NovelToon NovelToon
Surat Cinta Untuk Alana

Surat Cinta Untuk Alana

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Enemy to Lovers
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: bulan.bintang

Alana, gadis SMA yang 'ditakuti' karena sikapnya yang galak, judes dan keras kepala. "Jangan deket-deket Alana, dia itu singa betina di kelas kita," ucap seorang siswa pada teman barunya.

Namun, di sisi lain, Alana juga menyimpan luka yang masih terkunci rapat dari siapa pun. Dia juga harus berjuang untuk dirinya sendiri juga satu orang yang sangat dia sayang.

Mampukah Alana menapaki lika-liku hidupnya hingga akhir?
Salahkah ketika dia menginginkan 'kasih sayang' yang lebih dari orang-orang di sekitarnya?


Yuk, ikuti kisah Alana di sini.

Selamat membaca. ^_^

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bulan.bintang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9 | Sepucuk surat

Alana, Hanna dan Lidia tengah menikmati waktu minum teh di teras depan, sambil memandang kebun bunga yang tetap terawat meski Hanna jarang berada di rumah.

Walau bukan komplek elit, namun perumahan di mana mereka tinggal terasa nyaman, tenang dan tentunya tak ada kumpulan para penggibah yang duduk berkumpul membahas tetangga yang lain. Mayoritas penghuni di sini adalah orang-orang sibuk yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar dari pada dalam rumahnya yang nyaman. Hanya sesekali terlihat art, tukang kebun dan satpam yang berjaga di masing-masing rumah.

Alana menatap ibunya dengan senyum mengembang, dia sangat bersyukur dapat berkumpul dengan wanita mulia itu meski lewat momen yang sungguh tak pernah diharapkan. Begitu juga dengan Lidia, dia menatap kakak dan si gadis yang pertemuannya dapat dihitung jari setiap bulan.

"Na, kok tumben kamu pulang cepet hari ini? Biasanya sampai sore kan? Nggak ada les?" Lidia meraih cangkir tehnya lalu menyeruput pelan.

Alana yang sedari tadi memandang ke taman dengan tatapan kosong, seketika terkejut saat sang ibu menyentuh lengannya.

"Nak, kamu kenapa? Ada yang dipikirin? Coba cerita sama Mama juga Tante. Jangan dipendam sendiri, Sayang." Hanna mengusap lembut punggung tangan anak gadisnya.

"Nggak kok, Ma. Aku baik-baik aja." Alana tak berani menatap mata ibunya.

"Serius?" Lidia melirik si gadis yang mengedipkan sebelah matanya. Lidia mengangguk paham, lalu mengalihkan topik pembicaraan.

Mereka saling berbincang hingga sudut mata Alana menangkap sebuah mobil yang terlihat berhenti di depan gerbang.

Alana paham, itu adalah ayahnya. Bergegas dia membawa sang ibu ke dalam.

"Mama belom mandi kan? Mandi sekarang aja, keburu sore nanti dingin. Yuk, gantian sama aku juga." Alana mengamit lengan Hanna, sedang Lidia mengikuti tanpa banyak bicara.

"Tante, tolong temenin Mama dulu ya, aku mau mandi." Sebelum pergi, Alana berbisik pada Lidia.

"Tahan Mama biar di kamar terus ya, Tant. Sampe aku masuk nanti. Inget, jangan biarin Mama keluar."

Mendengar itu, Lidia mengangguk. Dia tahu, pasti ada sesuatu yang membuat gadis itu bersikap demikian.

Setelah memastikan semua aman, Alana melenggang ke arah teras dan duduk sambil menikmati sisa minumannya. Dia melihat sang ayah yang masih berada di garasi.

Jantung Alana berdegup cepat, hawa panas membuat wajah dan tubuhnya merasa gerah yang amat sangat.

Tenang Alana, tenang. Inget, laki-laki itu yang bikin Mama seperti ini. Sabar, sabar. Tahaaann.

Alana terus mengulang kata-kata itu dalam hati sembari menghirup napas dalam-dalam lalu perlahan melepaskannya.

Langkah demi langkah Bastian semakin mantap saat dia melihat putrinya tersenyum di teras. Dia yakin sekali, anaknya akan memaklumi dan memaafkan dirinya yang kembali mengabaikan janji.

"Halo anak Papa yang cantik, ngapain sendirian di sini? Abis ada tamu?" Bastian menatap meja bundar dengan tiga cangkir di atasnya.

Alana mengangguk dan tersenyum hangat -senyum palsu yang dia paksakan-.

Bastian duduk di samping Alana, seketika dia tersadar jika putrinya tengah menatap tanpa berkedip.

"Nak, kapan Mama pulang? Maaf waktu itu Papa nggak bisa dateng karena ada meeting dadakan. Tolong maafin Papa ya," ucap Bastian lalu menggenggam jemari anaknya.

Alana sendiri merasa sakit namun dia tak akan memperlihatkannya di hadapan laki-laki seperti Bastian. Dia menoleh dan tersenyum mendapati sang ayah yang masih menatap wajahnya.

"Nggak papa kok, Pa. Lagian aku sama Mama udah biasa mandiri. Mama juga udah sehat, udah senyum lagi. Ya cuma satu ... " Alana sengaja menggantung kalimatnya dan menyipitkan mata ke arah ayahnya.

Kening Bastian berkerut, "kenapa, Sayang?"

Alana menghela napas pelan, lalu kembali memasang senyum manisnya.

"Aku belum berhasil nemuin si penabrak itu, tapi Alana yakin manusia jahanam seperti dia pasti hidupnya tak akan tenang, senang dan damai ... Oh ya, Pa. Salam buat pacar Papa itu ya, tolong sampaikan kalau sekali lagi ganggu Mama, kupastikan seumur hidup dia nggak bakal hidup tenang," bisik Alana yang segera bangkit dan masuk ke rumah menuju kamar ibunya.

Siapa pun yang ganggu hidup mama, berarti gangguin aku juga.

Alana mengetuk pintu dan detik berikutnya, wajah Lidia muncul di balik pintu.

"Papa kamu pulang, Na? Mana dia?" Lidia berbisik sembari melayangkan pandangan ke belakang Alana.

"Nggak penting, Tante ... Mama mana?"

Keduanya masuk kamar dan melihat Hanna sudah tertidur dengan wajah tenang.

"Tadi abis minum obat trus ngantuk katanya."

Alana mengangguk, dia bersiap keluar dan Lidia juga mengekor sampai ke pintu.

"Tante di sini aja ya, tolong jagain Mama. Kunci pintunya, jangan sampai Papa masuk."

Alana meninggalkan Lidia yang masih menatap kebingungan. Perlahan, gadis itu menapaki anak tangga dan masuk ke kamarnya.

Baru saja dia memejamkan mata, ponsel di meja belajar berdering membuat Alana dengan malas bangkit dan menyeret langkahnya ke meja di depan jendela.

"Halo, maaf ini siapa?"

Hening tak ada jawaban, kembali Alana mengulang pertanyaannya namun lagi-lagi hanya terdengar suara lalu lalang kendaraan dari seberang.

Alana menutup panggilan dengan kasar lalu meraih novel dan membawanya ke tempat tidur. Dia tak menghiraukan dering ponsel yang kembali mengusik ketenangannya dan memilih fokus pada barisan kalimat yang dia baca.

Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk, disusul suara berat laki-laki yang memanggil namanya. Alana bangkit, membuka dan mempersilakan sang ayah masuk.

Bastian mengamati seisi kamar putrinya, dari lemari, meja belajar hingga gambar di dinding yang dia buat saat pertama kali Alana masuk sekolah. Tak terasa, waktu begitu cepat berlalu dan sebagai seorang kepala keluarga, dia merasa telah mengabaikan banyak sekali waktu yang berharga dengan istri dan anak semata wayangnya. Dengan sekali gerakan, Bastian memeluk Alana dan terisak.

Alana yang mendapati perlakuan itu, merasa terkejut namun dalam lubuk hati terdalam, dia merasa sebuah kenyamanan yang tlah lama hilang.

Pa, aku sayang Papa. Tapi aku juga nggak bisa diam saja melihat Mama seperti sekarang ini. Maafin aku, Pa.

Alana merasakan dada yang bergemuruh, mata dan wajah terasa panas hingga tak sadar dia menitikkan air mata.

Bastian berulang kali mencium puncak kepala putrinya, penyesalan datang bertubi-tubi. Satu per satu janji yang sengaja dia abaikan kembali mengusik benaknya.

"Sayang, maafin Papa karena selama ini selalu membuatmu merasa kesepian. Papa minta maaf, Nak. Kamu mau kan maafin, Papa?" Bastian semakin mempererat pelukannya, sedang Alana hanya diam kaku tanpa balas pelukan juga kata jawaban. Dia menatap ke samping dengan pandangan kosong, seperti hatinya selama ini.

Diam-diam, Lidia merekam momen manis itu lewat celah pintu yang sedikit terbuka. Buru-buru dia menyimpan ponsel dan kembali ke bawah menuju kamar kakaknya.

Selepas pertemuan dengan ayahnya, Alana terus diliputi rasa bimbang. Dia ingin memaafkan namun perlakuan Papa yang membuat dirinya dan sang ibu terluka kembali menari dalam benak.

Karena itulah, Alana lebih banyak diam di sekolah. Menghabiskan waktu di kelas tanpa menyendiri lagi ke aula seperti kebiasaannya.

Saat dia mengambil novel di laci meja, tangannya menyentuh sesuatu di sana. Dengan penasaran, dia manarik benda itu dan melihat namanya tertulis jelas di atas sebuah amplop biru tanpa pengirim.

Surat kaleng? Apa-apaan nih?

Dia menyimpan benda itu ke dalam tas, sebelum kedua sahabatnya melihat.

*

1
Nadin Alina
Halo kak, salam kenal kak🤗
Bulanbintang: Halo, Kak Nadin. Salam. 🤗
total 1 replies
The first child
semangat terus nulisnya thor
Bulanbintang: Terima kasih, ikuti terus kisahnya ya, 😊
total 1 replies
Anisa Febriana272
..
Anisa Febriana272
.
Anisa Febriana272
Novel bagian ini agak seru
Anisa Febriana272: Oh iya kak saya mau coba buat novel nanti kalo selesai kakak mau gk kasih tau apa aja kekurangan nya
Anisa Febriana272: Oh ya kak kakak buat novel apa aja ya saya mau baca
total 14 replies
sakura
..
Nurhani ❤️
aku mampir tour/Drool/jngan lupa mampir balik🤗nanti aku baca lgi
Bulanbintang: Ok. Terima kasih.
total 1 replies
via☆⁠▽⁠☆人⁠*⁠´⁠∀⁠`。⁠*゚⁠+
lanjut terus Thor /Determined/
Bulanbintang: Bab 15 udah di-up ya, masih direview dulu. Tetap sabar nunggu ya, 🤗
total 1 replies
via☆⁠▽⁠☆人⁠*⁠´⁠∀⁠`。⁠*゚⁠+
mampir Thor /Smile/
Niki Fujoshi
Keren abis, pengen baca lagi!
Hao Asakura
Bikin terharu sampai mewek.
Wesal Mohmad
Kayak jadi ikut merasakan cerita yang dialami tokohnya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!