Yang satu punya banyak problematik, yang satunya lagi bocah bebas semaunya. Lalu mereka dipertemukan semesta dengan cara tak terduga.
Untuk tetap bertahan di dunia yang tidak terlalu ramah bagi mereka, Indy dan Rio beriringan melengkapi satu sama lain. Sampai ada hari dimana Rio tidak mau lagi dianggap sebagai adik.
Mampukah mereka menyatukan perasaan yang entah kenapa lebih sulit dilakukan ketimbang menyingkirkan prahara yang ada?
Yuk kita simak selengkapnya kisah Indy si wanita karir yang memiliki ibu tiri sahabatnya sendiri. Serta Rio anak SMA yang harus ditanggung jawabkan oleh Indy.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
"Saya asisten rumah tangga disini Mbak." Sahut Rio apa adanya.
"Apa?! sejak kapan kamu bekerja di sini? selama ini aku tidak pernah melihatmu." Juni menelisik Rio dengan tatapan selidik.
"Sejak-- sebelum saya jawab, Mbaknya jawab dulu pertanyaan saya. Mbak Juni ngapain ada di sini? kalau mau bertamu kenapa tidak lewat pintu depan?" cara Juni datang menimbulkan tanda tanya.
"A-ku... ah iya, aku teringat omongan ku tempo hari. Jika kita bertemu lagi maka kita harus tukeran nomor telepon. Berapa nomor mu Rio?" Juni mengeluarkan hp nya dan berkutat sebentar.
"Kosong delapan--------
...******...
Restoran Nagafood.
Handi, Juni, dan Indy berada dalam satu meja yang sama. Mereka seperti keluarga bahagia dengan formasi bapak ber anak dua. Dari lubuk hati yang paling dalam, Indy tidak sudi berada disini andai saja ia tidak tertekan dengan prahara kerjasama. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih teliti terhadap profil calon customer maupun supplier. Cukup satu kali ini saja Indy berurusan dengan Naga grup.
Mendengar basa-basi Handi dengan salah satu koleganya, Indy merasa muak. Ia bangun dari duduknya ingin mencari udara segar.
"Mau kemana kamu Rhin?" Handi bertanya lebih dulu sebelum Indy berpamitan.
"Mau ke toilet sebentar Pah. Permisi." Indy menganggukkan kepala ke hadapan semua orang. Baru hendak melangkah tangan Indy tercekal Junifer.
"Mamah juga ikut Nak. Permisi semuanya." Begitu kalimat Juni, membuat Indy ingin memakan meja.
Kepalang sudah berdiri dan berjalan, Indy tidak bisa jika harus membatalkan kepergiannya ke toilet. Wanita itu mau tidak mau dibuntuti wanita yang sangat ia benci.
"Rhin, tunggu Rhin.. " Indy tidak meladeni panggilan Juni. Suara ibu tirinya dianggap kentut belaka.
"Rhin!" kali ini Juni menarik tangan Indy hingga wanita itu berhenti.
"Rhin, sampai kapan kamu kaya gini? oke, aku ngerti kamu merasa aku tuh jahat sudah merusak rumah tangga Mas Han dengan Mama kamu. Kamu boleh ngatain aku pelakor dan segala macamnya aku terima dengan ikhlas asal kamu mau terima aku seperti dulu lagi. Rhin, yang udah berlalu biarlah jadi masa lalu. Kita benahi hubungan kita yang berantakan ini biar bisa hidup lebih damai. Asal kamu tahu Rhin, sebenarnya aku juga nggak mau sampai menjadi perusak rumah tangga orang. Tetapi kalau cinta sudah berkata, aku sama Mas Han bisa apa?"
"Percayalah Rhin, sekuat apapun cinta dilawan, yang ada malah semakin membesar. Aku sayang sama Papah kamu itu tulus, dan aku juga sayang sama kamu."
"Udah lo ngomongnya? kalau udah giliran gue yang ngomong. Tadi kata lo cinta? hei Juni, gue nggak sebuta itu percaya kalau lo cinta sama bokap gue. Debu-debu yang berterbangan juga tahu kalau lo masuk jadi perusak karena ada ambisi."
Juni mengurut dada, menghela nafas rendah. Air mukanya begitu nelangsa namun dibuat setegar karang.
"Rhin, aku kemarin datang ke rumah kamu tapi aku tidak bisa masuk."
"Makanya jangan ke rumah gue lagi. Harusnya sih lo ngerti apa maksudnya."
"Iya aku ngerti. Aku udah nggak boleh ke rumah kamu lagi kan? Kalau begitu, jaga kesehatan baik-baik. Kamu sehat-sehat aja kan sekarang?"
"Oh tentu."
Juni tersenyum heran, sedangkan Indy bersikap santai dan selalu menunjukkan bahwa dia baik-baik saja meskipun badai menghadang.
Jadi perempuan bernama Juni adalah ibu tirinya Kak Indy?! Dia bertanya tentang kesehatan padahal dia lah yang menabur racunnya. Dia juga berkata soal cinta padahal waktu di konser dia bilang masih sendiri. Gumam bocah yang diam-diam mengikuti Indy dari rumah. Ini adalah Informasi yang bagus untuk disampaikan kepada Indy.
...******...
Kediaman Indy.
Rio lebih dulu sampai di rumah sebelum akhirnya menyambut kepulangan Indy dua puluh menit setelahnya. Perasaan Indy begitu buruk lantaran mendengar kemauan ayahnya yang diluar nalar. Sudah tahu hubungan diantara mereka tidak baik, Handi malah memaksakan kehendaknya kepada sang anak.
Tadi,
Disaat pertemuan makan malam setelah Indy kembali dari toilet--dimana Juni selalu mengekor seakan-akan takut tawanan kabur-- Indy kembali duduk di kursi panas. Suasana semakin mencekam saat Handi berbicara langsung pada tujuan diadakan makan malam tersebut. Tujuannya tidak jauh-jauh dari penggabungan bisnis berbentuk perjodohan.
Indy yang tidak bisa menahan lagi memilih menyuarakan keberatannya. Dia pergi dari sana membawa kepeningan tetapi ia dikejar oleh sang ayah. Sementara Juni tidak dapat menyusul ayah san anak tersebut karena tertahan dengan tamunya yang mempertanyakan sikap penolakan Indy.
"Rhin,!"
"Rhinzy berhenti."
"RHIN!"
Karena tidak mau berhenti, Handi menyambat tangan Indy, menariknya paksa ke tempat yang sudah lelaki tua itu siapkan.
"Papah lepasin!" Indy memberontak sekuat tenaga. Disini Rio dan pengintai suruhan Juni tidak bisa menguntit. Ruangannya sempit, juga kedap suara.
"Indy, tenanglah Nak."
Indy tercenung. Sejak kapan Papanya tahu soal nama panggilannya? Walaupun rasa penasaran membuncah, Indy tetap ingin meloloskan diri dari cengkraman ayahnya. Sampai akhirnya Handi melakukan sesuatu yang membuat Indy kembali tercengang.
Begitulah sekiranya penggalan kejadian di Restoran yang membuat Indy pulang dalam keadaan berantakan hati dan pikiran.
"Kak,"
"APA?!" sentak Indy, membuat Rio mengurungkan niat untuk meneruskan bicara. Ia ingin mengutarakan informasi penting mengenai apa yang lelaki itu dapatkan. Tetapi setelah melihat situasi, menurut Rio tidak bagus membahasnya sekarang meskipun mendesak.
"Tidak apa-apa. Sepertinya kakak lelah dan butuh istirahat. Saya bantu---
"Tidurlah. Saya lagi pengen sendiri."
Indy terseok-seok melangkah ke kamarnya, setelah sebelumnya melempar tas ke arah Rio namun tidak sampai mengenai anak itu. Rio memungut tas tersebut yang jatuh tepat di samping kiri ia berdiri sembari terus menatap kepergian Indy.
Karena pernah mendapati Indy mencari obat di dalam tas, Rio pun melakukan hal yang sama ketika memegang tas milik Indy. Dia cari-cari obat itu menelusuri padatnya penghuni tas yang berjejalan, lalu..
Pluk.
Sebuah kertas yang terlipat jatuh mengenai kakinya. Tampangnya sekilas mirip catatan belanja atau struk dan sejenisnya. Namun menilik jatuhnya berasal dari tas Indy, Rio berpikir kertas yang terlihat sepele tersebut termasuk dokumen penting. Dia mengambilnya untuk diamankan tetapi pada saat tidak sengaja baca sedikit, kening Rio seketika berkerut.
.
.
Bersambung.
Epilogue.
"Indy, coba tatap mata Papah! begini kah caramu berkomunikasi?"
Indy masih membuang muka. Lukanya membuat dia tidak bisa menatap obsidian Handi. Bukan tidak berani, hanya saja semakin menyelami lebih dalam, Indy tak mampu mengontrol gejolak tangis.
"Saya ingin pulang. Mohon pengertiannya." Indy masih berusaha kabur.
"Hubungan kita semakin buruk karena komunikasi yang tidak jalan. Komunikasi yang tidak jalan karena kamu tidak mau menatap lawan bicara. Indy, pergunakan instingmu. Kesampingkan dulu rasa sakit yang kamu derita dan tolong kamu lebih peka dengan situasi." Setelah berkata seakan-akan memojokkan Indy, Handi melepaskan sang putri sambil menyelinapkan sebuah lipatan kertas ke dalam tas Indy dengan gerak cepat.
Heh, jd keinget gaya helikopter nya Gea sm Babang Satria🤣