison tenang, tangannya mantap di setir. “Dia suka rencana. Kalau pun mau mampir, dia pasti kasih tahu dulu.”

Sheina mengangguk kecil. Diam-diam, ucapan itu cukup menenangkan.

Mereka melaju di jalanan kota yang masih belum terlalu padat. Matahari siang menembus kaca depan, memberi cahaya hangat yang tidak menyilaukan.

“Sheina,” kata Davison setelah beberapa menit. “Kamu beneran nggak keberatan?”

Sheina memandangi jalan di depan. “Keberatan si, ya intinya lumayan keberatan. Tapi ada sesuatu dari nenek Bapak yang bikin aku nggak bisa tega.”

Davison tersenyum kecil. Ia tidak menanggapi, hanya fokus pada jalan, mengikuti mobil neneknya menuju pusat perbelanjaan kota.

Hari ini, mereka akan pura-pura menjadi pasangan yang baru pindah rumah. Tapi entah kenapa, rasanya seperti lebih dari itu.

1
LISA
Menarik juga nih ceritanya
LISA
Aneh tp ntar kmu suka sama Sheina Dev🤭😊
LISA
Aku mampir Kak
Rian Moontero
lanjuutt thor,,smangaaat💪💪🤩🤸🤸
Rembulan Pagi: terima kasih kakk
total 1 replies
Umi Badriah
mampir thor
Rembulan Pagi
Bagi yang suka romance santai, silakan mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!