Ardina Larasati, sosok gadis cantik yang menjadi kembang desa di kampung Pesisir. Kecantikannya membuat seorang Regi Sunandar yang merupakan anak pengepul ikan di kampung itu jatuh hati dengannya.
Pada suatu hari mereka berdua menjalin cinta hingga kebablasan, Ardina hamil, namun bukannya tanggung jawab Regi malah kabur ke kota.
Hingga pada akhirnya sahabat kecil Ardina yang bernama Hakim menawarkan diri untuk menikahi dan menerima Ardina apa adanya.
Pernikahan mereka berlangsung hingga 9 tahun, namun di usia yang terbilang cukup lama Hakim berkhianat, dan memutuskan untuk pergi dari kehidupan Ardina, dan hal itu benar-benar membuat Ardina mengalami gangguan mental, hingga membuat sang anak yang waktu itu berusia 12 tahun harus merawat dirinya yang setiap hari nyaris bertindak di luar kendali.
Mampukah anak sekecil Dona menjaga dan merawat ibunya?
Nantikan kelanjutan kisahnya hanya di Manga Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Angin laut berhembus kencang membawa aroma pesisir dan bau ikan yang khas, siang ini, di dalam rumah sederhana berdinding kayu. Seorang wanita duduk termenung dengan kaki yang terikat rantai.
Tatapannya nanar, seolah menunggu sesuatu yang tak pasti, sesuatu yang setiap waktu bahkan setiap detik selalu ia nanti, hingga membuat waktunya terbuang sia-sia seperti ini.
Di sampingnya berdiri seorang anak yang seolah ikut merasakan sakit yang ibunya alami, selama tiga tahun terakhir ini, suaranya terus memanggil nama yang ia sendiri tidak tahu keberadaannya.
"Jangan pergi Mas Hakim, aku di sini sendirian, kasian anak kita butuh sosok ayah," ucapnya dengan air mata yang mungkin sudah kering.
"Ibu, jangan sedih ya, Dona selalu ada disamping Ibu," ujar anak 12 tahun itu.
Sejenak Ardina mulai menatap manik hitam itu, sekilas ingatannya tahu jika Dona adalah anaknya tapi setelah itu mulutnya kembali mengoceh, dengan sendirinya seolah dari tadi keberadaan Dona tiada artinya.
"Mas Hakim ... dulu kamu janji mau rawat anakku dan menerima anakku apa adanya tapi kenapa setelah besar kau menghilang, dia itu kasihan tahu, bapaknya sendiri sudah pergi dan sekarang kamu juga ... hikz ... hikz ..." tangis itu kembali pecah mengaung memenuhi ruangan ini.
Jika sudah seperti ini, Dona tidak berani mendekati ibunya, karena kerap kali sang ibu bertindak di luar batasnya, anak kecil itu hanya bisa mengelus dada melihat kenyataan pahit yang terjadi dalam dirinya.
"Ya Allah kasian Ibu, kembalikan ingatan Ibu seperti dulu lagi, aku rindu dengan Ibu yang selalu menyiapkan sarapan, menceritakan dongeng sebelum tidur, sekarang Ibu seperti itu kakinya dirantai, setiap hari harus menangis memanggil nama ayah," ucapnya dengan tatapan yang sendu.
Matahari mulai merangkak keatas, gadis kecil itu mulai melangkah ke dapur, kecilnya, tangannya mulai memegangi perutnya yang sedari tadi sudah bersuara, tapi hari ini tidak ada bahan untuk di masak, semenjak ibunya sakit, Dona sudah terbiasa berjualan ikan bakar keliling kampung, kadang ia juga mencari sisa ikan yang terjatuh jika pelayan datang.
Hari ini kaki kecil itu berjalan keluar rumah, mencoba untuk mencari sesuatu yang nantinya bisa ia masak, suara desir angin, anak-anak yang asik bermain pasir di bibir pantai, semuanya itu terekam jelas di dalam benaknya, hanya saja mau bergabung dia ingat ada ibunya yang membutuhkan penjagaan darinya.
"Hey Dona, ikut main gak!" teriak seorang teman yang bernama Rendi.
Dengan cepat Dona menggelengkan kepalanya. "Enggak dulu aku mau menunggu sampan nelayan datang, siapa tahu saja ada ikan yang terjatuh," sahut Dona.
"Ya sudah semoga dapat ya," ucap Rendi.
Namun teman yang lain di samping Rendi begitu sinis, dan berkata julid. "Lagian kamu punya ibu g*la nyusahin saja, kata ibukku ibumu itu gak sayang anak. Ia terlalu gila sama laki-laki!" cetus Kartika.
Ucapan Kartika membuat langkah Dona terhenti, ia menunduk berusaha untuk tidak menangis, karena sudah sering ia mendengar teman-temannya berkata seperti itu.
Dona hanya bisa menggigit bibirnya lalu dalam hati ia berkata. "Ibukku tidak gila ... dia hanya sakit."
Sementara itu Rendi menyenggol lengan Kartika pelan, lalu menegur. "Kamu jangan berkata seperti itu kasian Dona."
"Biarin emang ibunya kaya gitu kok," sahut Kartika ia pun mulai pergi menggandeng teman-temannya yang lain.
Sementara itu Dona mulai melangkah ke arah tempat berhentinya sampan nelayan, desir ombak laut mulai terdengar pasang surut membawa buih putih ke permukaan. Para nelayan sudah nampak mendekatkan sampannya, dari kejauhan Dona sudah bisa menilai jika tidak banyak ikan yang di dapat hari ini.
Namun ia tetap berlari ke arah pasir berharap ada seekor ikan yang bisa ia bawa pulang. "Pak ada ikan yang terjatuh?" tanyanya dengan suara yang sedikit berbisik.
Seorang nelayan tua yang mengenalnya, Pak Rona, menoleh. Wajahnya penuh iba.
“Dona… hari ini sepi. Tapi coba lihat di ujung sana, barangkali ada yang tersangkut di jaring bekas.”
Mata Dona langsung berbinar kecil, meski lelah dan sedih masih menggantung.
“Terima kasih, Pak!”
Ia berlari ke arah yang ditunjukkan, tempat nelayan biasa mencuci jaring. Ada tiga ikan kecil yang nyangkut di serat jaring yang belum dibersihkan. Dona memungutnya cepat-cepat.
Walau kecil, baginya itu sudah cukup. "Alhamdulillah dapat juga, lumayan untuk lauk nanti sore," ucapnya sambil menghela nafas lega.
"Dona gimana dapat gak?" tanya Pak Rona.
Anak itu mengangguk dengan cepat. "Alhamdulillah Pak dapat."
Dona berbalik arah memutuskan untuk pulang, namun sebelum pulang, ia menatap rumah-rumah di kampung itu. Sejumlah ibu-ibu sedang menjemur ikan asin sambil bergosip. Tapi Dona tidak berani melewati jalur itu karena ia tahu, topik yang mereka senangi adalah ibunya Dona.
"Sampai kapan ya mereka berhenti bicara tentang Ibu, padahal ibukku hanya sakit dia tidak gila," ucap Dona sambil mengusap pipinya sendiri.
Gadis kecil itu memutar arah sedikit lebih jauh dari pada harus mendengar ibunya yang selalu menjadi bahan omongan para tetangganya.
☘️☘️☘️☘️
Saat tiba di rumah, ia mendengar suara yang sangat ia kenal, tangisan itu mulai terdengar kembali, dengan cepat Dona berlari, lalu langkahnya terhenti di depan pintu kamar ibunya.
“Mas Hakim… Mas Hakim jangan tinggalin aku… aku janji nggak akan nakal lagi… tolong pulang…”
Tangis itu menggema seperti taufan yang merobek dada. Dona berlari masuk. “Ibu… Ibu, aku pulang…”
Ardina duduk di sudut kamar masih memegang ujung rantai yang mengikat kakinya. Tatapannya liar, seperti mencari seseorang yang hilang dari dunia.
"Aku mau keluar ... mau keluar!" teriak wanita itu seolah meminta untuk dilepaskan rantai yang mengikat kakinya.
Dona mencoba untuk membelai wajah ibunya yang kusam. "Bu, jangan di luar ya, dunia luar terlalu keras untuk Ibu," ucap anaknya itu.
Seketika Ardina terdiam ucapan sang anak seolah menenangkan hatinya namun tidak lama kemudian, ingatannya terhadap pria yang bernama Hakim itu datang lagi.
“Mas Hakim… kamu dengar? Dia pulang… anak kita pulang. Kamu nggak mau lihat dia? Mas… Mas Hakim?” suara itu pecah.
Dona meletakkan ikan kecil itu di meja kayu, lalu perlahan mendekat.
“Ibu, ini Dona… Ibu lapar? Aku cari ikan.”
Namun Ardina tak menoleh. Ia memukul-mukul lantai, marah. “Kenapa dia nggak datang, hah?! Tiga tahun aku nunggu… TIGA TAHUN! Apa salahku?!”
Dona tersentak. Tubuhnya gemetar. Ketika ibunya mulai seperti itu, ia tahu, ia harus menjauh. Ia memeluk dirinya sendiri.
“Ibu jangan marah… Ibu jangan pukul diri sendiri…” ucapnya dengan suara bergetar.
Ardina tak mendengar. Dalam pikirannya nama itu terus memanggil, terus menuntut, terus mengejar.
Dona mundur beberapa langkah.
Air matanya jatuh satu-satu, anak kecil itu merasa lelah, padahal ia hanya ingin ibunya sembuh, agar kehidupannya kembali normal seperti dulu, namun pada kenyataannya ibunya masih belum sembuh juga setelah kepergian ayah sambungnya itu.
Anak kecil itu masih berdiri di ambang pintu, hati kecilnya mulai berbisik. "Ibu tenang ya, kalau Dona sudah besar, Dona janji akan sembuhkan Ibu."
Ia mengusap pipinya sendiri, dan tatapannya tertuju pada rantai yang membelenggu kaki sang ibu.
Di luar rumah, dua orang tetangga sedang mengintip dari celah dinding, berbisik-bisik seakan menonton tontonan.
Dona memejamkan mata. Ia tahu… suatu hari, mereka akan memaksa memanggil petugas, memaksa membawa ibunya pergi. Dan hari itu semakin dekat.
Bersambung ....
Apakah nantinya ibu Dona didatangi petugas puskesmas. Nantikan kelanjutannya ya.
Halo Kakak-Kakak ... tes ombak dulu ya, cerita baru dari seorang anak yang diberi ujian sangat luar biasa. Temani perjalanan Dona ya. 🥰🥰🥰🥰🙏🙏🙏🙏
pergi jauh... ke LN barangkali setelah sukses baru kembali,,tunjukkan kemampuanmu.
semangat......