Duda Kepentok Janda

Grisel mengakui jika gaun itu sangat indah, tapi cemburu dan rasa iri membuatnya menepis pikiran memuja akan hasil karya mantan kekasih suaminya itu. Dia pun keluar dari ruang ganti, lantas penata busana membantu merapikan gaun itu.

“Gaun ini tidak pas dengan ukuran tubuhku!” protes Grisel dengan nada suara keras.

Penata busana itu terkejut, lantas menatap gaun yang kini sudah melekat di tubuh Grisel.

“Tapi saya rasa ini sangat indah jika Anda yang mengenakan,” balas penata busana mengamati dari bawah hingga atas.

“Tidak!” sanggah Grisel, “bagian perut tidak nyaman dan sedikit ketat, lalu pundak pun sangat longgar dan tidak pas, aku merasa gaun ini sangat buruk!” imbuhnya memprotes.

Di luar kamar ganti. Joya dan karyawan studio mendengar suara Grisel yang begitu lantang. Mereka menebak jika Grisel pasti sedang marah di dalam, hingga semua mata tertuju pada pintu kamar ganti. Sang manager pun sudah menduga jika Grisel pasti akan membuat masalah, tapi juga tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak bisa menasihati modelnya itu.

Grisel keluar dari ruang ganti seraya memasang wajah kesal, gaun yang dikhususkan untuknya sudah melekat indah, tapi Grisel masih membuat masalah dengan berkata jika gaun itu jelek.

“Ck … desainer macam apa yang dipekerjakan di perusahaan ini. Mendesain gaun untuk model yang biasa bekerja di sini saja salah ukuran,” cibir Grisel, tersenyum miring ke arah Joya.

Semua karyawan di sana langsung menatap Joya, menatap ekspresi wajah desainer baru di perusahaan itu.

Joya sudah menduga jika Grisel akan mempermasalahkan soal ukuran baju yang didesainnya. Ia lantas mendekat ke arah Grisel, kemudian berjalan memutari wanita itu seraya mengamati, seakan sedang menilai apakah gaun itu memiliki masalah.

“Hm … sepertinya bukan gaunnya yang bermasalah,” kata Joya yang sudah berdiri di hadapan Grisel.

Grisel terperangah mendengar perkataan Joya, hingga bola matanya melotot ke gadis yang sangat dibencinya itu.

“Apa maksudmu, hah?” tanya Grisel membentak.

Manager Grisel mendekat, hendak mengingatkan agar Grisel tak emosi di sana. Namun, sayangnya Grisel tak menggubris bisikan sang manager dan memilih untuk tetap bersitegang dengan Joya.

Desainer bernama Joya itu memperhatikan gaun yang melekat di tubuh Grisel, lantas berkata jika ukuran bajunya tidak salah, tapi badan Grisel yang melebar dan terlihat gemuk. Grisel sangat murka, ternyata Joya berani menghinanya terang-terangan, dulu Joya mengalah begitu saja kepada Grisel ketika Farzan direbut dari Joya, tapi tampaknya kini desainer baru itu lebih berani melawan daripada beberapa tahun yang lalu.

“Jangan kurang ajar kamu!” Grisel yang emosi, lantas mengangkat tangan untuk memukul Joya, geram karena ada yang berani menghina dirinya.

Manager Grisel mencoba mencegah, bagaimanapun tidak bisa membiarkan modelnya bertindak anarkis di sana, karena jelas akan mempengaruhi citra baik Grisel di mata khalayak umum.

**

Grisel kini berada di mobil seraya meremas tas bermerk-nya. Dia sangat geram dan begitu marah karena mendapatkan sebuah penghinaan di perusahaan tempatnya dikontrak selama tiga tahu terakhir itu. Dia awalnya berniat mempermalukan serta membuat desainer bernama Joya yang tak lain adalah mantan kekasih suaminya agar dipecat dari perusahaan itu, tapi siapa sangka jika dirinya yang malah dipermalukan di sana.

Belum lagi Grisel harus mendapatkan penghinaan dari direktur utama di sana yang membela Joya, bahkan memutuskan kontrak kerja sepihak antara dirinya dan perusahaan fashion terbesar di negara itu. Membuat Grisel merasa jika harga dirinya telah diinjak-injak, tak pernah Grisel merasa semalu ini.

“Aku takkan membiarkannya begitu saja!” geram Grisel memendam amarah semakin besar pada Joya. Bukan hanya karena menganggap gadis itu sebagai orang ketiga, tapi juga karena Joya telah membuatnya malu di perusahaan itu.

Sang manager yang duduk di sebelah Grisel merasa cemas, takut jika karier Grisel akan hancur jika modelnya itu tidak bisa mengontrol emosi dan berbuat sesuatu tanpa berpikir.

“Gris, lupakan masalah tadi, lebih baik kita fokus mencari job untukmu. Lagipula tadi kamu yang salah karena telah mencari gara-gara. Ayolah, lupakan saja masalah tadi, serta ambil sebagai pembelajaran.” Sang manager mencoba membujuk agar Grisel tak melakukan hal yang akan menghancurkan karirnya sendiri.

“Diam kamu! Kamu ini berpihak pada siapa?” Mata Grisel menyalang menatap sang manager. “Aku merasa dipermalukan di sini, bagaimana bisa aku melupakannya begitu saja! Aku akan buat perhitungan dengannya!” geram Grisel kemudian, kembali meremas tasnya bahkan memukul sesekali.

"Tapi lebih baik kamu melupakan saja, ini untuk mengurangi resiko kedepannya," ujar sang manager masih mencoba membujuk.

“Melupakan? Enak saja! Tidak akan pernah! Sejak dulu Joya selalu membuatku kesal dan marah, sekarang pun seperti. Jika dulu aku bisa membuatnya tersingkir, maka sekarang pun akan sama!” ancam Grisel.

Grisel menyeringai, mengingat saat dirinya berganti pakaian dan dengan sengaja sedikit membuat koyak gaun mahal buatan Joya. Dia hanya ingin memberi pelajaran serta memperingatkan untuk tak main-main dengannya.

Sang manager akhirnya memilih diam, karena percuma menasihati Grisel yang memiliki temperamen buruk dan keras kepala.

Grisel sedang memikirkan sesuatu untuk menghancurkan gadis bernama Joya, hingga pikirannya malah teringat akan Farzan. Ya, pria itu kemarin menolaknya, kini dia juga harus membuat suaminya itu mengalah dan mengikuti ucapannya.

Grisel mengeluarkan ponsel, lantas mendial nomor seseorang.

“Halo, Ma,” sapa Grisel saat panggilan itu terhubung.

“Halo sayang.” Terdengar suara wanita dari seberang panggilan yang tak lain adalah Anisa—ibu Farzan.

“Ma, apa malam ini Mama ada waktu?” tanya Grisel, bicara dengan suara lembut dan manis, tak seperti tadi yang meledak-ledak hingga suaranya memekakkan telinga.

“Ada, memangnya ada apa? Kamu mau datang?” tanya Anisa dari seberang panggilan setelah menjawab pertanyaan Grisel.

“Ya, Ma. Ada yang ingin aku bicarakan dengan Mama, ini tentang Farzan,” jawab Grisel dengan suara lemah, seolah dirinya sedang begitu bersedih.

“Ada apa? Apa Farzan melakukan hal buruk?” tanya Anisa dengan suara panik. Dia memang sangat menyayangi Grisel sebagai menantu satu-satunya.

Grisel menyeringai, sangat yakin jika dengan bantuan mertuanya, maka bisa membuat Farzan bertekuk lutut dan mau kembali padanya. Grisel tahu jika Farzan tak pernah membantah ucapan kedua orangtuanya.

“Tidak, Ma. Hanya saja beberapa saat lalu kami bertengkar, lantas Farzan pergi dari rumah dan tak mau pulang meski membujuknya. Apa Mama bisa membantuku membujuk Farzan, aku kesepian.” Grisel berakting seolah dirinya yang paling tersakiti, untuk mendapatkan simpati mertuanya.

Tentu saja Anisa percaya pada Grisel sebagai sesama wanita, hingga Anisa setuju untuk membantu Grisel bicara pada Farzan.