Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Malam telah tiba. Suasana rumah yang awalnya begitu ramai dengan beberapa orang yang membanggakan pencapaian anak mereka masing-masing, kini telah mereda dan hanya tersisa tumpukan piring kotor dan lantai yang lengket karena bekas tumpahan sirup. Tubuh semua orang tentu saja sudah merasa lelah, tapi mereka masih diharuskan untuk bersih-bersih rumah.
Di ruang tamu itu, Bu Galuh mendapati suaminya yang tengah ikut memasukkan beberapa sampah ke dalam karung di tangannya. Sorot matanya begitu tajam dengan tangan yang telah siap di pinggang, hendak melampiaskan kekesalannya.
“Pak,” panggilnya begitu saja. Tangan Bu Galuh langsung meraih lengan Pak Helmi, mengajaknya untuk menjauh dari keberadaan anak dan menantunya.
Pak Helmi meletakkan karung penuh sampah itu dan mengikuti istrinya dari arah belakang. Hingga mereka berhenti di sudut ruangan dekat halaman depan, dan di sanalah Bu Galuh mulai menyuarakan rasa keberatannya pada keputusan mengejutkan Pak Helmi.
“Pak, siapa yang nyuruh Luna keluar dari dapur?” tanya Bu Galuh begitu saja.
Pak Helmi mengangkat sebelah alisnya karena bingung. “Memangnya kenapa? Luna itu juga bagian dari keluarga ini, dia menantu kita, anak kita juga, Bu.”
“Tapi dia baru datang dan butuh penyesuaian. Bagaimana jika semua orang membicarakan tentang dirinya setelah ini?”
“Iya, aku paham. Tapi bukan berarti kamu bisa memperlakukannya seperti seorang pembantu, Bu. Maria saja bisa duduk santai sejak tadi, kamu juga. Lalu kenapa Luna harus bekerja di dapur sendirian?”
Bu Galuh menghela nafas panjang, ia mencoba mengubah suaranya menjadi lebih lembut karena tidak mau berdebat dengan suaminya. “Pak, aku cuma…aku cuma mau dia lebih tahu dengan lingkungan tempat tinggal kita dulu sebelum berbaur dengan warga sini. Tidak ada niat lain.”
“Tapi kamu tidak memperlakukan kedua menantu kita dengan adil, Bu,” tuduh Pak Helmi yang memang melihat fakta itu. “Jika Luna harus mengurus semuanya di dapur, maka Maria juga harus ikut membantunya.”
“Ya sudah, tidak perlu diperpanjang lagi. Aku berjanji akan lebih adil lagi dengan kedua menantu kita,” Bu Galuh melirik sejenak ke arah dapur, melihat jika Luna masih bergelut dengan tumpukan piring kotor.
Pak Helmi tak mengatakan apapun lagi, sangat paham dengan sifat istrinya yang begitu gengsi dan tak mau disalahkan. Hingga sosok Maria yang tiba-tiba lewat di depan mereka, sontak membuat Bu Galuh memanggilnya.
“Maria, cepat ambil sapu. Bantu Ibu beresin halaman depan,” ucapnya pada Maria.
Maria mengangguk, lalu mengambil sapu lidi di pojok ruangan. Keduanya lalu bergegas menuju ke luar, ke arah halaman depan.
Namun, baru beberapa langkah, pak Helmi langsung menghentikan mereka. Maria dan Bu Galuh menoleh secara bersamaan, bingung dengan tindakan Pak Helmi.
“Halaman biar Bapak saja yang bersihkan,” ujarnya tenang. “Kamu sama Ibu, bantu Luna saja di dapur.”
Seketika Bu Galuh dan Maria terdiam mematung, tak percaya dengan hal itu. Di cuaca yang dingin ini, masa mereka harus bermain dengan air yang pastinya terasa seperti air es sekarang.
Tidak ada yang bergerak di antara mereka. Bahkan David yang juga tengah merapikan meja, hanya diam tanpa suara melihat kejadian itu. Pria itu juga tak melakukan apapun, ia lebih memilih tidak berkomentar demi keselamatannya sendiri.
Saat Pak Helmi hendak kembali marah pada Bu Galuh, suara derit pagar terdengar dari arah depan. Suara langkah kaki terdengar mendekat, hingga sosok Doni muncul dari arah pintu utama. Wajahnya tampak lelah, dengan pakaian yang masih sama seperti tadi pagi.
Doni melewati semua orang begitu saja. Tidak memberi salam pada Ibunya, bahkan tidak bersalaman dan memeluk Maria, pria itu tetap melangkah menuju ke arah dapur. Sesampainya disana, Doni langsung menggulung kemeja kerjanya, menyalakan kran air dan mengambil spon untuk membantu Luna mencuci piring.
Luna yang merasa bingung, kini juga ikut terdiam mematung seperti semua orang. Tapi, Doni justru bersikap santai dan tetap membantunya tanpa peduli dengan anggapan keluarga lainnya.
“Kamu bagian bilas saja, aku yang akan membersihkan semuanya,” ucap Doni saat dirinya membagi tugas mereka.
Maria yang merasa tak terima, langsung berjalan cepat ke arah dapur. Matanya melotot, penuh amarah. “Mas, apa yang kamu lakukan? Kamu sengaja ya mau bikin aku marah?”
“Masalah begini, kenapa harus marah?” jawab Doni tanpa menoleh ke arah Maria. “Karena tidak ada yang mau bantu Luna di dapur, ya sudah, biar aku saja yang bantu dia.”
“Tapi…kamu…” kecam Maria tak bisa melanjutkan ucapannya.
Kini saatnya Pak Helmi harus bertindak, sebelum ada sesuatu yang lebih besar lagi terjadi pada rumah tangga putranya. “Sudah cukup. Kalian semua bergegas pada tugas masing-masing. Maria, katanya kamu mau ke depan bantuin Ibu. Luna biar Doni saja yang bantu.”
Maria mengeratkan giginya menahan rasa kesal. Ingin protes, tapi tetap saja ia merasa sungkan dengan Ayah mertuanya itu. Hingga ia harus terpaksa diam, dan menerima semuanya. Maria berbalik, melangkah cepat ke area halaman depan sesuai dengan perintah sang mertua.
Sementara itu, David memperhatikan semuanya dari ruang tengah. Bagaimana sikap sang kakak yang sudah dua kali ini membantu Luna di hadapan semua orang. Bahkan David juga berpikir, memangnya apa untungnya bagi Doni untuk melakukan semua itu? Atau jangan-jangan Doni diam-diam suka sama Luna?
Setelah diperhatikan, Doni dan Luna memang tampak cocok. Mereka saling mengobrol, bahkan tertawa kecil bersama. Membuat David merasa terhina dan tidak berguna, tanpa sadar tindakan heroik Doni telah sukses menempatkan David pada posisi pecundang yang sebenarnya.
David yang telah kesal itu, lalu melempar serbet ke atas meja dengan cukup keras. Mungkin saja suaranya juga terdengar sampai ke dapur, tapi Doni tetap fokus pada pekerjaannya dan tak memperdulikan sikap manja sang adik.
“David pasti akan marah setelah ini,” ucap Luna, sangat paham dengan sikap suaminya.
“Jangan pedulikan anak manja itu. Biarkan saja dia marah, nanti juga sembuh sendiri.”
Mendengar hal itu, Luna langsung tertawa. Merasa jika Doni sudah sangat paham dengan sikap sang adik. Tentu saja paham, mereka kakak beradik, dan telah hidup bersama sejak kecil. Yang membedakan di sini adalah, Doni memang berperan sebagai seorang kakak yang baik dan dewasa. Sedangkan David, pria itu sama sekali tidak mau berubah.
Meski Luna telah melakukan segalanya. Semua yang Luna lakukan tetap salah di mata David yang hanya menempatkan istrinya sendiri sebagai seorang musuh dan saingan.
***
Luna tampak begitu segar setelah selesai membersihkan diri. Rambutnya yang masih setengah basah dengan aroma sabun yang menyeruak, membuat perasaannya lebih baik dari sebelumnya. Hampir seharian ia berkutat dengan banyaknya pekerjaan di dapur, tubuhnya bahkan terasa begitu lengket dan lelah.
Tapi semua terbayarkan setelah ia selesai mandi dan bersiap untuk tidur.
Tapi, matanya tanpa sengaja menangkap sosok David yang masih sibuk mengepel lantai ruangan depan. Pria itu juga tampak kelelahan, kemeja yang dipakainya terlihat basah penuh dengan keringat. Awalnya Luna merasa ragu untuk menghampiri, tapi akhirnya ia mulai mengambil langkah pelan, mendekat pada suaminya.
“Kamu membutuhkan bantuanku?” tanya Luna, masih dengan perasaan yang baik.
David menghentikan kegiatannya, mendongak sejenak ke arah Luna dengan ekspresi datar. “Bantuanmu? Tidak perlu, aku bisa menyelesaikan semuanya sendiri.”
Bukannya merasa tersakiti, Luna justru dengan santainya mengangguk pelan. Tubuhnya berbalik dan meninggalkan David begitu saja tanpa mengatakan apapun lagi. Saat Luna tengah menaiki anak tangga satu persatu, David menatapnya dari arah belakang dengan begitu sinis.
“Dasar tukang cari perhatian,” gumamnya saat kembali menggosok permukaan lantai cukup kasar. “Dia pikir, cuma dia saja yang hebat!”
Sementara itu, Luna yang sudah sampai di kamar atas, mulai melangkah pelan untuk memeriksa kamar kedua putrinya. Dua malaikat cantik itu tampak tertidur lelap di ranjang mereka masing-masing. Luna menutup pintu kamar itu secara perlahan, dan sudah bisa masuk ke kamarnya sendiri untuk beristirahat.
Saat telah berada di dalam kamar, Luna langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang nyaman setelah mengunci pintu depan.
Ya…Luna memang selalu mengunci pintu kamarnya saat ia tengah tertidur. Semenjak mereka pindah ke rumah ini, David belum pernah sekalipun tidur satu ruangan dengannya. Pria itu biasanya akan tidur di kamar anak-anak atau juga lebih sering di sofa ruang tamu.
Saat Luna merebahkan diri di atas ranjang, tubuhnya terasa tenggelam di dalam kasur yang empuk dan nyaman. Sungguh, hari yang sangat melelahkan. Beruntung baginya karena ada Mas Doni yang bersedia membantunya membereskan area dapur. Luna sangat bersyukur, karena memiliki kakak ipar yang sangat baik.
Pikiran sesaat itu membuat Luna akhirnya memejamkan mata dan langsung terlelap dengan nafas yang teratur.
Beberapa saat kemudian, David telah menyelesaikan tugasnya di lantai bawah. Langkahnya terasa berat saat menaiki tangga. Tangannya sesekali mengusap keringat pada wajahnya, begitu melelahkan dan kini waktunya untuk beristirahat, pikir David.
Tapi saat tangannya memutar kenop pintu, sesuatu yang aneh terjadi. Pintu itu terkunci dari dalam, sejenak ia kembali mencoba memutarnya, tapi tetap saja pintu itu memang telah dikunci oleh Luna.
“Ah, kenapa harus dikunci, sih!” gerutu david sangat kesal.
Ingin rasanya mengetuk pintu dan membangunkan Luna, tapi rasa gengsi menguasai pikirannya. Mustahil dirinya yang jelas-jelas menolak bantuan dari Luna, kini harus tampak menyedihkan di depan pintu kamar mereka.
“Haish…” David menggaruk kepalanya yang tidak gatal berulang kali karena frustasi. “Harus tidur diluar lagi, padahal udara malam ini sangat dingin.”
David kembali melangkah menuruni tangga, dengan berat hati ia harus menerima dan kembali tidur di sofa ruang tamu seperti biasanya. Pasti malam ini akan terasa dingin sekali, mengingat angin yang berhembus sejak sore tadi.
BERSAMBUNG