NovelToon NovelToon
Istri Kedua Suamiku

Istri Kedua Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Spiritual / Kehidupan di Kantor / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Suami ideal
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: ARSLAMET

Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.

Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.

“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”

Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.

Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?

Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.

Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Batas antara Rumah dan tugas

Alisya berdiri di depan pagar yayasan, menenteng dua besek besar berisi nasi tumpeng. Senyum ramah pengurus menyambutnya, dan beberapa anak-anak kecil berlarian menghampiri, memeluk pinggangnya dengan antusias.

“Untuk kalian, ya,” ucap Alisya lembut, membelai kepala mereka satu per satu.

“Terima kasih, Tante Alisya!” seru mereka bersamaan, mata mereka berbinar.

Alisya hanya tersenyum. Ada kehangatan yang tak bisa dibeli dari tatapan polos mereka. Setelah menyerahkan semua makanan dan mengucapkan beberapa patah kata syukur, ia berpamitan dan melangkah pulang dengan hati ringan.

...****************...

Di tempat lain, suasana rapat di kantor terasa lebih tegang dari biasanya. Rendi duduk di depan layar besar, bersama timnya yang menatap data pembukaan restoran cabang di Bandung.

Selesai presentasi, Bunga sekertaris pribadi nya mendekat dengan ekspresi cemas.

“Pak, maaf. Tapi vendor dapur belum datang. Beberapa instalasi utama masih belum terpasang. Sementara…”

“Nanti malam uji coba dapur,” potong Rendi pelan, sudah paham arah pembicaraan.

Bunga mengangguk. “Besok pagi pembukaan, Pak. Media sudah dijadwalkan. Influencer juga. Kita gak punya banyak waktu.”

Rendi diam sejenak, lalu mengangguk. “Saya turun ke sana malam ini. Mobil aja. Siapkan semua berkas dan kontak teknis. Saya butuh waktu berpikir di jalan.”

Bunga tampak lega meski masih tegang. “Baik, Pak. Akan saya siapkan semua.”

Sore menjelang. Rendi baru saja keluar dari kantor, map dan laptop sudah di tas kerja. Di parkiran, ia menyalakan mobil, lalu mengirim pesan.

Rendi: Sayang, maaf... aku harus ke Bandung malam ini. Besok pagi restoran buka, dan banyak yang belum siap. Doakan ya.

Balasan dari Alisya datang cepat:

Alisya: Ya Allah… hati-hati di jalan, Mas. Jangan paksain nyetir kalau lelah. Semoga lancar urusan nya"

Rendi: Cium Rasya buatku. Aku usahain pulang secepatnya.

Ia meletakkan ponsel, menatap langit yang mulai redup. Lagu pelan mengalun dari radio, mengiringi mobil yang melaju meninggalkan Jakarta menuju Bandung.

Mobil melaju mulus di jalan tol Cipularang. Di luar jendela, malam telah menyelimuti bukit-bukit dengan kabut tipis yang menggantung pelan. Rendi menyetir sendirian, menyusuri jalur panjang menuju Bandung. Musik mengalun lirih dari radio, tapi pikirannya justru melayang jauh—ke wajah Alisya yang tadi mengecupnya penuh sayang sebelum ia pergi.

Ia tahu, perjalanan ini bukan sekadar tugas. Ini tentang tanggung jawab, tentang nama baik, dan tentang waktu yang sudah terlalu lama tersita untuk hal-hal di luar rumah.

Begitu keluar dari gerbang tol Pasteur, udara Bandung menyambut lebih dingin, lebih akrab. Rendi membuka sedikit jendela mobil, membiarkan semilir angin menyusup masuk, membawa aroma kota yang dulu sering ia rindukan saat tugas ke luar negeri.

Lampu-lampu kota memantul di kaca depan. Dari kejauhan, kawasan Dago mulai tampak—tenang tapi hidup, seperti jantung kota yang berdetak pelan namun pasti.

Ia menarik napas panjang, lalu mengambil ponsel. Sambil menyetir pelan di lampu merah Pasteur, ia mengirim pesan suara ke Alisya.

 “Sayang, aku baru sampai Bandung. Lewat Pasteur. Sebentar lagi sampai di lokasi. Doakan ya, semoga semuanya lancar. "

Tak ada balasan, tapi dua centang biru muncul di layar. Itu sudah cukup. Alisya selalu tahu cara mendengar, bahkan dalam diam.

Rendi kembali fokus ke jalan. Dago tinggal sepuluh menit lagi. Dan malam masih panjang, penuh pekerjaan yang menanti.

Pukul 21.00, mobil hitam berhenti di depan venue. Rendi turun cepat, menenteng tas kerja kecil. Ia langsung menghampiri Bunga yang sedang duduk di tangga depan, ponsel masih di tangannya, wajahnya penuh kekhawatiran.

“Gimana situasinya sekarang?” tanya Rendi langsung.

Bunga berdiri. “Saya udah hubungi lebih dari enam vendor, Pak. Semuanya penuh atau nggak bisa last minute. Ada satu yang minta tarif tinggi sekali, saya tunda dulu.”

Rendi mengangguk. “Saya coba juga. Kita ke dalam.”

Mereka berdua masuk ke area tengah venue yang masih kosong. Rendi membuka ponsel dan mulai menghubungi beberapa rekan vendor yang pernah bekerja dengannya secara langsung. Nada bicaranya tenang tapi penuh tekanan profesional.

Tak sampai satu jam, salah satu dari mereka menyanggupi.

“Bisa. Tapi kami sampai lokasi jam sebelas malam,” kata si vendor di ujung telepon.

“Datang saja. Langsung kerja. Kami tunggu,” jawab Rendi singkat.

Ia menoleh ke Bunga setelah menutup telepon. “Sudah dapat.”

Bunga menatapnya, sedikit lega. “Serius, Pak?”

“Vendor kenalan lama. Nggak besar, tapi bisa diandalkan.”

Bunga mengangguk cepat. “Saya langsung bantu urus akses masuk dan area kerja.”

“Bagus.”

Pukul 23.00, truk vendor tiba. Rendi dan Bunga mengawasi langsung penataan dapur dan logistik. Kru vendor bekerja cepat.

Rendi duduk di kursi plastik dekat dinding, melepaskan napas berat.

“Kita selamat... untuk malam ini,” ucapnya pelan.

Pukul 03.00 dini hari.

Setelah vendor dapur selesai menata semua kebutuhan, venue akhirnya tampak siap menghadapi hari esok. Rendi masih berdiri di sudut ruang sambil menatap keseluruhan area. Bunga menghampiri dengan catatan terakhir di tangannya.

“Sudah semua, Pak. Dapur, logistik, tenda cadangan. Besok tinggal buka dan briefing awal,” ujarnya pelan.

Rendi mengangguk pelan. “Terima kasih, Bunga. Malam ini kamu luar biasa.”

“Sama-sama, Pak. Tapi jujur, kalau Bapak nggak dapat vendor tadi, saya mungkin sudah panik setengah mati,” ujarnya sambil tersenyum lelah.

Rendi membalas senyum itu, lalu melirik jam tangannya. 03.07. Napasnya berat.

Ia lalu merogoh ponsel dari saku dan membuka pesan.

“Sebentar, saya kabari istri dulu.”

Bunga mengangguk pelan, lalu menjauh, memberi ruang.

Rendi mengetik pesan dengan jempol yang mulai kaku karena dingin:

> Rendi: “Bun, maaf ya. Aku nggak bisa pulang malam ini. Ada gangguan besar di dapur, baru beres sekarang. Besok pagi langsung pembukaan, terlalu tanggung kalau aku maksa balik sekarang.”

Pesan terkirim. Tak lama kemudian, balasan masuk.

> Alisya: “Iya, Yah. Aku paham. Fokus di sana ya. Yang penting Ayah jaga diri, jangan lupa istirahat. Besok aku doain semua lancar.”

Rendi menatap layar sejenak. Rasa letih di pundaknya terasa sedikit ringan setelah membaca balasan Alisya. Ia menyimpan ponsel kembali ke saku.

“Kamu udah booking kamar hotel, kan?” tanyanya ke Bunga yang kembali menghampiri.

“Sudah, Pak. Dua kamar. Bapak di lantai empat, saya di lantai tiga.”

“Bagus. Tapi... saya baru ingat satu masalah baru.”

“Apa lagi, Pak?” tanya Bunga.

“Saya nggak bawa baju ganti.”

Bunga tertawa pelan. “Bapak nggak sempat mikir hal remeh ya?”

Rendi hanya mengangkat bahu. “Yang penting dapur dulu.”

Bunga lalu berkata, “Nanti pagi saya antar ke mall. Kita cari baju yang rapi buat pembukaan. Langsung dipakai, selesai urusan.”

Rendi tersenyum tipis. “Oke. Kamu memang bisa diandalkan.”

Mereka melangkah keluar venue, meninggalkan gedung yang kini tenang dalam diam malam. Jalanan Bandung sepi, lampu-lampu kota redup mengiringi langkah kaki mereka menuju mobil masing-masing. Besok pagi adalah hari penting. Tapi malam ini, mereka sudah menaklukkan ujian pertama—dengan akal, kesigapan, dan sedikit keberuntungan.

1
Iis Dawina
mendingan mundur alisya...ga blk bner klo ortu dah ikut campur mah
Yati Syahira
sdh panjang bab tdk terungkap perselingkuhan suaminya aneeh bikin males baca
ARSLAMET: biar makin penasaran kak , hehehe staytune trus ya
total 1 replies
D͜͡ ๓KURNI CACAH
wanita sebaik dan secantik sabar alisha kok bisa si di sakiti Sama laku laku kampret Kya si Rendi
D͜͡ ๓KURNI CACAH
ngk rela bgt alisha di Madu
D͜͡ ๓KURNI CACAH
kampret Rendi sama bunga kok bisa nikah ...dasar laki laki apa pun ala San nya tetap tak di benarkan
Rubyna
kok gak ada kejelasan tiba tiba menikah karna apa, dan bunga seharus nya menolak tau kan kalau Rendi susah beristri
ARSLAMET: dukungan nya kaka , selalu berharap yang terbaik untuk tulisan ku dan semua hal hehe
Rubyna: semangat ya, noveltoon gak kayak dulu, asal kontrak sudah dapat cuan sekarang susah
total 4 replies
❤ Nadia Sari ❤
ketikannya kok center semua?
ARSLAMET: @ terimakasih sebelumnya atas sarannya ..
❤ Nadia Sari ❤: bagus yg awal aku tadi bacanya kayak lagu
total 3 replies
pembaca
lanjut kan tuk menuju sukses
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!