Doni, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef bagi Naira Adani aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8. KENANGAN YANG DIMASAK ULANG
..."Kadang yang dibutuhkan bukan resep baru, tapi keberanian untuk mengulang rasa lama, rasa yang pernah membuat seseorang merasa hidup."...
...---•---...
Doni duduk sendirian di dapur yang mulai terang. Cangkir kosong di hadapannya, tapi dadanya penuh dengan sesuatu yang tidak bisa ia namakan. Bukan harapan. Terlalu berbahaya untuk berharap. Tapi mungkin... kemungkinan.
Sisa hari itu Doni habiskan dengan riset. Ia tidak langsung memasak untuk makan siang atau makan malam seperti biasa. Ia menelepon Tuti, asisten rumah tangga yang sudah bekerja untuk Naira selama tiga tahun.
"Bu Tuti, saya mau tanya sesuatu. Rahasia, ya."
Tuti, perempuan paruh baya dengan wajah ramah, sedang duduk di ruang cuci sambil melipat handuk. "Iya, Pak Doni? Ada apa?"
"Ibunya Nona Naira, sebelum meninggal, sering memasak nasi goreng untuk putrinya. Ibu kenal almarhum?"
Wajah Tuti langsung melembut. Senyum kenangan muncul di bibirnya. "Oh, Ibu Lastri. Orangnya baik sekali. Saya sempat beberapa kali bertemu sebelum beliau sakit."
"Bu Tuti ingat bagaimana cara beliau memasak? Terutama nasi goreng kampungnya?"
Tuti berpikir sebentar. "Hmm... Ibu Lastri itu sederhana. Katanya, nasi goreng kampung itu soal kehangatan, bukan kemewahan. Nasi putih sisa semalam yang agak pera, tidak lembek, jadi butirnya tetap terpisah waktu digoreng. Bawang merah, bawang putih, cabai rawit, kecap manis khas Jogja, sedikit terasi, dan yang paling penting..."
"Apa itu?"
"Ia selalu memakai minyak bawang merah buatan sendiri. Bawang merah diiris tipis, digoreng sampai kecoklatan, minyaknya disimpan. Itu yang membuat nasi gorengnya wangi dan berbeda dari yang lain."
Doni mencatat dalam kepala. Minyak bawang merah. Detail kecil, tapi bisa jadi kunci besar.
"Telurnya ceplok setengah matang," lanjut Tuti. "Kuningnya masih meleleh. Nona Naira kecil suka memecahkan kuning telurnya, dicampur dengan nasi gorengnya. Berantakan, tapi dia senang."
"Kerupuknya?"
"Kerupuk udang biasa. Yang tipis dan renyah. Kata Ibu Lastri, nasi goreng yang enak harus punya kontras: lembut, kenyal, dan renyah."
Doni tersenyum kecil. Tuti tidak sadar, ia baru saja memberikan resep yang ia cari.
"Kenapa tanya-tanya ini, Pak?" Tuti menatapnya, setengah penasaran. "Mau masak nasi goreng, ya?"
"Mungkin. Kalau berhasil, Nona Naira mungkin mau makan."
Mata Tuti langsung berbinar. "Astaga, Pak Doni. Kalau Bapak bisa membuat Nona Naira makan lagi, saya doakan lancar sampai seribu hari."
Untuk makan siang, Doni membuat salad quinoa dengan ayam panggang. Hidangan ringan, sehat, tidak terlalu berat untuk perut yang lama tidak terbiasa makan.
Dikembalikan setengah dimakan. Setengah. Itu kemajuan.
Malamnya, ia memasak pasta aglio olio dengan udang. Hidangan sederhana tapi beraroma kuat.
Dikembalikan tiga perempat dimakan. Lebih baik lagi.
Naira mulai makan. Sedikit, tapi ada usaha di sana.
Doni bangun pukul tiga. Ia punya misi: membuat nasi goreng kampung yang bisa membuka hati yang terkunci.
Ia mulai dengan minyak bawang merah. Lima siung bawang merah diiris tipis-tipis, digoreng dengan api kecil sampai kecoklatan sempurna. Aroma harum memenuhi dapur, aroma yang bisa membuat siapa pun lapar. Ia tiriskan bawang goreng, lalu menyimpan minyaknya.
Lalu nasi putih sisa semalam yang sudah pera. Ia panaskan wajan besar, tuang minyak bawang merah, tumis bawang putih dan bawang merah sampai harum. Tambahkan cabai rawit dan sedikit terasi.
Nasi masuk. Ia aduk dengan gerakan memutar, memastikan setiap butir terlapisi bumbu. Tambahkan kecap manis khas Jogja. Warna nasi berubah kecoklatan cantik.
Sedikit garam, sedikit gula, secukupnya penyedap.
Terus aduk. Api besar. Nasi harus kering, tidak boleh lembek. Setiap butir harus terpisah, tidak menggumpal.
Di wajan lain, ia membuat telur ceplok. Minyak panas, telur pecah, api kecil. Putih telur matang, kuningnya tetap lembut. Sempurna.
Kerupuk udang digoreng sampai mengembang dan renyah.
Pukul setengah tujuh, nasi goreng sudah siap. Doni menatanya di piring keramik putih: nasi di tengah membentuk gunungan kecil, telur ceplok di atasnya, kuning telur berkilat lembut, kerupuk berdiri di samping, bawang goreng ditaburkan di atas, ditambah irisan timun dan tomat sebagai pelengkap.
Sederhana. Tidak glamor seperti masakan restoran mahal, tapi ada kehangatan di sana. Cinta yang tidak terlihat tapi terasa.
Ia tidak menunggu Ratna. Ia mengambil nampan sendiri dan naik ke lantai dua. Untuk pertama kalinya, ia melanggar Pasal 18 tentang akses terbatas. Tapi ada hal yang lebih penting daripada aturan.
Pintu kamar Naira ada di ujung koridor, kayu jati dengan ukiran halus. Doni mengetuk pelan.
"Nona Naira? Saya Doni. Saya bawa sarapan."
Tidak ada jawaban.
Ia mengetuk lagi. "Nasi goreng kampung. Seperti yang Anda minta."
Pintu terbuka perlahan.
Naira berdiri di sana dengan rambut berantakan, mata sembab. Tapi ketika melihat nampan di tangan Doni, sesuatu berubah di wajahnya.
Ia menatap piring nasi goreng. Mata melebar. Tangan gemetar menutup mulut.
"Ini..." Suaranya pecah. "Ini persis seperti yang Mama masak."
Doni menyerahkan nampan itu. "Mungkin tidak seenak buatan Mama Anda, tapi saya coba sebaik mungkin."
Naira mengambilnya dengan tangan bergetar. Ia berjalan ke balkon, duduk di kursi kecil. Doni berhenti di ambang pintu, tidak masuk lebih jauh.
Naira mengambil sendok, memecahkan kuning telur. Kuning itu meleleh, merembes ke nasi goreng seperti matahari terbenam di atas bukit coklat. Ia aduk perlahan, mencampur semuanya.
Suapan pertama masuk ke mulut.
Ia berhenti mengunyah.
Lalu menangis.
Air mata jatuh deras. Ia menangis sambil terus makan, suap demi suap. Nasi goreng bercampur air mata, tapi ia tidak peduli. Ia makan seperti orang yang kelaparan bertahun-tahun dan akhirnya menemukan rumah.
Doni berdiri di ambang pintu. Dadanya sesak. Ia tidak tahu harus pergi atau tetap di sana.
Naira menghabiskan semuanya. Setiap butir nasi. Setiap remah kerupuk. Bahkan menjilat sisa telur dengan kerupuknya.
Saat piring kosong, ia meletakkan sendok. Mengusap matanya dengan punggung tangan.
"Ini persis seperti yang Mama buat," katanya serak. "Bahkan minyak bawangnya sama. Bagaimana Anda tahu?"
"Saya tanya Bu Tuti," jawab Doni lembut. "Dan saya masak dengan ingat bahwa ini bukan sekadar nasi goreng. Ini kenangan. Ini pelukan. Ini rumah."
Naira menatapnya. Mata merah, tapi ada cahaya di sana. Cahaya kecil, tapi nyata.
"Terima kasih, Pak Doni. Ini pertama kalinya dalam enam bulan saya merasa... kenyang. Bukan cuma di perut, tapi di sini." Ia menunjuk dadanya.
Doni tersenyum. "Itu yang seharusnya dilakukan makanan. Membuat kenyang lebih dari sekadar perut."
Dan pagi itu, di balkon kamar Naira Adani, dengan piring kosong dan mata basah, sesuatu mulai sembuh. Perlahan, nyaris tidak terlihat, tapi pasti.
Pintu yang terkunci mulai terbuka. Dan Doni, tanpa sadar, sudah melangkah masuk.
...---•---...
...Bersambung...