NovelToon NovelToon
Sebungkus Mie Instan

Sebungkus Mie Instan

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Selingkuh / Janda / Romansa
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Tika Despita

Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.

Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keributan Pagi ini

Setelah salat Subuh, aku melihat Ibuk sudah di dapur memasak. Asap tipis mengepul dari wajan, aroma bawang goreng tercium sampai ke ruang tengah.

“Pagi sekali masaknya, Buk,” tanyaku sambil menghampiri Ibuk.

“Iya, Ibuk nanti ada kerjaan bantu bersih-bersih rumah yang di depan itu. Tetangga baru kita itu,” jawab Ibuk tetap fokus mengupas bawang merah.

Aku kemudian ikut membantu, menggoreng tempe yang sudah dipotong Ibuk tadi. Minyak panas memercik, membuat kami saling menunduk sambil tertawa kecil.

“Buk, Ibuk istirahat di rumah aja. Biar Aini aja yang gantiin kerja nanti. Ibuk jagain Keenan,” tawarku lembut.

Jujur, aku gak tega lihat Ibuk masih bekerja di usia beliau yang sudah tak muda lagi.

“Gak usah, Nak. Kamu fokus aja dulu sama urusan perceraian kamu. Nanti minta Kevin nganter ke pengadilan agama,” ucap Ibuk sambil menaruh bawang di mangkuk kecil.

“Lagian kerjanya juga gak berat, kok. Apalagi orang yang punya rumah itu baik banget. Bahkan gak anggap Ibuk kayak pembantunya,” lanjut ibuk dengan semangat.

Aku mengangguk pelan. “Hmm…”

“Aini juga ngerasa gitu kok, Buk. Kemarin yang kasih tumpangan Aini ke sini itu suaminya,” ujarku tanpa berpikir panjang.

“Suaminya?” kening Ibuk langsung berkerut.

“Mana ada suaminya, Nak. Suaminya beliau udah lama meninggal. Sekarang dia tinggal sama anak laki-lakinya,” jawab Ibuk terkekeh kecil.

“Berarti yang ngasih tumpangan Aini kemarin anaknya kali, Buk,” ucapku tersenyum kecil.

“Kok bisa dia mau tumpangin kamu?” tanya Ibuk penasaran.

“Aini sempat beberapa kali ketemu dia, Buk, dekat rumah Rendra. Kata pemilik warung di sana, kemungkinan dia pemilik pabrik air mineral yang gak jauh dari rumah Rendra.”

“Hmm… bisa jadi. Kata ibunya juga, anaknya memang punya usaha pabrik air mineral. Tapi Ibuk gak nyangka kalau pabriknya itu deket rumah si Rendra,” ucap Ibuk lagi.

“Ya udah, nanti sekalian aja Ibuk minta terima kasih sama Nak Arsya,” ujar Ibuk sambil tersenyum. Aku pun ikut mengangguk.

Setelah membantu Ibuk di dapur, aku bergegas membersihkan rumah dan menyapu halaman. Udara pagi terasa sejuk, tapi hatiku agak berat. Hari ini aku berencana ke pengadilan agama untuk mengajukan surat cerai.

Ketika aku tengah menyapu halaman, suara motor berhenti di depan rumah. Aku menoleh cepat. Motor itu milik Bang Rendra. Ia turun tergesa-gesa. Matanya tampak sembab, wajahnya kusut seperti orang yang tidak tidur semalaman.

“Aini…” panggilnya lirih, hendak memegang tanganku. Tapi aku segera menepisnya.

“Abang minta maaf, Aini. Semalam Abang gak bisa tidur mikirin kamu dan Keenan,” katanya memohon.

Aku mendengus pelan. “Kenapa Bang gak bisa tidur? Waktu Abang tidur sama selingkuhan Abang itu, apa Abang sempat ingat aku dan Keenan?”

Ucapan itu keluar begitu saja, dan aku bisa merasakan dadaku sesak. Luka yang belum sembuh terasa perih kembali.

“Aini… jangan bicara seperti itu. Abang sayang sama kamu dan Keenan!” ucapnya lagi dengan nada lirih.

Aku tersenyum miris. “Pergilah, Bang. Aku gak mau bahas apapun lagi sama kamu. Jangan bikin keributan pagi-pagi di rumahku. Dan satu lagi, kalau Kevin tahu Abang datang, dia bisa aja mukulin Abang!”

Aku menatapnya tajam. Aku gak mau masalah ini makin panjang.

“Aini, Abang gak akan menyerah. Abang akan bawa kamu balik ke rumah kita!” katanya keras kepala, suaranya meninggi.

Aku baru hendak menjawab ketika suara berat dari arah pintu terdengar.

“Ternyata kau memang gak punya malu ya!”

Aku langsung menoleh. Benar saja, Kevin sudah berdiri di pintu dengan wajah tegang. Rambutnya masih berantakan karena baru bangun, tapi sorot matanya tajam penuh kemarahan. Ia berjalan perlahan ke arah kami, langkahnya mantap dan dingin.

Bang Rendra menegakkan badan, tapi aku tahu dari matanya bahwa ia mulai gugup.

Aku menahan napas, takut suasana makin panas.

Seperti yang aku duga, Kevin langsung melayangkan pukulan keras ke pipi Bang Rendra hingga tubuhnya tersungkur ke tanah. Suara benturan itu terdengar begitu jelas di antara heningnya pagi.

“Dasar suami gak punya otak! Bisa-bisanya kau khianatin kakakku! Kurang apa Mbak Aini sama kamu? Dia nerima kamu apa adanya, gak pernah ngeluh meski kamu gak kerja! Tapi sekarang malah selingkuh, bahkan nikah sama selingkuhan kamu?!” suara Kevin menggema penuh amarah, wajahnya merah padam, dadanya naik turun menahan emosi.

“Vin… udah, Vin! Mbak mohon!” aku berusaha menghentikan Kevin, tapi amarahnya sudah terlanjur membara. Kakinya kembali melayang dan mengenai kepala Bang Rendra. Pria itu meringis kesakitan, darah mengalir dari sudut bibirnya.

Para tetangga mulai berdatangan, menatap dari pagar dan jendela. Beberapa bisik-bisik, sebagian lagi hanya menonton dengan wajah khawatir. Suasana pagi yang tadinya tenang kini berubah jadi tegang dan gaduh.

“Kevin, berhenti! Kalau kamu sayang sama Mbak, tolong hentikan! Dia masih ayah kandung keponakanmu!” teriakku histeris sambil menarik lengan Kevin sekuat tenaga.

Tapi Kevin benar-benar sudah kehilangan kendali. Matanya merah, urat di lehernya menegang. Ia marah, kecewa, juga muak melihat wajah Bang Rendra yang dulu sempat dihormatinya sebagai kakak ipar.

Untungnya Ibuk keluar dari rumah depan, wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca. “Kevin… udah, Nak! Hentikan!” seru Ibuk, suaranya bergetar menahan tangis.

Tak lama, anak majikan tempat Ibuk bekerja juga ikut keluar, berlari kecil menghampiri dan membantu menarik tubuh Kevin yang masih menahan emosi.

“Sudah! Kamu mau masuk penjara karena mukulin dia? Kamu gak kasihan sama Ibumu? Sama kakakmu?” ucap pria itu menenangkan Kevin sambil menepuk bahunya.

Kevin akhirnya menjatuhkan pandangan, rahangnya masih mengeras.

Tiba-tiba terdengar suara kecil yang membuatku langsung menoleh.

“Papa…”

Suara itu milik Keenan. Ia baru saja bangun, masih mengenakan piyama, dan kini berlari keluar sambil menangis. Dengan tubuh mungilnya, ia langsung memeluk Bang Rendra yang masih terduduk di tanah.

Seketika air mataku luruh. Bukan karena iba pada Bang Rendra, tapi karena hatiku remuk melihat anakku menangis sambil memeluk ayahnya. Aku sakit hati kenapa anakku tak beruntung mendapatkan sosok seorang ayah.

“Keenan, sini sama Mama,” bujukku lembut, berusaha menahan suara yang nyaris pecah.

Keenan perlahan melepaskan pelukannya dari Bang Rendra, lalu berlari ke arahku dan memelukku erat.

“Papa kok berdarah?” tanyanya polos sambil menatap wajahku dengan mata basah.

“Papa tadi terjatuh,” jawabku cepat, mencoba tersenyum walau bibirku bergetar.

“Hati-hati kalau jalan, Pa. Kata Mama gak boleh lari-lari, nanti jatuh,” ucapnya polos, membuat dadaku makin sesak.

“Mas, mari saya obati dulu lukanya,” ucap anak majikan Ibuk itu sambil membantu Bang Rendra berdiri. Aku bisa melihat Rendra meringis kesakitan, namun di balik matanya ada sorot dendam yang begitu jelas, terutama padaku dan Kevin.

Sementara itu, Kevin sudah terduduk di sofa, napasnya masih berat. Ia menunduk, menatap lantai, berusaha mengendalikan diri agar emosinya tak meledak lagi. Aku menghampirinya perlahan, lalu memeluk bahunya erat. Seketika tangisku pecah di pelukannya.

“Vin… jangan ulangi lagi, ya. Mbak takut,” lirihku di sela tangis.

Kevin memejamkan mata, bahunya bergetar pelan. “Maafin aku, Mbak…” katanya pelan.

Aku menggeleng. “Bukan kamu yang salah, Vin. Kamu kayak gini karena sayang sama Mbak.”

Tak lama, Ibuk masuk sambil menggendong Keenan. Wajahnya masih pucat, matanya sembab karena menangis. Ia duduk di samping Kevin, menatap kami dengan tatapan sedih.

“Memukul gak akan nyelesain masalah, Nak,” ucap Ibuk pelan.

“Kalau sampai dia kenapa-kenapa, kamu mau lihat keponakan kamu jadi anak yatim?” suara ibuk bergetar menahan emosi.

Kevin menunduk makin dalam, merasa bersalah. “Iya, Buk… Kevin cuma gak bisa nahan emosi. Bisa-bisanya dia datang ke sini, masih berani ngomong mau bawa Mbak Aini sama Keenan balik, seolah gak pernah terjadi apa-apa.”

Aku menghapus air mataku dan menatap Ibuk. “Tenang aja, Buk. Meski dia bersujud di kaki Mbak, Mbak gak akan pernah balik sama dia.”

Nada suaraku kali ini tegas, penuh keyakinan. Aku tahu, mungkin aku masih bisa memaafkan banyak hal dalam hidup… tapi untuk pengkhianatan dan perselingkuhan, tidak akan pernah.

1
Kala Senja
Bagus ceritanya
Qhaqha
Semoga suka dengan karyaku ini... 😊😊😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!