"Berhenti gemetar Ana.. Aku bahkan belum menyentuhmu." Nada suara itu pelan, rendah, dan berbahaya membuat jantung Ana berdebar tak karuan. Pertemuan mereka seharusnya biasa saja, tapi karena seorang bocah kecil bernama Milo semuanya menjadi berubah drastis. Daniel Alvaro, pria misterius yang membuat jantung ana berdebar di tengah kerasnya hidup miliknya. Semakin Ana ingin menjauh, semakin Daniel menariknya masuk.Antara kehangatan Milo, sentuhan Daniel yang mengguncang, dan misteri yang terus menghantui, Ana sadar bahwa mungkin kedatangannya dalam hidup Daniel dan Milo bukanlah kebetulan,melainkan takdir yang sejak awal sudah direncanakan seseorang.
Bagaimana jadinya jika Ana ternyata mempunyai hubungan Darah dengan Milo?
apa yang akan terjadi jika yang sebenarnya Daniel dan Ana seseorang yang terikat janji suci pernikahan di masa lalu?
Siapa sebenarnya ibu dari Milo? apa hubungannya dengan Ana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SNUR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Trauma
tok..tok..tokk..
Rina membuka pintu dengan perlahan. ia menundukan kepalanya sedikit di hadapan Daniel.
"Maaf tuan, Tuan Nathan sudah menunggu di ruang kerja."
Daniel menatap ke arah ranjang.
"aku akan segera ke sana. " ucap Daniel dengan datar.
"Baik tuan. saya undur diri. " setelah kepergian bi rina, Daniel kembali memastikan kondisi Ana.
setelah di kiranya dia benar benar tenang dan tertidur kembali dengan ditemani Milo, Daniel bangkit perlahan dari tepi tempat tidur.
Ia menatap keduanya sejenak Milo yang memegang tangan Ana erat, dan Ana yang masih sesekali menarik napas pendek akibat bekas tangisnya.
Ia berbalik dan keluar dari kamar tamu, menutup pintu dengan sangat perlahan agar tidak membangunkan mereka berdua.
****
Pintu kayu solid terbuka, mengungkapkan ruangan luas dengan rak buku tinggi, meja kerja besar dari kayu hitam, serta jendela besar yang menampilkan hujan yang mulai turun.
Di dalam, seorang pria tampan blasteran rusia berjas hitam sudah menunggu sambil memutar-mutar gelas whiskey.
“Nathan.”
Daniel menarik napas panjang menatap sahabat yang paling dekat dengannya. sahabat satu-satunya yang ia percayai lebih dari dirinya sendiri.
Nathan menoleh, ia menaikkan satu alisnya.
“Akhirnya kau muncul juga, Tuan CEO Alvaro.”
Nada suaranya terdengar begitu santai, tapi di sisi lain juga terdengar begitu tajam.
Ia juga merupakan teman dekat Daniel sejak kuliah satu-satunya orang yang berani bicara padanya tanpa rasa takut.
Nathan mendekat.
“Kau terlambat satu jam. Biasanya kau tidak pernah seperti ini.”
Daniel hanya diam, tidak berniatenjawab pertanyaan Nathan. ia membuka kancing jasnya lalu duduk di balik meja.
“Kami diserang pagi ini.”
Suaranya datar, dan padat.
raut wajah Nathan langsung berubah serius.
“Aku dengar dari Lara tadi. Tapi aku ingin mendengar dari mulutmu langsung.”
Daniel menatap hujan di luar, rahangnya sedikit menegang.
“Ada sekitar 6 orang. Mereka Semua terlatih. sama seperti sebelumnya Mereka menargetkan Milo.”
Nathan mengumpat pelan.
“Sialan… jadi rumor itu benar.”
Daniel tidak menoleh.
“Rumor apa?”
Nathan menghela napas panjang.
“Ada pihak tertentu di Rusia yang tak suka kau menolak penawaran kerja sama mereka. Mereka bilang kau ‘menghalangi aliran uang yang bukan untuk publik’.”
Daniel mengetukkan jarinya ke meja suatu kebiasaan lamanya ketika dia memikirkan segala kemungkinan kemungkinan yang terjadi.
“Jika mereka berani menyentuh anakku… maka mereka mencari mati.”
Nathan mengangkat gelas whiskey-nya.
“Dan kupikir kau sudah cukup berbahaya tanpa alasan tambahan lainnya Dan.”
Daniel tidak tersenyum.
Justru matanya makin gelap.
Nathan Memperhatikan Daniel
Nathan memerhatikan wajah Daniel sekilas
kelelahan, garis keras di rahang, dan pandangan yang kehilangan fokusnya.
“Kau terlihat kacau,” ucap Nathan akhirnya.
“Ini bukan cuma soal penyerangan itu, kan?”
Daniel diam.
"Ada hal yang mengganggumu Daniel? "
Nathan menyandarkan tubuhnya ke sofa, menatap Daniel seperti seorang sahabat, bukan sebagai mitra kerja.
“Aku kenal kau dua puluh tahun. Kau tidak pernah kehilangan fokus kecuali… sesuatu benar benar mengganggu pikiranmu. hanya ada dua kemungkinan pertama Milo dan kedua Ibu dari Milo. ”
Daniel mendesah pelan, memijit batang hidungnya. gurat frustasi terlihat jelas di wajah lelahnya.
“Gadis itu…”
Nathan menegakkan tubuh.
“Ada apa dengan gadis itu?”
Daniel terdiam lama, seakan mencoba merangkai kata.
“Aku… salah menilainya. Dia orang yang menolong Milo. Tapi… dia ketakutan. dia seperti memiliki Trauma. Saat hujan turun, dia seperti… tenggelam dalam ketakutannya sendiri. entahlah aku tidak mengerti. "
Nathan memutar gelas whiskey.
“Jadi gadis itu yang mengguncang pikiranmu.”
Daniel menatap Nathan tajam.
ia Tidak menyangkal namun juga Tidak membenarkan.
Namun keheningan itu sudah cukup untuk menjawab.
Nathan tersenyum tipis, menggeleng kepalanya pelan.
“Dan, Dan… kau membawa masalah baru ke rumahmu. Gadis rapuh yang tak punya siapa-siapa. Luka masa lalunya. Trauma yang dia sendiri aku rasa tidak paham.”
Ia menyeruput minumannya dengan santai.
“Dan kau tahu apa yang paling gila? Kau, Daniel Alvaro, yang selalu bisa mengontrol segalanya… tiba-tiba tidak bisa mengontrol perasaanmu sendiri. Heyy... Ada apa ini? ”
Daniel membuang napas kasar.
“Ini bukan soal perasaan. Ini soal tanggung jawab. Milo menyukainya. Dia menolong Milo. Dan aku… punya hutang budi padanya.”
Nathan menyipitkan matanya curiga.
“Benarkah hanya itu?”
Daniel tidak menjawab. ia hanya diam memperhatikan rintik hujan di balik jendela.
Nathan menepuk meja dengan agak keras membuat Daniel spontan menoleh.
“Aku mengenalmu, Dan. Kau tidak pernah membiarkan orang asing tinggal di mansion ini. Bahkan Lara pun tidak pernah kau biarkan tidur di kamar tamu.”
Daniel menegang.
“Kau menyimpulkan terlalu banyak hal Nathan.”
Nathan berdiri, ia merapikan jasnya yang sedikit kusut. memandang Daniel dengan tatapan yang sulit di artikan.
“Tidak. Aku hanya membaca hal yang memang sudah jelas.”
Ia melangkah mendemat pada Daniel, menepuk bahunya dengan sedikit keras.
“Hati-hati, Dan. Gadis itu tampak begitu rapuh. Tapi justru orang seperti itu yang paling bisa masuk lebih jauh… tanpa kau sadari.”
Daniel terdiam sejenak. Menghela napas berat, lalu duduk di kursinya, tapi tubuhnya condong ke depan seolah ingin berlari kembali ke Ana kapan saja.
“Kau melihat anak itu Nathan… Ana. Dia… ketakutan sampai gemetar. Seolah tubuhnya sendiri mengkhianatinya,” ucap Daniel, suara meredam karena frustasi.
“Kau peduli padanya,” Nathan mengangkat alis, bukan sebagai tuduhan melainkan fakta yang ia simpulkan dengan mudah.
Daniel tidak menyangkal. “Aku tidak tahu apa yang membuatnya seperti itu. Dokter bilang, trauma masa lalu kadang terkunci di alam bawah sadarnya. Dan jika tak ditangani… itu bisa membunuh seseorang secara perlahan.”
Nathan mengangguk pelan. “Kalau begitu, kau butuh bantuan ahli. Aku punya kenalan psikiater profesional. Sangat ahli menangani kasus trauma berat. Dia bisa datang kapan saja jika kau mau.”
Daniel mengusap wajahnya sendiri. “Aku hanya ingin dia baik-baik saja,” gumamnya lirih lebih untuk dirinya sendiri daripada untuk Nathan.
Nathan tersenyum miring, pertama kalinya melihat sisi Daniel yang benar-benar manusia, rapuh, gelisah…dan ada rasa peduli pada sesama. semenjak kejadian 5 tahun lalu benar benar membuat dirinya terpukul berat hingga depresi.
“Daniel,” katanya serius. “Jika kau terus terlibat seperti ini… gadis itu bisa jadi titik kelemahanmu.”
Daniel menegakkan tubuh, tatapannya tajam namun di balik itu, terdapat sebuah ketakutan baru.
“Aku lebih takut jika aku membiarkannya menderita sendirian, aku berhutang budi padanya. ” jawabnya mantap.
Nathan diam. Ia tahu jawaban itu final. Daniel sudah memilih.
Ia menepuk bahu Daniel. “Baiklah. Aku akan jadwalkan psikiater itu. Dan setelah rapat proyek Rusia selesai, kita akan pastikan semua urusan tidak terbengkalai.”
Daniel mengangguk, meski pikirannya masih terbang pada sosok di kamar tamu yang mungkin saja masih merasa ketakutan.
Setelah Nathan keluar ruangan, Daniel berdiri di depan jendela besar. Lampu kota berkelap-kelip di bawah sana, namun tak satu pun bisa menenangkan batinnya.
Ana… siapa sebenarnya dirimu? Dan luka seperti apa yang berani kau sembunyikan dari dunia?