Anisa gadis yatim piatu bekerja sebagai pelayan. Demi keselamatan Sang Majikan dan di tengah rasa putus asa dengan hidupnya, dia terpaksa menikah dengan Pangeran Jin, yang tampan namun menyerupai monyet.
Akan tetapi siapa sangka setelah menikah dengan Pangeran Jin Monyet, dia justru bisa balas dendam pada orang orang yang telah menyengsarakan dirinya di masa lalu.
Bagaimana kisah Anisa yang menjadi istri jin dan ada misteri apa di masa lalu Anisa? Yukkk guys ikuti kisahnya...
ini lanjutan novel Digondol Jin ya guys ♥️♥️♥️♥️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 9.
Pungki memiringkan kepalanya, menajamkan pandangan.
“Seperti Mbak Anisa, ya?” gumamnya pelan. Ingatannya melayang jauh, pada sosok gadis yatim piatu yang dulu sering ia temui di rumah Pak Hasto.
Ia masih ingat betul cerita dari almarhum Dewa, sahabatnya yang kini hanya tinggal nama. Dewa pernah bilang, panti asuhan tempat Anisa dibesarkan terpaksa ditutup karena kehabisan dana. Anak anaknya dipulangkan ke keluarga masing masing, sebagian diadopsi.
Tapi Anisa…
Tak ada siapa pun yang datang menjemputnya. Tak ada keluarga. Tak ada tangan yang menuntun pulang. Ia benar benar sendirian di dunia yang dingin.
Demi bertahan hidup, Anisa bekerja sebagai pelayan di rumah orang kaya. Namun nasib buruk sempat menimpanya. Ia hampir menjadi korban kekerasan. Untung saja, takdir menyelamatkannya lewat tangan lembut Bu Lastri, ibu kepala pelayan keluarga Hasto. Sejak itu, Anisa tinggal dan bekerja di rumah besar itu. Tenang, patuh, tapi di balik matanya selalu tersimpan tatapan sayu yang seolah menyembunyikan duka bertahun tahun.
“Iya, Windy,” gumam Pungki pelan, “dia seperti kamu, tak punya ayah, tak punya ibu.”
Tatapannya kembali pada sosok perempuan yang kini bersimpuh di atas sajadah.
“Tapi kenapa dia menangis sekarang? Bukankah semua itu sudah lama berlalu?”
Dari pundaknya, terdengar suara halus, seperti hembusan angin malam yang menyentuh kulit.
“Dia patah hati... macam Pangeran Dewa Anum, Kakak Pung Pung...”
Pungki menoleh ke arah suara mungil itu, Windy, jin kecil berwajah imut yang kini melayang di bahunya, menatap dengan mata besar berkilau lembut.
“Sok tahu kamu,” ucap Pungki, berusaha tersenyum di tengah suasana yang tiba tiba terasa janggal.
Namun langkahnya tetap ia lanjutkan. Ia mendekati sosok perempuan bersimpuh itu, perlahan.
Aroma samar bunga melati menguar di udara. Wangi yang manis, tapi dingin... dan anehnya, tak berasal dari mana pun.
“Assalamualaikum, Mbak Nisa,” sapa Pungki dengan nada selembut mungkin, takut mengagetkannya.
Perempuan itu terdiam beberapa saat, lalu perlahan menghapus air matanya dengan punggung tangan.
“Wa’alaikumsalam...” jawabnya lirih, tanpa menoleh.
Pungki berdiri beberapa langkah di belakangnya, merasa canggung.
“Kalau boleh tahu... kenapa menangis, Mbak?” tanyanya hati-hati.
“Tidak apa-apa, Mas Pungki,” jawab Anisa pelan, suaranya serak tertahan. “Saya cuma... terharu. Bersyukur, Mas Ndaru dan Mbak Fatima sudah sembuh.”
Kata katanya terdengar ringan, tapi bagi Pungki, terasa seperti tirai tipis yang menutupi sesuatu di baliknya. Sesuatu yang dalam, kelam, dan menyakitkan. Namun ia tak ingin memaksa.
“Oo... begitu ya,” jawabnya perlahan. “Kalau Mbak ada masalah, bilang saja ke Bu Hasto. Jangan dipendam sendiri. Kalau capek, nanti pelayan lain bisa gantikan, kok.”
Anisa hanya mengangguk tanpa menatapnya.
Ketika Pungki berbalik hendak pergi, suara lain terdengar...
Suara yang begitu familiar di telinganya.
“Eh, Pung, kamu masih di sini. Terima kasih ya, Pung. Ndaru sudah sehat, dan Fatima sudah dipindah ke ruang rawat untuk kesehatan janinnya.”
Suara Bu Hasto terdengar hangat, tapi Pungki tahu di balik nada tenangnya, tersimpan kelelahan.
“Sama-sama, Bu. Semoga sehat semua,” ucap Pungki penuh harap. Dalam hatinya masih tersisa ketakutan. Takut Sang Ratu menyerang lagi, sementara kekuatan dirinya dan Windy sudah jauh berkurang.
Bu Hasto mengangguk, lalu menoleh pada Anisa yang tengah melepas mukenanya.
“Nis, kalau kamu sudah selesai, tolong jaga Fatima ya. Aku mau sembahyang. Bapak tadi sudah pulang, katanya mau istirahat karena tensinya naik. Fatima sekarang ditemani Ndaru.”
“Baik, Bu,” jawab Anisa lirih. Wajahnya masih sembab, matanya bengkak.
“Nanti habis sarapan, biar sopir menjemput pelayan lain buat gantiin kamu, ya. Kamu istirahat di rumah. Sejak kemarin kamu belum tidur karena menjaga Fatima dan Ndaru.”
Anisa mengangguk.
Pungki yang berdiri di sana buru-buru menunduk sopan.
“Bu, Mbak Nisa, saya pamit pulang ya.”
Anisa hanya menatap singkat dan mengangguk. Ia kemudian berjalan tergesa menuju kamar rawat Fatima.
“Iya, hati-hati ya, Pung. Nanti cek rekening kamu, ya. Ndaru bilang tadi sudah transfer,” ujar Bu Hasto sambil tersenyum kecil.
“Terima kasih, Bu. Saya menolong Ndaru dan Fatima dengan ikhlas.”
“Iya, Pung. Uang itu cuma tanda terima kasih. Bantuanmu... tak bisa dinilai dengan apa pun.”
Baru saja Bu Hasto beranjak, ponsel Pungki berdering nyaring. Ia mengambilnya dari saku jaket.
Nama yang muncul di layar membuat dadanya berdebar. Ningrum.
Ia cepat menekan tombol hijau.
“Pung! Tolong cepat datang ke kost! Andien sakit, dia masih tertidur karena efek CTM, tapi tangannya garuk garuk terus!” suara Ningrum panik di seberang.
“Garuk garuk? Garuk bagian apa?” suara Pungki meninggi, nadanya tegang.
“Pokoknya cepat datang! Aku jelasin di sini aja!” ujar Ningrum, lalu sambungan langsung terputus.
Windy menatap Pungki dengan mata bulatnya, suara mungilnya nyaris seperti bisikan di telinga, “Gawat, Kakak Pung Pung... Kakak Ndien Ndien juga diserang Sang Ratu Jin...”
Pungki mengusap wajahnya kasar, lalu bergegas meninggalkan tempat itu.
Ia setengah berlari menuju motor di parkiran. Dada sesak oleh cemas.
“Kenapa nggak kasih kabar dari kemarin...” gerutunya sambil menyalakan motor. “Pasti malu.”
“Iya, Kakak Pung Pung... dia malu,” bisik Windy, kini duduk di depan, wajahnya muram.
“Berarti benar, anu nya Andien juga diserang Sang Ratu? Gawat kalau dia sampai mandul...” gumam Pungki, menggenggam stang erat-erat.
“Iya... Sang Ratu balas dendam. Dia mau buat Kakak Fatima dan Kakak Ndien Ndien nggak bisa punya anak,” sahut Windy lirih, suaranya bergetar seperti angin di telinga.
“Kalau aku nggak bisa punya anak, kamu mau aku angkat jadi anakku, ya, Windy?” ujar Pungki setengah bercanda, menahan cemas.
Windy menatapnya dengan mata bulat penuh cahaya. “Aku mau jadi anakmu... atau adikmu... sesukamu, Kakak Pung Pung.”
Motor melaju cepat membelah jalan sepi. Beberapa menit kemudian, Pungki sudah tiba di rumah kost tiga gadis manis.
Pintu rumah terbuka. Ningrum muncul, wajahnya pucat, matanya panik.
“Pung! Aku belum telepon orang tua Andien. Aku bingung harus gimana!”
Pungki cepat turun dari motor, melepas helm, dan langsung masuk ke dalam.
“Kenapa Andien?” tanyanya, suaranya berat menahan degup jantung.
“Kamu lihat sendiri, Pung,” jawab Ningrum, berjalan tergesa menuju kamar Andien.
Namun baru saja pintu kamar terbuka... Ningrum menjerit kecil, wajahnya seketika pucat pasi. Ia cepat menutup pintu dan memutar kuncinya.
“Pung! Jangan masuk dulu!” teriaknya, napasnya terengah.
g di sana g di sini sama aja mbingumhi 🤣🤣🤣
tp nnti pennjelasan panheran yg masuk akal dpt meruntuhkan ego samg ibunda dan nnit mlh jd baik se lam jin jd muslim.🤣