Cerita ini berlatar 10 tahun setelah kejadian di Desa Soca (Diharapkan untuk membaca season sebelumnya agar lebih paham atas apa yang sedang terjadi. Tetapi jika ingin membaca versi ini terlebih dahulu dipersilahkan dan temukan sendiri seluruh kejanggalan yang ada disetiap cerita).
Sebuah kereta malam mengalami kerusakan hingga membuatnya harus terhenti di tengah hutan pada dini hari. Pemberangkatan pun menjadi sedikit tertunda dan membuat seluruh penumpang kesal dan menyalahkan sang masinis karena tidak mengecek seluruh mesin kereta terlebih dahulu. Hanya itu? Tidak. Sayangnya, mereka berhenti di sebuah hutan yang masih satu daerah dengan Desa Soca yang membuat seluruh "Cahaya Mata" lebih banyak tersedia hingga membuat seluruh zombie menjadi lebih brutal dari sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Foerza17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memanggil Bantuan
Tutt!!
Suara mendengung dari ponselku menandakan bahwa dia mungkin masih online untuk saat ini. Yah aku harap juga begitu. Tak berselang lama, dia pun mengangkat panggilanku
"Ya halo?" jawabnya dingin.
"Hei, Vi! Apa kau masih bekerja sekarang ini?" tanyaku antusias. Aku sangat berharap dia sedang berada di kantor untuk saat ini.
"Di pukul 02.15 dan kau mengatakan aku masih bekerja? Aku juga punya kehidupan, Kak," sahutnya dingin dengan suara serak.
"Mungkin kau sudah berada di rumah sekarang. Dengar! Aku ingin menyampaikan sesuatu sebelum sinyalku hilang. Kau harus mendengarkannya dengan seksama oke!" ucapku serius mengingat sepertinya dia masih dalam kondisi mengantuk dan terkesan kurang serius dalam mengangkat panggilanku. Dia hanya menggumam dengan malas.
"Baiklah. Apa kamu masih inget tentang Desa Soca?" ucapku lirih.
"Huh? Desa Soca? Inget, inget!" tiba-tiba suaranya menjadi lebih antusias dari sebelumnya.
"Oke! Percaya gak percaya, sekarang aku lagi ada disana sekarang ini," aku menekankan seluruh ucapanku agar dia semakin mempercayai dan mendengarkanku lebih seksama.
"Terus zombie-zombie itu?" tanya Vivi.
"Yah benar. Aku bertemu dengan para zombie yang masih meneriakkan cahaya, cahaya itu lagi," jawabku dengan suara berat.
"Begitu ya?" ucapnya pelan seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan.
"Kenapa? Apa ada yang salah? Apa traumamu masih belum hilang atas kejadian 10 tahun yang lalu?" tanyaku lebih lembut kepadanya karena aku tahu kejadian itu sangat membekas di dalam hati kami.
"Ah tidak. Aku hanya merindukannya saja hahaha," jawabnya dengan tawa yang getir. Aku paham sekali, pasti dia sangat merindukannya.
"Oiya ngomong-ngomong, Kakak udah sampai belum sekarang?" sambungnya.
"Duh gimana sih? Kan aku udah bilang, aku sekarang ada di Desa Soca itu. Pasti masih ngantuk kamu sekarang ish," gerutuku.
"Loh iyakah? Tapi Kakak kan naik kereta? Bukan bis kek kita dulu?" tanyanya lagi seakan tak percaya.
"Makanya. Dan anomali yang kita kalahkan dahulu, kemungkinan bermutasi menjadi lebih mengerikan. Atau mungkin lebih bisa buruk lagi," jawabku dengan suara bergetar.
"Lebih buruk lagi? Apa yang lebih buruk dari monster yang bermutasi?" tanya Vivi panik.
"Kemungkinan monster itu tidak hanya satu," ucapku lirih namun mantab. Vivi pun terdengar hanya menelan ludahnya.
"Baiklah kamu tidak usah khawatir. Segera cari bantuan, nanti aku akan share lokasi agar teman-temanku yang selamat bisa segera di evakuasi," sambungku lagi.
"Baik, Kak. Aku akan segera telepon polisi," ucap Vivi singkat. Kemudian dia langsung menutup teleponnya.
Aku kemudian mengirim lokasiku saat ini agar dia bisa langsung menghubungi tim SAR atau apapun agar teman-temanku bisa langsung diselamatkan. Aku tidak mau kejadian 10 tahun yang lalu terulang kembali. Kejadian yang membuat temanku satu persatu saling mengorbankan dirinya hanya agar yang lain bisa pergi dengan selamat. Aku sangat tidak menginginkan itu.
Aku kembali memandangi rembulan yang perlahan ditutupi oleh awan. Membayangkan kejadian yang begitu mengerikan dan mampu untuk membuat jiwaku bangkit. Aku bahkan mendaftar ke kepolisian agar aku memiliki kekuatan untuk melindungi teman-temanku nantinya. Aku tidak ingin kembali kehilangan mereka yang berharga.
Benar juga. Mungkin pada momen seperti inilah aku berlatih selama ini. Apakah mungkin aku harus mencari sosok kelabang seperti yang dibicarakan oleh Hadi tadi? Apakah aku sudah cukup kuat untuk menghadapinya? Apakah aku bisa? Mungkin setelah tim penyelamat berhasil mengevakuasi mereka aku akan kembali kesini untuk mencari makhluk kelabang itu. Atau yang bisa kusebut sebagai "Sang Penumbal Mata."
Aku kembali merebahkan punggungku ke batang pohon. Angin mendesis dihembus angin yang pelan. Rasa kantuk perlahan semakin kuat. Aku bahkan lebih sering menguap untuk saat ini. Ketika aku masih berjuang menahan kantuk, mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah titik yang berwarna oranye kemerahan diantara bayangan pepohonan.
Aku tersentak dan langsung bangkit dari dudukku. Aku terus mengamati titik oranye itu. Perlahan cahaya oranye itu semakin mendekatiku. Yang awalnya hanya satu, semakin dekat titik itu terpecah menjadi dua. Dua cahaya oranye layaknya sepasang mata tajam yang melihatku dari kejauhan.
"Apa itu mereka?" gumamku sendirian.
Aku langsung menodongkan pistolku kearahnya. Tak lupa juga aku memasang laser dibawahnya agar tembakanku menjadi semakin akurat. Cahaya laser yang berwarna merah dengan kontras langsung menyentuh tubuhnya yang masih tertutupi bayangan. Aku mencoba untuk meng-scan tubuhnya dengan menggerakkan pistolku ke sekelilingnya.
Dengan tinggi yang hanya setengah meter, dan tubuhnya yang memanjang, aku berasumsi bahwa dia adalah seekor harimau. Aku menghela napas lega karena yang mengintaiku hanyalah seekor harimau. Walaupun masih berupa ancaman, tetapi aku tidak terlalu cemas terhadapnya.
Aku langsung mengambil senter kecil disakuku agar aku bisa dengan jelas melihat sosok itu. Aku kembali menyorotinya dan cahaya putih langsung menembus kegelapan malam. Aku sangat terkejut melihat sosok itu yang ternyata bukanlah seekor harimau. Melainkan seorang zombie dengan bentuk yang tidak normal.
Sosok itu berjalan kayang dengan kepala yang mendongak dengan ekstrim. Dengan bibir yang tersenyum dan mata yang menyala, mataku terbelalak melihat wujudnya yang begitu mengerikan. Rasa traumaku langsung muncul dan merasuki jiwaku. Tanganku bergetar hebat dan bahkan aku tak mampu untuk menggerakkan tubuhku.
Aku gemetar memegang pistolku. Aku bahkan tak sanggup untuk menarik pelatukku yang bahkan aku bisa saja membunuhnya hanya dalam sekali tembak. Tetapi entah mengapa, aku merasa tak sanggup melakukannya sekarang.
Dia perlahan merangkak mendekatiku. Sorot lampu senter yang masih menampakkan wujudnya yang begitu mengerikan masih menyoroti seluruh tubuhnya. Tubuhku masih terbujur kaku melihatnya.
"Cahaya mata yang bagus kakakakakk," ucapnya dengan suara yang menggaung diiringi suara tawa layaknya seekor burung gagak yang semakin menambah berat pundakku.
Dia kemudian berlari dengan cepat walau dalam kondisi seperti itu. Dengan liur yang menetes diterpa angin, dia terlihat sangat bernafsu untuk segera memakanku. Tubuhku masih belum mampu untuk kugerakkan. Yang kubisa saat ini hanyalah menutup mataku menunggu sergapannya datang.
Tiba-tiba sebuah suara tubuh yang terhempas terdengar. Aku langsung membuka mataku untuk melihat apa yang terjadi. Tak disangka, Shima berhasil menumbangkannya hanya dalam sekali serang.
"Pak Willie gapapa?" tanyanya dengan napas yang tersengal. Aku menggelengkan kepalaku pelan dan masih tertegun melihatnya bisa mengalahkan zombie itu.
"Aku sempet denger ada yang berbicara tapi bukan dari suara Bapak. Makanya aku langsung bangun dan melihat Bapak kek mematung pas liat zombie itu," sambungnya dengan senyum manis di wajahnya.
"Memang penampakannya semengerikan itu kok, Pak. Kalo aku yang pertama kali liat, aku pasti juga membeku kek Bapak saat ini hehe,"