NovelToon NovelToon
Penebusan Ratu Malam

Penebusan Ratu Malam

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Keluarga / Diam-Diam Cinta / Cinta Terlarang / Cinta pada Pandangan Pertama / Cintapertama
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Miss Ra

Di tengah gelapnya dunia malam, seorang Gus menemukan cahaya yang tak pernah ia duga dalam diri seorang pelacur termahal bernama Ayesha.

Arsha, lelaki saleh yang tak pernah bersentuhan dengan wanita, justru jatuh cinta pada perempuan yang hidup dari dosa dan luka. Ia rela mengorbankan ratusan juta demi menebus Ayesha dari dunia kelam itu. Bukan untuk memilikinya, tetapi untuk menyelamatkannya.

Keputusannya memicu amarah orang tua dan mengguncang nama besar keluarga sang Kiyai ternama di kota itu. Seorang Gus yang ingin menikahi pelacur? Itu adalah aib yang tak termaafkan.

Namun cinta Arsha bukan cinta biasa. Cintanya yang untuk menuntun, merawat, dan membimbing. Cinta yang membuat Ayesha menemukan Tuhan kembali, dan dirinya sendiri.

Sebuah kisah tentang dua jiwa yang dipertemukan di tempat paling gelap, namun justru belajar menemukan cahaya yang tak pernah mereka bayangkan.

Gimana kisah kelanjutannya, kita simak kisah mereka di cerita Novel => Penebusan Ratu Malam.
By: Miss Ra.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9

Beberapa hari telah berlalu. Arsha masih berada di pesantren, namun pikirannya terus saja kembali pada Ayesha, bahkan ketika dirinya sedang mengajar di depan kelas santri.

Saat sedang menjelaskan materi, tiba-tiba ponsel Arsha berdering. Ia mengerutkan kening. Tidak ada nama yang tertera di layar.

"Ya, assalamualaikum..." sahut Arsha, mencoba tetap tenang.

"Ya, apa benar saya bicara dengan Tuan Arsha?" suara seorang pria terdengar dari seberang.

"Benar. Maaf, saya bicara dengan siapa?"

Para santri menahan napas, memperhatikan perubahan raut wajah guru mereka. Semakin lama, ketegangan di wajah Arsha semakin jelas. Entah siapa yang menelepon, tapi nada bicaranya membuat suasana kelas ikut dingin.

"Baiklah. Besok saya ke Jakarta. Atur saja, di mana, kapan, dan jam berapa."

Hening sesaat.

"Hmm... baik. Selamat siang."

Arsha menutup telepon itu dengan tenang, menaruhnya kembali di meja guru, lalu melanjutkan mengajar seolah panggilan tadi sama sekali tidak penting. Padahal hatinya berdebar keras.

~~

Sementara itu, jauh di kota metropolitan, Ayesha sedang duduk di balkon kamarnya. Rokok menyala di jemarinya, segelas minuman keras di sisi kanan, pakaian singlet dan hot pants melekat di tubuhnya, pakaiannya ketika sedang sendirian.

"Jadi bagaimana? Di mana aku harus bertemu klien itu?" tanyanya sambil menempelkan ponsel ke telinga.

"----"

"Baiklah. Pastikan dia membayarku mahal. Aku sedang membutuhkan banyak uang untuk operasi Ibuku." Ayesha mengembuskan asap rokok dengan wajah letih.

"----"

"Oke, besok aku datang tepat waktu." Ia menutup telepon dan kembali tenggelam dalam pikirannya, menatap kosong ke langit.

Tok... tok... tok...

"Ya, masuk," sahutnya tanpa menoleh.

Seorang pelayan muncul dari balik pintu. "Non, Nyonya memanggil Non Yesha ke kamarnya."

Ayesha menghela napas panjang. "Ya... saya datang."

~~

Kembali ke pesantren...

Arsha, setelah menerima telepon itu dan mencoba melanjutkan materi mengajar, menyadari bahwa konsentrasinya benar-benar hilang. Matanya menatap buku di depannya, tetapi kata-kata itu tidak menyerap. Pikirannya melayang pada panggilan telepon tadi, panggilan yang tidak terduga, dari nomor tak dikenal, membawa janji pertemuan di Jakarta keesokan harinya.

Tentu saja, ia tahu betul alasannya merasa gelisah. Itu karena Jakarta, karena Ayesha.

Panggilan telepon itu memberinya alasan yang sah untuk kembali. Sebuah tugas mendadak. Namun, ia tidak bisa hanya berkata, "Abah, saya harus ke Jakarta besok." Abah tidak akan pernah mengizinkannya pergi terburu-buru tanpa alasan yang kuat dan mendesak.

Ia harus berpikir. Cepat.

Ia mengakhiri kelas lebih awal, memberikan santri-santri tugas untuk dihafal, dan meminta mereka membubarkan diri dengan tertib.

Arsha lalu berjalan cepat menuju ndalem, tetapi langkahnya melambat begitu sampai di ambang pintu. Ia berdiri sebentar, menyusun strategi.

Apakah dirinya harus jujur tentang pertemuannya dengan seseorang besok?

Atau dia harus memberi alasan bahwa ada panggilan dari nomor tak dikenal untuk urusan bisnis yang tidak pernah ia sebutkan sebelumnya? Dan itu pasti akan menimbulkan pertanyaan besar juga kecurigaan. Arsha tidak pernah membawa urusan dunianya ke hadapan Abah.

Ataukah beralasan tentang keluarganya di Jakarta? Tapi mereka di sana baik-baik saja, ia baru saja mengabari mereka. Jika ia berbohong tentang sakit, Abah akan menelepon untuk memastikan, dan Arsha tidak ingin merepotkan orang tuanya.

Arsha menyentuh dahinya. Ia butuh sesuatu yang genting, personal, dan tidak dapat ditunda. Sesuatu yang Abah akan mengerti sebagai kewajiban duniawinya yang masih harus ia selesaikan.

Ia melangkah masuk.

"Assalamualaikum, Abah," sapanya, menyalami dengan takzim di hadapan sang Abah yang sedang membaca kitab di ruang tamu.

"Waalaikumussalam, Nak. Sudah selesai mengajarnya?" tanya Abah, menatap lembut.

"Sudah, Abah. Maaf mengganggu waktu Abah. Ada hal mendesak yang harus Arsha sampaikan." Arsha mengambil napas.

"Ada apa, Arsha? Wajahmu kenapa tegang begitu?," ujar Abah.

Arsha memberi senyum simpul dengan sopan. "Abah, seingatku, dulu Abah pernah bercerita tentang Yayasan Amal Kebaikan yang Abah dan teman-teman rintis, yang sedang menggalang dana untuk pembangunan sekolah bagi anak yatim. Betul, Abah?"

Abah mengangguk, "Ya, Abah ingat. Ada apa, Nak."

"Begini, Abah. Besok pagi sekali, Arsha harus kembali ke Jakarta. Arsha baru saja menerima kabar. Salah satu donatur utama, yang sudah berjanji akan memberikan dana besar agar bisa melunasi sisa biaya pembangunan, meminta pertemuan mendadak besok pagi. Beliau hanya bisa besok, dan meminta Arsha yang datang langsung, bukan perwakilan," Arsha menjelaskan, menahan debar di dadanya.

Ia melanjutkannya, meyakinkan Abah dengan nada yang sarat tanggung jawab, "Ini adalah amanah, Abah. Dana ini bukan untuk kepentingan pribadi Arsha, tapi untuk pendidikan anak-anak yang membutuhkan. Jika Arsha tidak datang, dana ini bisa hilang, dan pembangunan pesantren akan tertunda lagi. Ini adalah tanggung jawab duniawi terakhir yang harus Arsha tuntaskan, Abah."

Arsha menundukkan kepalanya, menunggu keputusan Abah. Ini adalah ujian kecil atas niatnya. Ia tahu alasannya ingin pergi adalah karena Ayesha, tetapi ia menggunakan alasan kebaikan untuk membuka jalan.

Abah menutup kitabnya pelan-pelan. Lalu melepas kaca matanya dan meletakkannya di atas meja samping kitab yang ia taruh. Keheningan menggantung di ruangan itu selama beberapa saat.

"Arsha," kata Abah akhirnya. "Kewajiban menuntut ilmu di sini memang penting. Namun, menunaikan amanah, apalagi untuk kemaslahatan umat, adalah kewajiban yang lebih besar. Itu adalah fardhu kifayah yang kau ambil untuk dirimu sendiri."

Abah tersenyum. "Pergilah. Tunaikan amanahmu itu dengan baik. Jangan lupakan niat utamamu. Setelah urusan itu selesai, segera kembali. Pondok ini menunggumu."

Napas lega Arsha terembus pelan. "Terima kasih banyak, Abah. Arsha pasti akan segera kembali."

Arsha tahu dirinya telah mendapatkan izin. Sekarang, ia harus mengatur segalanya. Ia harus memikirkan pertemuan besok dengan nomor yang tak dikenal itu, dan yang paling penting, ia harus mencari cara untuk menemui Ayesha di tengah kekacauan hidup wanita itu.

Di Jakarta,

yesha duduk di tepi kasur, tubuhnya sedikit membungkuk sementara seorang wanita paruh baya menyisir rambut panjangnya dengan gerakan lembut. Tangan itu gemetar, namun masih berusaha menunjukkan kasih sayang yang sama seperti dulu ketika Ayesha masih kecil.

Ayesha menahan napas. Kehangatan itu, yang seharusnya membuatnya nyaman, justru terasa seperti pisau kecil yang menusuk perlahan ke dalam dada.

"Sayang..." suara sang ibu lirih, namun penuh kelembutan. "Kapan kau akan menikah dengan Bimo? Ibu sudah tidak sabar ingin melihatmu menjadi pengantin."

Kalimat itu menghantam Ayesha tanpa ampun.

Ia tersenyum, tapi senyuman itu hampa, hanya tarikan bibir yang dipaksakan agar ibunya tidak melihat luka di baliknya. Ia menunduk sedikit, menyembunyikan mata yang mulai berkaca-kaca.

Sudah bertahun-tahun ia tidak bersentuhan dengan nama itu. Pria yang dulu ia cintai setengah mati. Pria yang merenggut kesuciannya dengan janji manis yang kini hanya menjadi kenangan pahit. Pria yang tanpa sepatah kata pun meninggalkannya dan memilih menikahi gadis lain yang masih perawan.

Gadis yang, menurut kabar, dipuji keluarganya karena bersih dan terhormat. Sementara Ayesha... terbuang begitu saja.

"Bimo masih bekerja di luar negeri, Bu," jawab Ayesha pelan, memaksa suaranya terdengar stabil. "Nanti... suatu saat dia pasti akan kembali dan menikahiku."

Kebohongan itu meluncur begitu mudah dari bibirnya, padahal hatinya memohon ampun pada Tuhan setiap kali ia harus mengulangnya.

Ia menarik selimut dan menutup tubuh sang ibu hingga ke leher, seakan selimut itu bisa melindungi wanita rapuh itu dari kenyataan yang begitu kejam.

"Ibu sekarang istirahat dulu, ya... Jangan pikirkan tentang Bimo. Ibu harus sembuh."

Sang ibu mengangguk kecil, memegang tangan Ayesha sebentar sebelum memejamkan mata.

Ayesha menatap wajah itu, wajah yang semakin pucat, semakin letih, semakin menua terlalu cepat karena penyakit yang terus menggerogoti tubuhnya.

Saat napas ibunya mulai teratur, Ayesha bangkit.

Ia melangkah keluar dari kamar perlahan, menutup pintu dengan sangat hati-hati agar tidak mengganggu istirahat ibunya.

Begitu pintu tertutup sepenuhnya, Ayesha langsung menyandarkan punggung pada dinding koridor rumah kecilnya. Rasanya, seluruh kekuatan yang ia kumpulkan tadi menguap begitu saja.

Setetes air mata jatuh. Ia menutup mulut dengan telapak tangan agar tangisnya tidak terdengar.

Semua ini... semua pilihan buruk yang ia jalani... bukan karena keinginannya. Bukan karena ia bangga dengan hidupnya sebagai kupu-kupu malam. Tidak ada perempuan yang benar-benar ingin menjual harga dirinya.

Ia melakukannya karena ia tidak punya pilihan lagi. Karena setiap obat rumah sakit, setiap terapi, setiap suntikan untuk ibunya... menuntut uang. Uang yang tidak mungkin ia dapatkan dengan pekerjaan biasa.

Dan kebohongan yang harus ia ulang hari demi hari... tentang Bimo, tentang masa depannya, tentang jodohnya... semua itu adalah benteng rapuh yang ia bangun untuk menjaga hati ibunya agar tidak patah total.

Ayesha menutup wajahnya, bahunya bergetar, air mata jatuh tanpa bisa ia tahan.

"Sampai kapan... Sampai kapan aku harus seperti ini...?" bisiknya, hampir tak terdengar.

...----------------...

**Next Episode**...

1
🌹Widianingsih,💐♥️
duhh .. Arsya..jangan jatuh cinta pada Ayesha, nanti akan mendatangkan masalah besar
🌹Widianingsih,💐♥️
benar-benar cobaan berat bagi seorang Gus , bagaimana nanti jika ada yang tau. ...pasti fitnah besar yang datang !
duh Gusti nu maha agung.... selamatkan keduanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!