Sean, bocah 11 tahun yang berlayar sendirian menuju sebuah negara yang diamanahkan sang kakek. 11 tahun telah berlalu sejak ia dan kakeknya terpaksa meninggalkan sebuah negara, tempat Sean lahir. Di negara inilah, dia akan bertemu dengan orang-orang baru yang menemani kerja kerasnya. Namun kisahnya tidak semenyenangkan itu. Bersamaan dengan pengaruh baik, ada banyak tantangan gila menantinya di depan. Dia hanya bocah 11 tahun!
Apakah Sean dan teman-temannya bisa menghadapi setiap masalah demi masalah yang tak kunjung pergi? Simak dan ikuti perjalanannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LIMS OFFICIAL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal
"Baiklah, kami akan menyebutkan siapa yang lulus untuk mengikuti ujian selanjutnya"
Marito memasang telinganya, begitu pula Daisuke. Nama-nama peserta mulai disebutkan. Orang pertama, kedua, ketiga, bahkan sampai sudah 20 orang lebih, nama Sean belum juga disebut.
Lalu, "Sean Colbert" ujar pemuda itu. Sean tersenyum dan bangkit berdiri. Ia menoleh pada Marito dan Daisuke yang menyunggingkan senyum tenang padanya.
"Aku harus bisa melewati semuanya sampai akhir. Kakek sudah berusaha keras mengumpulkan banyak uang untuk kebutuhanku" batin Sean dengan mantap menyiapkan diri untuk tes kejiwaan.
"Rasanya seperti diriku yang dulu saat menyiapkan diri untuk akademi" titah Daisuke terkekeh. "Wajah menegangkan, menunggu jawaban tidak pasti" gumam Marito memaklumi.
"Baiklah, peserta yang lolos silahkan masuk ke ruangan. Waktunya tes kejiwaan" perintah pemuda itu. Sean mulai ragu.
"Jangan melihat yang lain, lihat saja telapak tanganmu" saran Marito dari kejauhan. Sean menatap gurunya terkejut.
Sean melakukan saran gurunya. Ia tersenyum. "Baik guru!" bocah itu mengacungkan ibu jarinya.
Ia menyunggingkan senyum dan siap untuk menghadapi tes terakhir hari itu sebelum akhirnya ia menerima pengumuman.
Sean fokus mengamati soal yang ada. Tes kejiwaan ini tidak memberikan skor tertentu, hanya saja hasil dari tes kejiwaan tersebut tetap dibutuhkan untuk melanjutkan seleksi terakhir.
Waktu pengerjaannya ialah 2 jam. "Apakah dia bisa menghadapinya?" gumam Daisuke menatap lurus ke depan. "Dia bisa" sahut Marito tersenyum.
Marito dan Daisuke menunggu dengan setia. Lalu, "Waktu habis. Peserta harap menunggu hasil akhir menuju babak perangkingan"
Sean keluar dari ruangan dengan wajah lusuh. Wajahnya tampak lelah mengerjakan soal yang diberikan padanya.
"Apa jumlah soalnya 150 soal?" tanya Daisuke terkekeh. "Yang benar saja. Bagaimana cara mereka membuat soal itu?" keluh Sean masam.
"Kau tahu siapa yang membuat soal ujian selama ini?" tanya Daisuke terkekeh. "Siapa? Oniisan harus memberitahuku" Sean mendadak serius.
"Orang yang di sebelahku ini" jawab Daisuke melirik Marito, si pembuat soal. Sean menganga. "Kalau begitu kenapa guru tidak membocorkan saja padaku?!" tanya Sean kesal.
"Manusia memang hanya ingin segala sesuatu yang instan. Jika aku memberitahumu lebih awal, itu tidak adil. Soal yang kubuat juga sulit, sepertinya kau yang punya sedikit kepintaran saja tidak bisa menjawabnya" Marito menjelaskan.
"Kejam sekali. Rasanya sangat sakit jika disepelekan" gerutu Sean.
"Baiklah, kami akan mengumumkan peserta yang lolos ke babak akhir" ujar pemuda itu membuka gulungan berisi nama-nama peserta yang lolos.
Mereka yang mendengar pengumuman itu mulai memasang telinga. Satu persatu nama disebutkan. Nama Sean belum juga tersebut.
"100.. Sean Colbert. Nama-nama yang lolos persiapkan diri untuk besok, karena besok tantangan terbesar baru akan kalian hadapi"
Sean yang mendengar namanya disebut menatap Marito dengan senyuman yang merekah. "Ternyata kau masih harus bekerja keras lagi" ujar Daisuke terkekeh mengetahui kabar baik itu.
"Malam ini guru harus mengajariku teknik baru. Firasatku mengatakan, bahwa babak akhir ini ada kaitannya dengan pertarungan" Sean bersemangat.
Marito dan Daisuke saling pandang. "Baiklah, malam ini latihannya akan lebih keras. Aku akan mengajarimu gerakan kesenian" Marito siap untuk mengajari bocah itu.
"Apapun itu akan kuhadapi!"
Malamnya,
"Mossak? Aku tidak pernah mendengar itu sebelumnya" Sean memiringkan kepalanya bingung.
"Ini lebih kuat dari karate milik Daisuke" jawab Marito sombong. "Kau suka sekali meledekku" gumam Daisuke tersenyum sinis.
Marito melemparkan sesuatu berbentuk panjang pada Sean. "Apa ini?" tanya Sean penasaran. "Pedang milik mendiang kakakku" jawab Marito.
"Eh?" gumam Sean terkejut. "Tenang saja, ini cadangan miliknya. Yang sesungguhnya cukup sakral" ujar Marito membuka sarung pedangnya.
"Ikuti gerakanku, mungkin ini sedikit melelahkan" perintah Marito bersiap. "Baik" gumam Sean.
Marito mulai mempraktikkan beberapa gerakan kesenian yang sudah ia kuasai bertahun-tahun lamanya. "Jujur saja, dari pada kegiatan bela diri yang biasa ia gunakan... Mossak adalah gerakan bertarung yang sulit dikalahkan" ujar Daisuke terkekeh seraya memperhatikan mereka.
"Astaga, gerakan macam apa itu?" gumam Sean terheran melihat Marito yang mempraktikkan gerakan-gerakan sulit.
Sean menghentikan gerakannya sejenak. Ia memperhatikan dengan seksama. "Gerakannya seperti... harimau" batin Sean kagum.
"Dia pasti menghapal gerakannya untuk beberapa saat" ujar Chloe tersenyum. "Jika kau sudah menghapalnya, gunakan gerakan itu untuk menangkis beberapa gerakanku" ujar Marito segera.
"Eh?!" gumam Sean terkejut. "Sedari kemarin aku ingin tahu seberapa kuat kau menerima serangan asal. Kali ini kau harus memiliki teknik"
Sean menatap pedangnya. "Baiklah" jawab Sean bersemangat. Marito beristirahat sejenak.
Sean tampak serius dan mulai memperagakan gerakan yang ditunjukkan Marito.
"Kurang ajar. Kau mengajarinya gerakan itu untuk menghadapiku besok" ujar Daisuke di sebelahnya.
"Besok hari dia yang akan merepotkanmu" jawab Marito tersenyum. "Hahaha. Aku akan kerahkan semua kemampuan sihirku" titah Daisuke terkekeh.
"Curang sekali. Kau justru memperlihatkan kelemahanmu" ledek Marito kembali menghampiri Sean. "Baiklah... kita mulai" ujar Marito tersenyum.
"Baik" jawab Sean menyiapkan kuda-kudanya. Marito maju sambil menggunakan pedangnya. Sean menangkis dan mencoba menyerang balik.
2 menit berjalan, mata biru Marito kembali menyala. "Guru punya kebiasaan curang" gumam Zoe terkekeh. "Sepertinya itu tidak memberikan efek apapun" sahut James tertawa kecil.
"Halusinasi ?!" batin Sean mulai waspada. Bocah itu mulai menangkis setiap serangan. "Apa yang dilakukannya?" tanya Daisuke terheran.
"Dia memastikan sesuatu" jawab Zoe tersenyum. Sean terus menerus menangkis. Lalu, "Merepotkan" gumam Marito tersenyum tenang. Pedang mereka bertemu dan saling mengadu kekuatan.
Pada akhirnya, Sean lah yang terjatuh. Tentu saja, selain tenaga Marito lebih besar, ia juga lebih berpengalaman dalam banyak hal.
"Ahk, sedikit lagi aku berhasil tadi" keluh Sean kesal. "Ini sudah cukup, kau sudah berhasil melakukannya" Marito membantu bocah itu berdiri.
"Hmm, kira-kira siapa yang akan kuhadapi besok?" gumam Sean semakin penasaran.
"Sebaiknya kau jangan terlalu penasaran. Kau justru akan sangat terkejut mengetahui siapa orang yang akan kau hadapi besok" jawab Marito membereskan alat-alat yang digunakan.
"Apa guru tahu siapa? Jika guru pembuat soal ujian, seharusnya guru tahu siapa yang akan dihadapi peserta" Sean menginterogasi Marito.
Marito menghela nafas lelah. "Memangnya kau tahu besok seleksi apa yang akan kau hadapi?" tanya Marito segera. Sean terkekeh, dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil menggeleng.
"Lihat saja besok. Jika kau bertanya padaku, aku sangat pelit informasi" tutur Marito memasuki rumah. "Yang benar saja, zaman sekarang guru masih mau menjadi orang pelit?" ketus Sean heran.
Ia mengekori gurunya memasuki rumah. "Kak Jiali lama sekali pulang, aku rindu masakannya" keluh Sean memegangi perutnya.
"Bukankah kau sering memperhatikannya? Mengapa kau tidak mencoba saja resep buatannya?" tanya Marito terheran. "Rasanya tidak sempurna" jawab Sean segera dengan ekspresi sedih yang dramatis.
"Kau mau kumasakkan apa? Aku akan membuatkannya" tawar Marito bersiap memasak.
"Sungguh? Sup saja, guru!" jawab Sean antusias dan menghampiri gurunya.
Gadis dengan tubuh tinggi itu mulai meraih bumbu-bumbu yang dibuat Jiali pada lemari dinding.
"Aku harus banyak makan malam ini dan besok pagi. Agar aku bisa menghadapi ujian akhir"
......................
"Baiklah, aku akan menjelaskan teknis ujian terakhir" ujar seorang pemuda pagi itu.
"Ujian terakhir ini adalah kalian harus berhasil membawa kembali 2 buah lonceng dari salah satu anggota militer yang sudah kami pilih. Sebelum menghadapi tantangan utama, kalian harus melawan beberapa orang di perjalanan"
Sean mendengarkan dengan seksama. "Para penantang, kemarilah" pemuda dan pemudi yang ditunjuk oleh pihak kepala akademi menunjukkan diri. Dan salah satunya, ialah Zoe. Mereka berjumlah 5 orang, dan akan bertugas menghalangi tim yang dibentuk oleh pihak akademi.
"Kak Zoe?!" gumam Sean terkejut. "Hari ini yang tersisa ialah 100 orang, maka kami membagi 5 kelompok. Satu kelompok berisikan 20 orang" pemuda itu mulai menjelaskan.
"Kelompok 1..." satu persatu nama mereka disebutkan. Kelompok 1 selesai, lalu lanjut kelompok 2. Kelompok 4, dan terakhir 5.
"Terakhir, Sean Colbert. Jika kalian tidak bekerja sama, maka kalian rugi. Masing-masing kelompok sudah kami tentukan penantang"
Setiap kelompok mulai diberi penantang mereka. "Kelompok 5, kalian berhadapan dengan Zoe Louis. Kalian harus mencari gulungan peta di dalam botol agar bisa mencapai tantangan akhir"
Sean yang mendengarnya terkejut. "Setelah kalian mengetahui siapa yang akan kalian hadapi. Maka kalian harus bisa merebut lonceng dari penantang utama" seseorang berjalan menuju area lapangan.
Sean melotot terkejut, ketika ia mengenali siapa yang akan jadi tantangan utama mereka. Daisuke.
"Oniisan?!" gumam Sean terkejut. "Kawatsuichi Daisuke adalah orang yang kalian hadapi terakhir"
Sean menghela nafas lelah. Yang akan dihadapinya super menyulitkan. Zoe si jarum kehidupan, dan Daisuke si pembuat onar.
"Kalian harus kembali sebelum matahari terbenam" para peserta tentu merasa ragu.
"Baiklah, silahkan memasuki hutan!" setiap kelompok memasuki hutan. "Tunggu kalian!" panggil Sean segera. Rekan sekelompoknya berhenti.
"Kita susun strategi sebelum masuk" ujar Sean berbaik hati. "Buang waktu, yang ingin ikut denganku ayo kita pergi!" 5 orang di antara mereka memutuskan meninggalkan kelompok itu.
Sean menghela nafas. "Bisakah kau sebutkan apa strategimu?" tanya seorang bocah pada Sean. "Baiklah. Dengarkan aku"
Beberapa saat,
"Lama sekali" gumam Zoe yang duduk di dahan sebuah pohon, dan bosan menunggu bocah-bocah yang akan di hadapinya. "5 di antaranya sudah aku diskualifikasi karena gagal melawanku. Sisa 15, apa mereka berhasil?" gumam Zoe bersandar.
Zoe segera mengelak sebuah serangan yang datang. Instingnya sangat kuat. "Woah, kejam sekali langsung menyerang dari depan" gumam Zoe tersenyum misterius.
Ia mengeluarkan jarum dan benangnya. "Cari sumbernya" perintah Zoe. Jarum itu melayang dan mulai mencari sesuatu. Seorang bocah akhirnya terlihat dan jarum itu mengejarnya.
Namun, "Apa ini?!" gumam Zoe terkejut ketika seseorang memotong benang itu.
"Yang kita hadapi ini adalah orang yang menggunakan sihir senjata. Dia menggunakan benang tipis dengan baluran energi dan sebuah jarum besar dengan energi utamanya. Karena ini adalah ujian, dia pasti tidak mencoba membunuh kita. Maka kau bertugas jadi umpan, sementara dia akan memotong benang itu. Kita bisa mengulur waktu, untuk mengecohnya"
Zoe berdecak kesal dibuat kerepotan untuk menggunakan jarum lain. Namun di luar perkiraan para bocah itu, Zoe membuat percabangan benang dan berhasil menemukan keberadaan mereka.
"1... 2 .. 3... 4... 5..." ia menghitung bocah yang lari. "10? Ke mana 5 lagi?" gumam Zoe terheran. Jarumnya tidak bisa menemukan mereka.
"Sial! Angin dari mana ini?" Zoe berpegangan pada pohon, ketika sebuah angin kencang datang menghantamnya.
"Dia pasti mencoba membuat percabangan benang, maka 5 di antara kita bersembunyi di sumber benang. Dan kita yang akan menyerangnya. Untuk itu, gunakan angin kencang agar sihirnya menghilang pada jarum dan benangnya"
Dan setelah angin berlalu. Kelima bocah muncul dari bawah. Seorang anak perempuan tampak menggunakan sebuah kipas raksasa dari kejauhan.
"Kalian di luar dugaanku sekali" gumam Zoe mulai mengelak serangan dari para bocah itu. "Naif, seharusnya di saat seperti ini kalian memiliki strategi" ujar Zoe berhasil menjatuhkan mereka.
"Justru ini strategi yang kami gunakan" sahut seseorang membuat Zoe tersadar. Ia berbalik, dan mendapati Sean berdiri di atas pohon.
"Dapat" katanya menunjukkan botol berisi kertas yang dimaksud. "Astaga, aku lengah" gumam Zoe terkekeh. "Baiklah, kalian boleh melanjutkan ke babak selanjutnya" ujar Zoe tersenyum santai.
"YEY, KITA BERHASIL. AYO SEGERA BERGEGAS!" bocah-bocah itu segera bergegas. "Terimakasih kak Zoe!" titah Sean sebelum ia menghilang.
"Daisuke-niisan merepotkan tahu, jadi kalian harus lebih ekstra!"
"Baik!"
Zoe tertawa kecil membiarkan mereka pergi. "Kalau guru tahu aku terkecoh oleh para bocah, dia pasti mengejekku semalaman" gumam Zoe terkekeh.
Di sisi lain, Sean dan teman-teman sekelompoknya terus berjalan mengikuti arahan peta. "Tunggu" salah satu dari mereka menghentikan langkah.
Telinga Sean menangkap sebuah suara. "Suara... langkah kaki" gumam Sean menyadari sesuatu.
"Barusan, kau bilang suara langkah kaki bukan? Jika kau bisa mendengarnya, berarti..."
"Ini kaki, raksasa..."
Dari kejauhan, pemilik langkah kaki itu muncul. "LARI!" teriak Sean tahu, raksasa itu bukan bagian dari tantangan pada ujian.
Mereka berlari secepat mungkin. "Aduh!" salah satu dari mereka tersandung. Kakinya mengenai kayu dan terluka. Raksasa itu semakin dekat.
Dan, "Nyaris sekali" gumam seseorang berhasil menarik bocah itu. Raksasa itu tumbang dan terkapar. Mereka yang di sana mengelak.
Daisuke tiba tepat waktu. "Kalian baik-baik saja?" tanya Daisuke pada bocah-bocah itu. "Kami baik-baik saja, oniisan" jawab Sean menghampiri Daisuke.
"Ini benar-benar kacau. Raksasa ini entah datang dari mana" gumam Daisuke memperhatikan raksasa yang masih terkapar.
Namun Daisuke segera mengerutkan keningnya, ketika raksasa itu tiba-tiba bangkit. "Kalian lari, lah! Sean... panggil para anggota militer lain yang masih di sini" perintah Daisuke mengeluarkan kipasnya.
"Baik! Ayo semua!" ajak Sean segera. Daisuke memperlihatkan mata putihnya dan mencoba melihat isi energi raksasa itu. Pemuda itu menyadari sesuatu. "Aku kenal energi ini" gumamnya.
Raksasa itu mulai mendekat. Daisuke segera menghempaskan raksasa itu setelah ia mengibaskan kipas raksasanya. Raksasa itu tercampak jauh.
Daisuke, memiliki sihir mata yang diberi nama Shiroi Hikari. Ketika pengguna menggunakan sihir ini, maka urat saraf pada bagian kepala akan timbul karena mata harus bisa fokus pada titik energi yang timbul.
Selain melihat tembus pandang, mata itu bisa melihat titik buta, dan menghapal energi lawan. Kelemahan mata itu, ialah titik buta penggunanya pada bagian leher belakang dan pengguna tidak bisa menghadapi seseorang dengan keahlian bela diri yang di atas rata-rata.
Sihir mata tersebut bertumpu pada saraf dan mata, yang artinya dia harus super fokus. Jika dia menghadapi lawan dengan kemampuan bela diri yang kuat, maka kepalanya akan terasa sakit karena dia memaksa dirinya untuk fokus pada penyerang bukan lagi titik buta energi lawan.
"Sial, yang aku tahu dari Leon... raksasa ini bisa beregenerasi" gumam Daisuke berlari menjauh. Raksasa itu pantang menyerah dan kali ini dia justru berlari mengejar Daisuke.
Daisuke yang mengetahui itu mempercepat larinya. "Sial" gumam Daisuke mulai panik ketika raksasa itu semakin dekat.
Ia mengeluarkan pedangnya, dan kembali menggunakan sihir matanya. "Di sana" gumam Daisuke menemukan titik buta raksasa itu.
Kini ia berbalik dan hendak menyerang balik raksasa itu. "Seharusnya ini berhasil" gumam Daisuke melemparkan katana miliknya.
Katananya mengenai sasaran. Dan perlahan, tubuh raksasa itu meledak. Daisuke tentu terkena cipratan darah dari raksasa itu.
"Menjijikkan" gumam Daisuke menghapus tetesan darah di wajahnya.
"Dai!"
Daisuke berbalik badan, dan mendapati rekan-rekannya baru saja tiba.
"Sudah beres. Kalian lama sekali"
......................
"Joe?" Theo tentu terkejut mengetahui laporan dari Daisuke dan Marito siang itu. "Ya, Joe dalam bentuk raksasa membunuh Michael" Theo semakin terkejut.
Ia berdecak kesal. "Lalu yang hari ini berhasil kau kalahkan... itu tubuh siapa?" tanya Theo pada Daisuke. Pemuda itu menghela nafas berat dan ragu untuk mengatakannya.
"Mario Louis. Sepupu Zoe" Marito yang mendengarnya juga turut terkejut. "Aneh sekali, para raksasa sudah berhasil dibereskan saat perang dunia dulu" gumam Theo memijit pelipisnya.
"Akibat dari peristiwa ini, para peserta jadi harus mengulang kembali untuk besok hari. Tapi kita masih harus memastikan suasananya aman" ujar Theo dengan tegas. "Siap, kepala!" jawab keduanya.
"Pak kepala!" seorang pengawal tiba-tiba saja masuk dengan tergesa-gesa. "Ada apa?" tanya Theo terkejut. "Di gerbang kota... ada, ada raksasa. Dia... dia menggenggam seorang bocah bermata biru"
Marito yang mendengarnya tertegun, namun ia segera berlari secepat mungkin. "Oi, Leon. Permisi, kepala" pamit Daisuke membungkuk dan segera menyusul Marito.
Gadis itu berlari secepat mungkin tanpa kenal lelah. "Sean!" Marito mendapati bocah itu sudah berada dalam genggaman raksasa itu.
"Guru! Hey, lepaskan aku raksasa aneh!" Sean memberontak sebisanya.
"Tunggu dulu, jangan gegabah" Daisuke menahan Marito yang panik.
"Raksasa itu memakan manusia, Dai!"
"Ya, aku tahu. Kau tidak bisa menyerangnya dari bawah. Kau harus terbang meraih kepalanya!"
Marito menatap raksasa itu yang masih memegangi Sean. "Baiklah, apa rencanamu?" tanya Marito.
Daisuke tersenyum.
"Lepaskan aku! Jika tidak guru dan oniisan akan membunuhmu!" Sean mengancam raksasa itu.
Raksasa itu menatapnya. Berbeda dengan raksasa yang dihadapi Marito, raksasa ini seakan tidak memiliki niat membunuh.
Raksasa itu berbalik dan hendak pergi. Namun, "Apa itu?!" gumam Sean terkejut ketika seseorang melewatinya. Dia menebas mata raksasa itu.
Sekali lagi orang itu lewat dan menebas tangan yang menggenggam Sean.
"Oniisan!"
"Kau sudah aman, bocah"
Daisuke mengamankan Sean di atas sebuah atas rumah. "Sialan, ini berat sekali" gumam Daisuke mengibaskan kembali kipas raksasanya.
"Guru?!" gumam Sean terkejut melihat Marito yang memanfaatkan kekuatan angin kipas itu.
Kini gadis itu berada tepat di kepala raksasa itu. "GURU!" teriak Sean terkejut ketika raksasa itu berhasil memakan Marito.
Tentu saja panik. Ini di luar rencananya. "Oniisan, lakukan sesuatu! Kenapa diam saja?!" Sean mengguncang tubuh Daisuke yang kaku.
Bayangan buruk ketika perang melanda negeri itu kembali terlintas di hadapan Daisuke. Ia mulai berkeringat dingin. Terlalu banyak orang yang telah meninggalkannya.
"Apa yang terjadi?!" tanya Chloe akhirnya tiba. "Lakukan sesuatu kak! Guru dimakan raksasa itu!" Chloe yang mendengarnya terkejut.
Begitupula Zoe yang baru saja tiba. "SIAL! KENAPA AKU JUSTRU MENJERUMUSKANNYA PADA KEMATIAN?!" teriak Daisuke kesal.
Sean yang tidak pernah melihat Daisuke semarah itu tentu tertegun. "Tunggu..." Zoe memperhatikan sesuatu yang aneh pada raksasa itu.
"Apa yang terjadi?!" Chloe segera memasang matanya. Perlahan, mulut raksasa itu terbuka namun seperti ada sesuatu yang memaksanya.
"Tempat ini... pengap, dan bau sekali!" ketus Marito dengan tenaganya membuka paksa mulut raksasa itu. "Cepat bantu dia!" Chloe segera berlari.
Zoe dengan benangnya bergerak lebih cepat. Ketika Marito sudah benar-benar berhasil membuka paksa mulut itu, ia melompat keluar.
Gadis itu segera naik ke atas kepala. Tangan raksasa itu yang beregenerasi mencoba meraih Marito. Daisuke memotong tangan itu lagi dengan katana nya. Zoe melemparkan bahan peledak dengan zat khusus, untuk menghentikan regenerasi tubuh.
"Enyahlah!" gumam Marito menyerang titik buta raksasa itu. Mereka segera menghindari raksasa itu, "Meledak!" umpat Chloe dengan kutukan kata.
Badan raksasa itu meledak. Sean yang memperhatikan cara mereka melawan tentu terkagum. Daisuke dengan senjata dan sihir matanya, Chloe dengan kutukan kalimatnya, Marito dengan fisiknya yang luar biasa, dan Zoe dengan benang jarum pembunuhnya.
"Beres" gumam Daisuke sebelum akhirnya ia terjatuh. "Yang benar saja, saat aku merepotkanmu dalam berbagai misi, kau juga merepotkan diriku untuk membawamu" keluh Marito hanya bisa menghela nafas lelah memaklumi.
Sorenya,
"Oniisan sudah sadar?" tanya Sean ketika Daisuke menggeliat di atas kasur. "Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri?" tanya Daisuke mengubah posisinya menjadi duduk.
"Dari tadi siang" jawab Sean membereskan handuk basah dan air hangat yang digunakannya untuk mengkompres suhu panas tubuh Daisuke.
"Kenapa ada benda itu?" tanya Daisuke terheran. "Tadi guru bilang, oniisan demam. Jadi aku membuat air hangat dan membasahi handuk" jawab Sean.
"Astaga, aku lemah sekali" gumam Daisuke tertawa kecil. Sean meletakkan sebuah mangkuk berisi sup.
"Aku akan menyuapi oniisan"
"Aku bisa-"
Daisuke segera meringis ketika merasakan perih di punggungnya. "Oniisan terjatuh dan punggung oniisan jadi tumpuan. Jadi lebih baik oniisan tidak perlu banyak bergerak" saran Sean terkekeh.
Daisuke tertawa kecil mendengarnya. Setelah Sean selesai menyuapi Daisuke, ia keluar. "Kau sudah sadar?" suara itu berhasil mengejutkan Daisuke.
Marito muncul dari jendela. "Kau bertindak seperti hantu" ketus Daisuke memegangi dadanya.
"Besok aku harus ke gunung itu lagi"
"Yang benar-"
"Zoe ikut denganku"
Daisuke menghela nafas lega. "Bagaimana dengan ujian mereka?" tanya Daisuke. "Tenang saja, aku akan menggantikanmu. Kau beristirahatlah"
Daisuke tersenyum tenang.
"Aku banyak merepotkanmu selama ini, terimakasih"
"Lupakan masa lalumu. Dan tetap bertahan, Akira"