Ketika cinta tak cukup untuk membangun sebuah rumah tangga.
Sang ibu mertua yang selalu merongrong kebahagiaan yang diimpikan oleh Bima dan Niken.
Mampukah Bima dan Niken mempertahankan rumah tangga mereka, yang telah diprediksi oleh sang ibu yang mengatakan pernikahan mereka tak akan bertahan lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dee Irma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pilihan orang tua
"Mas, sepulang kerja nanti jadi mau anter aku periksa ke dokter kandungan?" Tanya Niken sambil menyisir rambutnya.
"Tentu. Nanti aku akan jemput kamu di pabrik." Sahut Bima yang masih mengancing kemejanya.
Niken berdiri dan membantu merapikan pakaian Bima.
"Aku memang tidak salah pilih istri. Yang sabar dan mencintai dengan tulus. Maaf belum bisa membahagiakan kamu, Ken." Ucap Bima.
Niken menatap Bima.
"Aku sudah bahagia kok, Mas. Aku bisa menerima kamu apa adanya. Apalagi, sebentar lagi, kita tidak akan berdua, tapi bertiga." Sahut Niken sambil tersenyum.
Bima menunduk lalu menempelkan telinganya pada perut Niken yang mulai membuncit.
"Nak, sehat sehat ya di dalam sana. sebentar lagi kita akan bertemu. Papa akan ajari kamu mancing, atau main gitar, atau mau drum. Lalu papa akan ajak kamu jalan jalan keliling Yogya. Kita bisa main ke pantai setiap Minggu. Papa dan Mama sayang kamu, Nak. Yang sehat dan kuat ya." Ucap Bima, lalu mengelus perut Niken.
"Aku yakin, dia akan jadi anak yang sehat dan kuat." Sahut Niken sambil membelai rambut suaminya.
Niken keluar dari kamar, lalu menuju dapur. Menyiapkan bekal untuk suaminya dan dirinya.
Mereka sengaja berbelanja sendiri, supaya tidak merepotkan Bu Mirna, bahkan tak jarang Niken membantu membelikan gas atau membantu membayarkan tagihan listrik.
Bu Mirna hanya memperhatikan setiap gerak gerik Niken dengan sikap tak suka. Entah mengapa sampai saat ini pun, Bu Mirna masih merasa Niken tidak layak masuk dalam keluarganya.
Dalam pikirannya, Bu Mirna masih berharap Rima yang akan menjadi pendamping hidup Bima.
Bu Mirna sangat berharap berbesan dengan keluarga Rima yang memiliki keturunan Keraton, dan pengusaha. Dengan harapan jika kedua keluarga bergabung, maka bisnis batik keluarga Widodo akan menjadi semakin besar.
Bu Mirna hanya melirik sekilas saat Bima dan Niken berpamitan hendak berangkat bekerja.
"Kami berangkat duluan, ya, Pak, Bu."
"Iya, nanti tolong sekalian siapkan motif pesanan pelanggan yang kemarin, ya, Ken." Pesan Bapak sat Niken hendak pergi bekerja.
"Baik, Pak."
Lalu Niken pergi berboncengan motor dengan Bima.
"Kenapa, Bapak selalu menyuruh dia melakukan pekerjaan yang penting?" Seloroh Bu Mirna dengan nada tak suka.
"Loh, karena dia, kan, bekerja di pabrik, Bu. Bagiannya itu. Lagi pula kerjanya bagus selama ini."
Pak Widodo meneruskan menyantap sarapannya.
Bu Mirna hanya bisa menghela napas berat sambil memajukan bibirnya.
Pak Widodo tersenyum geli sambil menggelengkan kepalanya melihat istrinya, yang masih terlihat kesal pada menantunya itu.
"Kamu itu sebentar lagi mau jadi Simbah. Nggak boleh sering ngomel ngomel lagi. Harus lebih sabar menghadapi cucu."
Celetuk Pak Widodo sambil menyuapkan nasi goreng dalam mulutnya.
"Pak. Aku tuh nggak habis pikir, apalah kelebihan wanita itu? Kalo penampilan menang Rima jauh. Pinter, juga masih pinter Rima, lah lulusan UGM, siapa yang nggak tahu universitas negeri nomor satu se- Yogyakarta, bahkan masuk peringkat sepuluh besar Nasional. Terus S2 lulusan Amerika. Lalu sekarang jadi manager perusahaan. Terus, mengapa dia malah pilih wanita yang dari keluarga biasa saja, lulusan universitas nggak jelas, beneran kuliah atau nggak, kita juga nggak tahu."
Bu Mirna masih nyerococos dengan kesal.
"Wis. Bapak berangkat kerja dulu. Nggak baik ngomel terus, apalagi ngomongin orang yang belum tentu bener. Pagi pagi sudah ngomel."
Pak Widodo meneguk segelas air putih, lalu berdiri. Mengambil tas kerjanya, lalu berangkat ke pabrik.
*
"Wah, bayinya sangat aktif sekali ini. Sehat."
Ujar dokter sambil menggerakkan alat pada perut Niken, sambil menatap ke monitor USG.
"Itu apa dokter? Kok gerak gerak?" Tanya Bima sambil menunjuk monitor.
"Oh, itu tangan dan kakinya yang bergerak." Sahut dokter sambil tersenyum.
"Anak pertama?"
"Iya, dokter." Sahut Niken dan Bima bersamaan.
"Mau lihat jenis kelaminnya?"
"Memangnya sudah bisa terlihat?" Tanya Bima.
"Biasanya usia dua puluh Minggu ke atas, jenis kelaminnya sudah terbentuk dan dapat terlihat."
Bima dan Niken saling berpandangan. Semalam mereka membahas tentang hal ini.
Bima ingin suprise, jadi jenis kelamin apapun anaknya nanti dia akan tetap menyambut dengan rasa sayang.
Berbeda dengan Niken, yang sangat ingin mengetahui jenis kelaminnya.
Bima menatap Niken, seolah mengatakan 'terserah padamu.'
"Em, sepertinya, kami menginginkan kejutan saja, Dokter. Yang penting kami tahu, bahwa kondisi anak kami sehat dan aktif. Lalu tidak ada masalah dalam kehamilan saya ini."
Ucap Niken sambil menatap dokter kandungan itu.
"Baiklah, jika begitu. Apa ada pertanyaan lain?"
"Tidak, dokter. Sudah cukup, terima kasih."
*
Tok tok tok !
"Bima!" Panggil Bu Mirna sambil mengetuk pintu kamar.
Bima dan Niken yang sedang bersenda gurau, menghentikan bercanda mereka.
"Ada apa, Bu?"
"Ibu mau bicara sebentar."
"Tunggu sebentar, Bu."
"Ibu tunggu di ruang tengah."
Bima menoleh ke arah Niken yang masih menatap Bima.
"Aku tak tahu, ibu ingin berbicara denganku."
"Semua akan baik-baik saja, Mas."
Bima mengangguk. Lalu keluar menemui ibunya.
"Duduklah!"
Bima menuruti instruksi ibunya saat itu dan menunggu Bu Mirna memulai pembicaraan.
"Tadi sore, ibu ketemu sama Rima di rumah Bu Gito saat arisan di sana. Katanya Rima putus dengan kekasihnya."
Bima mengerutkan keningnya hanya menatap ibunya tanpa banyak bicara.
Bima terlihat enggan membahas, jika bahasannya tentang Rima.
"Bim, kamu harus pikirkan masa depanmu dan keluarga besarmu. Kamu tidak bisa membantu bapak di pabrik, malah kerja sama orang lain. Ibu ingin, usaha bapakmu ini maju dan berkembang."
"Semua itu butuh proses loh, Bu. Apalagi aku dengar jadi Niken, usaha batik pabrik mulai banyak dilirik oleh penjahit dan beberapa UMKM mulai membeli kain di pabrik bapak." Sahut Bima.
"Iya. Ibu tahu. Tapi, setidaknya kamu jangan cuek pada Rima."
"Bu! Aku ini sudah menikah dengan Niken. Lalu saat ini, Niken sudah mengandung buah hati kami, Bu. Calon cucu ibu." Bima mulai menolah secara halus setiap permintaan ibunya yang tak masuk akan.
"Aku nggak yakin, dia anakmu atau bukan, nggak jelas!" Tukas Bu Mirna.
Sontak membuat Rama geram dan mulai menatap ibunya seolah memberikan perlawanan.
"Ceraikan wanita itu, dan nikahi Rima." Ucap ibu dengan suara sangat jelas.
"Bu?!" Bima mendelik menatap ibunya.
"Apa yang akan diberikan dia pada keluarga ini?" Tanya Bu Mirna.
"Aku mencintainya, Bu. Begitu juga dengan Niken. Kami saling mencintai, Bu. Ibu tahu perjuangan kami dahulu hingga kini."
"Justru itu, Bima! Sebelum semuanya terlambat, kamu bisa mendekati Rima kembali." Sahut Ibu.
Bima menggelengkan kepalanya, dan meninggalkan Bu Mirna
"Bima, dengarkan Ibu!"
"Bu. Cukup! Aku telah menikah dengan Niken, dan aku tak akan berpaling darinya, Bu."
"Apa yang bisa dibanggakan oleh perempuan itu?"
"Kehormatan, Kami Bu. "Bima benar benar diam mematung untuk beberapa saat.
"Apa yang telah dia berikan pada
"Terserah!" Ucap Bu
Tenang saja, nggak akan gantung kok, pasti terus berlanjut. 😘😘