Di dermaga Pantai Marina, cinta abadi Aira dan Raka menjadi warisan keluarga yang tak ternilai. Namun, ketika Ocean Lux Resorts mengancam mengubah dermaga itu menjadi resort mewah, Laut dan generasi baru, Ombak, Gelombang, Pasang, berjuang mati-matian. Kotak misterius Aira dan Raka mengungkap peta rahasia dan nama “Dian,” sosok dari masa lalu yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan. Di tengah badai, tembakan, dan pengkhianatan, mereka berlomba melawan waktu untuk menyelamatkan dermaga cinta leluhur mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Vicky Nihalani Bisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH - 10 : Melodi Laut yang Berbisik
Dua minggu berlalu sejak pertemuan Aira dengan Nadia, dan hari ini adalah hari yang menentukan.
Aira duduk di meja kecil di apartemennya, menatap layar laptop dengan jantung yang berdegup kencang.
Bab pertama dari cerita barunya, Melodi Laut, sudah diunggah semalam di platform online, dan Aira tidak bisa tidur memikirkan respons pembaca.
Dia telah menuangkan seluruh hati dan jiwanya ke dalam cerita itu, kisah tentang seorang nelayan tua bernama Pak Darma yang menyanyi untuk laut setiap malam, dan ombak yang membalas nyanyiannya dengan bisikan tentang cinta masa lalunya yang hilang.
Aira berharap cerita ini bisa mengembalikan kepercayaan pembacanya, tapi dia juga takut jika harapannya hanya akan berujung pada kekecewaan.
Ponselnya bergetar, menampilkan pesan dari Raka.
“Pagi, Aira! Aku udah baca bab pertamanya, bagus banget! Aku yakin pembaca mu bakal suka. Jangan khawatir, ya. Aku ke apartemen mu sekarang, bawa sarapan.” Diakhiri dengan emoticon hati.
Aira tersenyum kecil, merasa sedikit lega dengan pesan Raka.
“Pagi, Raka. Makasih… aku deg-degan banget. Aku tunggu, ya,” balasnya.
Dia bangkit dari kursi, mencoba menenangkan diri dengan berjalan mondar-mandir di ruang tamu kecilnya.
Dia membuka jendela, membiarkan angin pagi Semarang yang sejuk masuk, membawa aroma bunga kamboja dari taman di bawah.
Tak lama, Raka tiba dengan kantong kertas berisi bubur ayam dan dua cangkir kopi susu. Dia tersenyum lebar saat Aira membukakan pintu, langsung memeluknya dengan hangat.
“Kamu keliatan tegang banget, Aira. Tenang, ya. Aku di sini,” katanya, suaranya penuh kelembutan.
Aira membalas pelukan itu, merasa ada kehangatan yang menenangkan.
“Makasih, Raka. Aku… aku takut banget. Bagaimana kalau mereka enggak suka? Bagaimana kalau cerita ini gagal?” Raka menarik Aira untuk duduk di sofa, meletakkan kantong sarapan di meja kecil.
“Aira, aku udah bilang, ceritamu bagus. Aku bisa ngerasain emosi Pak Darma, kesepiannya, harapannya… kamu bikin aku ikut masuk ke dunia itu. Aku yakin pembaca mu juga bakal ngerasain hal yang sama.” Mereka sarapan bersama, Aira sesekali melirik ponselnya, berharap ada notifikasi dari platform.
Setelah setengah jam, akhirnya notifikasi itu datang, pesan dari Nadia.
“Aira, aku udah lihat statistik bab pertama Melodi Laut. Pembaca aktif mu naik 15% dalam semalam, dan komentarnya… luar biasa positif. Mereka bilang ceritanya bikin mereka takut, bikin mereka jatuh cinta. Aku bangga sama kamu. Lanjutin, ya!” Aira membaca pesan itu dengan mata membelalak, tidak percaya.
Dia menunjukkan pesan itu pada Raka, tangannya gemetar karena bahagia.
“Raka… mereka suka! Pembacaku suka ceritaku!” katanya, suaranya penuh kegembiraan.
Raka tersenyum lebar, langsung memeluk Aira erat.
“Aku bilang apa, Aira? Aku tahu kamu bisa! Aku bangga banget sama kamu,” katanya, suaranya penuh kebanggaan.
Aira membalas pelukan itu, air mata bahagia mengalir di pipinya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, dia merasa bahwa dia benar-benar kembali, kembali menjadi Aira yang dulu, penulis yang mampu menyentuh hati pembacanya.
Setelah sarapan, Raka mengajak Aira untuk merayakan keberhasilan ini dengan pergi ke Pantai Marina lagi.
“Kita ke dermaga itu lagi, ya. Aku pikir… tempat itu udah jadi bagian dari ceritamu. Kita rayain di sana,” kata Raka, matanya berbinar.
Aira mengangguk, antusias. Mereka berangkat dengan motor Raka, angin sejuk menerpa wajah Aira sepanjang perjalanan.
Sampai di dermaga kecil itu, Aira langsung merasa nostalgia. Suara ombak yang lembut, aroma garam di udara, dan pemandangan laut yang membentang luas membawanya kembali pada momen ketika ide Melodi Laut pertama kali muncul.
Dia duduk di ujung dermaga, kakinya menggantung di atas air, sementara Raka duduk di sampingnya, kameranya siap mengabadikan momen.
“Aira, aku… aku mau bilang sesuatu,” kata Raka tiba-tiba, suaranya sedikit ragu.
Dia menatap laut, tangannya memainkan tali kamera dengan gelisah.
Aira menoleh, alisnya terangkat.
“Apa, Raka? Kamu keliatan serius banget.” Raka menghela napas, lalu menatap Aira dengan mata yang penuh emosi.
“Aku… aku tahu kita baru bareng beberapa bulan, tapi aku merasa… entah, kayak aku udah kenal kamu bertahun-tahun. Aku… aku pengen kita lebih dari ini, Aira. Aku pengen kita punya masa depan bareng.” Kata-kata Raka membuat Aira terdiam, jantungnya berdegup kencang.
Dia tidak menyangka Raka akan mengatakan sesuatu yang begitu serius, tapi di saat yang sama, dia merasa ada kebahagiaan yang meluap di dadanya.
“Raka… kamu serius?” tanyanya, suaranya gemetar.
Raka mengangguk, tangannya meraih tangan Aira.
“Aku serius, Aira. Aku tahu kita masih muda, dan kita masih punya banyak hal yang harus kita capai. Tapi… aku pengen kita capai semua itu bareng. Aku… aku pengen nikah sama kamu, Aira. Bukan sekarang, tapi… suatu hari nanti.” Aira menatap Raka, matanya berkaca-kaca.
Dia tidak tahu harus berkata apa, tapi perasaan yang meluap di hatinya membuatnya tersenyum lebar.
“Raka… aku… aku juga pengen itu. Aku… aku sayang kamu, dan aku juga pengen kita punya masa depan bareng.” Raka tersenyum, wajahnya penuh kebahagiaan.
Dia menarik Aira ke dalam pelukannya, dan mereka duduk dalam diam, mendengarkan suara ombak yang seolah merayakan momen itu bersama mereka.
Aira bersandar di dada Raka, merasa ada kedamaian yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.
Di dalam hatinya, dia tahu bahwa meskipun perjalanan mereka masih panjang, mereka akan menghadapinya bersama.
Sore itu, Raka mengambil foto Aira di dermaga, dengan latar matahari terbenam yang berwarna jingga dan ungu.
Aira tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kebahagiaan, dan Raka tidak bisa berhenti memuji hasil fotonya.
“Kamu cantik banget, Aira. Foto ini… aku bakal simpen buat kenang-kenangan kita,” katanya, suaranya penuh kasih.
Mereka menghabiskan sore hingga malam di dermaga, berbicara tentang mimpi-mimpi mereka, tentang cerita-cerita yang ingin Aira tulis, dan tentang desain-desain yang ingin Raka ciptakan.
Aira merasa ada semangat baru yang membakar di dalam dirinya, semangat untuk terus menulis, untuk terus menciptakan, dan untuk terus mencintai Raka.
Malam itu, saat mereka pulang, Aira duduk di belakang motor Raka, memeluk pinggang pria itu erat. Angin malam terasa dingin, tapi Aira merasa hangat di dalam hatinya.
Dia menatap langit Semarang yang dipenuhi bintang, dan tiba-tiba teringat pada Rani.
“Rani… makasih udah bawa Raka ke hidupku,” bisiknya dalam hati, merasa ada kehadiran lembut yang tersenyum dari atas sana.
Sampai di apartemen, Raka mengantar Aira hingga ke pintu. Dia memeluk Aira sekali lagi, mencium keningnya dengan lembut.
“Aku sayang kamu, Aira. Jangan lupa istirahat, ya. Besok kita ketemu lagi,” katanya, suaranya penuh kelembutan.Aira tersenyum, memeluk Raka erat.
“Aku juga sayang kamu, Raka. Makasih… makasih udah jadi bagian dari hidupku.” Setelah Raka pergi, Aira masuk ke apartemennya, duduk di depan laptop dengan semangat baru.
Dia membuka dokumen Melodi Laut, membaca ulang bab pertama yang sudah diunggah, dan mulai menulis bab kedua.
Kata-kata mengalir dengan mudah, emosi Pak Darma dan bisikan laut tertuang dengan indah di setiap baris.
Aira tersenyum, merasa bahwa dia akhirnya menemukan kembali dirinya, seorang penulis yang mampu menyentuh hati pembaca, dan seorang wanita yang mampu mencintai dengan tulus.
Di luar, langit Semarang mulai meneteskan hujan kecil, seolah laut ikut bernyanyi untuk merayakan kebahagiaan Aira.
Dan di dalam hatinya, Aira tahu bahwa melodi laut yang berbisik itu bukan hanya tentang cerita Pak Darma, tapi juga tentang cinta yang telah membawanya kembali pada mimpinya, dan pada Raka.
padahal niatnya ya itu author bikin cerita yang bisa nyentuh, memaknai setiap paragraf, enggak sekedar cerita dan bikin plot... kamu tahu, aku bikin jalan cerita 3 hari itu menghabiskan 15 bab 🤣🤣
mampir bentar dulu yaa... lanjut nanti sekalian nunggu up 👍
jgn lupa mampir juga di 'aku akan mencintaimu suamiku' 😉