Dalam menimba ilmu kanuragan Getot darjo memang sangat lamban. Ini dikarenakan ia mempunyai struktur tulang yang amburadul. hingga tak ada satupun ahli silat yang mau menjadi gurunya.
Belum lagi sifatnya yang suka bikin rusuh. maka hampir semua pesilat aliran putih menjauh dikala ia ingin menimba ilmu kanuragan.
Padahal ia adalah seorang anak pendekar yang harum namanya. tapi sepertinya pepatah yang berlaku baginya adalah buah jatuh sangat jauh dari pohonnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ihsan halomoan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedai Tuak Sudarmin
Setelah penantian panjang, gerombolan kelelawar akhirnya tiba, membawa serta sepuluh keping emas yang berkilauan. Mata Getot membelalak tak percaya. Setelah sekian lama kantongnya kering kerontang, kini ia memiliki cukup uang untuk membeli tuak dan bersenang-senang dengan wanita.
Namun, satu masalah besar menghadangnya: bagaimana cara keluar dari gua ini tanpa ketahuan Udhet, dan bagaimana pula ia akan memanjat jurang terjal itu?
"Terima kasih, sahabat-sahabatku yang baik hati. Kalian sungguh luar biasa!" serunya tulus.
"🔊🔊"
"Ah, tentu saja! Aku pasti akan kembali ke sini dan membawakan kalian buah naga yang manis. Itu janjiku, janji seorang pendekar! Hehehe."
"Sekarang aku permisi dulu. Aku harus pergi tanpa ketahuan si Udhet. Kalau sampai ia tahu, tamatlah riwayatku."
"🔊🔊"
"Apa katamu?"
"🔊🔊"
"Kalian tahu jalan pintas?"
"🔊🔊🔊"
"Luar biasa! Kalian memang teman-teman terbaik. Tunjukkan padaku jalan itu!"
Kegembiraan Getot semakin meluap. Ternyata, para kelelawar itu tidak hanya membawakan rezeki, tetapi juga mengetahui jalan rahasia yang menghindari mulut gua dan tebing curam.
Getot terus mengikuti kepakan sayap kelelawar yang terbang dengan menjaga jarak, memastikan ia tidak tertinggal. Entah berapa lorong gelap yang telah mereka lalui, Getot sudah kehilangan hitungan.
Yang pasti, ia merasakan jalur itu semakin menanjak, memaksa otot-ototnya bekerja lebih keras. Namun, berkat ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, Getot mampu mengatasi tanjakan itu tanpa kesulitan berarti.
"Hei, kalian! Apakah masih jauh?" tanyanya pada kegelapan.
"🔊🔊🔊"
"Oke, kalau sudah dekat."
Tak lama kemudian, rombongan kelelawar berhenti di depan sebuah dinding batu yang tampak kokoh.
"Kenapa kalian berhenti?" Getot mengerutkan kening.
"🔊🔊🔊"
"Apa?! Dinding ini sebuah pintu...?"
Dengan obor di tangan, Getot memeriksa permukaan dinding itu dengan saksama. Ia mencari celah, retakan, atau mungkin tuas tersembunyi yang bisa menggerakkannya. Namun, yang ia temukan hanyalah permukaan batu yang dingin dan rapat.
"Hei, kalian yakin ini benar-benar pintu?" tanyanya ragu.
"🔊🔊"
"Tapi bagaimana cara membukanya? Tidak ada tuas, tidak ada celah. Yang kulihat hanyalah dinding biasa."
"🔊🔊🔊"
"Dorong? Kalian yakin?"
"🔊🔊🔊"
"Baiklah, akan kucoba."
Getot mengambil posisi, bersiap mengerahkan seluruh kekuatannya. Dengan sekuat tenaga, ia mulai mendorong dinding batu itu. Namun, meskipun matanya sampai melotot dan wajahnya memerah padam, dinding itu tetap tak bergerak sedikit pun.
"Kampret! Apa kalian tidak sedang mempermainkanku...?" geramnya frustrasi.
"🔊🔊🔊"
"Huhhh. Baiklah, akan kucoba sekali lagi."
Meskipun keraguan masih menggelayuti benaknya, Getot kembali mencoba. Kali ini, ia membalikkan badan dan mencoba mendorong dengan punggungnya. Segenap tenaga ia kerahkan, menghentakkan tubuhnya ke dinding batu itu hingga keringat mulai membasahi punggungnya.
"Aku ingin keluar! Aku pasti bisa! Dinding sialan... terbukalah, hiyaaaaaa...!!!"
Prettttt...
Tiba-tiba, bau busuk yang menyengat menusuk hidungnya. Para kelelawar yang sedari tadi menemaninya langsung kabur kalang kabut, meninggalkan Getot yang masih berusaha keras mendorong dinding batu itu.
"Hei, kalian mau ke mana?!" serunya bingung dan kesal.
Namun, suara kepakan sayap kelelawar itu semakin menjauh, lenyap ditelan gelapnya lorong. Getot merasa lemas. Ia tidak mengingat jalan kembali, dan jalan keluar pun masih tertutup rapat. Ia benar-benar terjebak di tempat itu.
Karena kelelahan dan putus asa, Getot terduduk lemas dan menyandarkan punggungnya ke dinding batu yang tadi ia dorong-dorong. Namun, kejadian tak terduga terjadi.
Greggg...
"Hah? Bunyi apa itu?" gumamnya pelan.
Namun, karena terlalu lelah, ia tidak terlalu mempedulikannya dan kembali menyender. Kali ini, suara itu terdengar lagi, lebih keras dan lebih panjang, seperti suara batu yang bergesekan. Bahkan, Getot sampai sedikit terjengkang karena dinding yang disandarinya tiba-tiba bergeser ke belakang.
"Dasar dinding dajjal! Tadi sampai mataku melotot dan terkentut-kentut kau tidak mau terbuka. Sekarang kusandari sedikit saja kau malah bergeser..." gerutunya kesal, namun ada secercah harapan di hatinya.
Meskipun jengkel, Getot juga merasa senang. Ternyata, dinding itu benar-benar bisa bergerak. Akhirnya, ia mencoba mendorongnya lagi. Dan kali ini, dengan mudahnya Getot berhasil menggerakkan batu besar itu.
Lalu, samar-samar ia mendengar suara gemericik air.
"Hah? Seperti suara sungai. Apakah di luar dinding ini ada sungai? Ah, aku harus terus mendorong!"
Tak butuh waktu lama, Getot berhasil mendorong seluruh bagian dinding batu itu hingga terbuka lebar. Bersamaan dengan itu, cahaya matahari yang menyilaukan langsung menerobos masuk, menyambutnya dengan kehangatan.
Cahaya menyelinap masuk, memperlihatkan susunan kayu dan besi di bawah batu yang memudahkan pergeserannya.
"Siapa gerangan yang membangun mekanisme ini? Mungkinkah Ki Amuraka?" gumam Getot dalam hati.
Begitu keluar dari gua, pemandangan hutan membentang di hadapannya. Tak jauh dari sana, gemericik sungai terdengar sayup-sayup.
"Ini... di mana aku? Apakah masih di wilayahku? Aku belum pernah menjumpai tempat seperti ini sebelumnya," benaknya bertanya-tanya.
Getot melangkah maju, matanya menelisik ke kanan dan ke kiri, mencoba mengenali ciri-ciri daerah asing ini. Namun, setelah berjalan cukup lama, tak ada satu pun yang terasa familiar.
Tampaknya, gua itu membawanya keluar jauh di tengah belantara. Ia kemudian memungut sebatang kayu dan mencari tempat yang lebih terbuka.
Setelah menemukan lahan lapang, Getot menancapkan kayu itu. Mengamati bayangannya, ia mencoba menentukan arah.
"Barat... aku harus menuju barat," putusnya.
Getot berbelok ke kiri dan menyusuri hutan. Setelah berjalan agak jauh, matanya menangkap sebuah jalan setapak.
"Ah, akhirnya ketemu juga... hehe," ujarnya lega.
Di jalan setapak itu, ia berpapasan dengan seorang kakek yang memanggul seikat jerami.
"Kek, permisi bertanya. Desa terdekat dari sini di mana ya?" sapa Getot sopan.
"Kau ini dari mana, anak muda?" tanya kakek itu balik.
"Oh, saya hanya sedikit tersesat, Kek. Tujuan saya ke Desa Rancawangi."
"Hmm... Desa Rancawangi tidak jauh dari sini. Ikuti saja jalan setapak ini, lalu setelah menyeberangi sungai, belok kanan. Lurus terus sampai tiba," jelas sang kakek.
Desa Rancawangi adalah tanah kelahiran Getot, tempat ia menghabiskan masa kecilnya.
"Kalau begitu, terima kasih banyak, Kek. Saya permisi dulu," ucap Getot.
"Sama-sama, anak muda. Silakan," jawab kakek itu ramah.
Getot kembali melanjutkan perjalanan sesuai petunjuk kakek. Benar saja, di ujung jalan setapak, ia mendapati sungai dangkal yang mudah diseberangi.
Setelah menyeberang, ia berbelok ke kanan. Setelah berjalan beberapa tombak, samar-samar ia mulai mengenali lingkungannya.
"Nah, rumah Pak Parjo sudah terlihat dari jauh. Ah, kalau begitu, langsung saja aku ke warung Kang Sudarmin. Sudah lama aku tidak menenggak tuak... huh!" gumamnya tak sabar.
Warung tuak Kang Sudarmin memang terkenal di seantero desa. Pelanggannya tak hanya penduduk lokal, tetapi juga berdatangan dari desa-desa tetangga.
Warung itu cukup luas, mampu menampung banyak orang. Soal pelanggan, jangan ditanya. Mulai dari rakyat jelata, perangkat desa, hingga bahkan beberapa pejabat Mataram seringkali mampir ke sana.
Daya tarik utama warung itu adalah tuaknya yang terkenal nikmat. Namun, yang lebih menarik perhatian kaum pria adalah para pelayan wanitanya yang cantik jelita dan... bisa diajak berkencan.
Tepat di samping warung, Sudarmin juga membangun penginapan bagi pelanggan yang ingin menyewa jasa para wanita tersebut.
Getot akhirnya tiba di tempat tujuan. Untungnya, warung itu tidak terlalu ramai, sehingga ia leluasa memilih tempat duduk.
Baru saja ia duduk, salah seorang pelayan wanita yang sudah mengenalnya menghampirinya dengan senyum.
"Eh, Mas Darjo! Lama sekali tidak kelihatan. Wah, pakaianmu bagus sekali, Mas!" serunya kagum.
"Hehehe, tentu saja. Ini kan dari kulit naga. Pakaian mahal ini. Orang miskin mana punya pakaian seperti ini," jawab Getot dengan nada sedikit menyombongkan diri.
Pelayan itu tampak keheranan. Terakhir kali ia melihat Getot, pemuda itu mengenakan pakaian yang biasa saja, bahkan terkesan kumal.
"Wah, sepertinya Kang Darjo sekarang sudah punya pekerjaan yang bagus. Atau mungkin lagi banyak menang taruhan?" tebak pelayan itu.
"Ah, itu tidak perlu kau tahu, Ratmi. Yang pasti, aku ingin makan yang lezat dan minum tuak yang banyak, hehe," ujar Getot sambil terkekeh.
Getot kemudian mengeluarkan sekeping logam emas dari balik pakaiannya dan memberikannya kepada Ratmi.
"Nah, berikan aku makanan yang paling sedap dan tuak yang paling nikmat!" pintanya.
Mendapatkan koin emas, Ratmi terkejut bukan main. Ia tahu betul bahwa Getot dulunya bisa dibilang seorang gelandangan dan jarang sekali warung mereka menerima pembayaran dengan koin emas.
"Wah... Kang Darjo kaya pejabat Mataram saja yang punya koin emas," celetuk Ratmi takjub.
"Suatu saat, Ratmi. Suatu saat aku akan menjadi pejabat Mataram..." jawab Getot dengan tatapan penuh keyakinan.