Sepuluh bulan lalu, Anna dijebak suaminya sendiri demi ambisi untuk perempuan lain. Tanpa sadar, ia dilemparkan ke kamar seorang pria asing, Kapten Dirga Lakshmana, komandan muda yang terkenal dingin dan mematikan. Aroma memabukkan yang disebarkan Dimas menggiring takdir gelap, malam itu, Anna yang tak sadarkan diri digagahi oleh pria yang bahkan tak pernah mengetahui siapa dirinya.
Pagi harinya, Dirga pergi tanpa jejak.
Sepuluh bulan kemudian, Anna melahirkan dan kehilangan segalanya.
Dimas dan selingkuhannya membuang dua bayi kembar yang baru lahir itu ke sebuah panti, lalu membohongi Anna bahwa bayinya meninggal. Hancur dan sendirian, Anna berusaha bangkit tanpa tahu bahwa anak-anaknya masih hidup. Dimas menceraikan Anna, lalu menikahi selingkuhan. Anna yang merasa dikhianati pergi meninggalkan Dimas, namun takdir mempertemukannya dengan Kapten Dirga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Tiga bulan kemudian
Rumah dinas itu kini terasa jauh lebih hidup dibanding tiga bulan lalu bukan karena Dirga akan pulang, tapi karena Anna sudah benar-benar membiasakan diri menjadi ibu dari dua bayi kembar yang semakin lucu dan aktif.
Ada suara tawa kecil, ada tangis manja, ada aroma bubur bayi setiap pagi. Namun ada satu hal yang tetap tidak berubah, kursi Kapten Dirga masih kosong. Lemari seragamnya masih rapi. Dan surat terakhirnya masih ditempel di dinding dekat ranjang bayi.
Hari itu, Anna berdiri sambil menggendong Alvaro, mencoba menenangkan bocah kecil itu yang rewel karena tumbuh gigi. Almira sedang terlelap di pelukannya yang lain, wajah mungil itu damai seperti malaikat.
Di luar, terdengar suara mesin mobil berhenti di halaman. Awalnya Anna berpikir itu hanya penjaga rumah seperti biasa. Namun ketika pintu diketuk suara yang menjawab berbeda.
“Bu Anna … kami dari satuan Kapten Dirga.”
Anna memutar badan, jantungnya berdegup keras tanpa alasan yang jelas.
“Silakan masuk…” jawabnya, meski suaranya kini bergetar.
Dua anggota satuan masuk. Mereka berdiri tegar. Tapi mata mereka tampak lelah. Dan seolah menghindari menatap langsung wajah Anna.
“Ibu Anna…”
Salah satu prajurit itu menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Saya … kami … datang membawa laporan resmi tentang Kapten Dirga.”
Anna menelan ludah.
“Tapi ... seharusnya Kapten pulang hari ini, kan?”
Suara itu pecah, hanya sebaris kalimat, tapi isinya penuh harap. Prajurit kedua menarik napas panjang, lalu menyerahkan map tebal berstempel merah.
“Kami minta maaf, Bu.”
Anna menggeleng sekali, pelan.
“Tidak … jangan bilang begitu … jangan bilang…”
Air matanya mulai turun sebelum kalimat itu selesai. Prajurit pertama berbicara, suaranya retak.
“Kapten Dirga dinyatakan gugur dalam ledakan saat menjalankan operasi di kawasan hutan lembah utara.”
Tangan Anna bergetar hebat.
“Ledakan…?”
“Iya, Bu. Gudang bahan peledak musuh meledak mendadak. Kapten Dirga dan dua anggota lainnya berada di lokasi terdekat saat itu…”
Prajurit itu menelan air mata yang hampir jatuh.
"Dan tidak ada tubuh yang ditemukan.”
Anna membeku, Alvaro yang digendongnya mulai menangis keras, merasakan guncangan tubuh ibunya. Anna berusaha memeluknya, tetapi lututnya hampir tak kuat berdiri.
“Tidak … tidak…”
Suaranya pecah, menyayat, seperti seseorang yang baru saja kehilangan seluruh dunianya. Prajurit itu buru-buru memegang pundaknya agar ia tidak jatuh.
“Tolong tenang, Bu. Kami … kami sudah melakukan pencarian berhari-hari. Kami berharap Kapten selamat. Kami berharap beliau hanya hilang. Tapi hingga operasi dipulangkan … Kapten tidak...”
"Berhenti!”Anna menjerit, tangannya menutupi telinganya. Air matanya mengalir deras, tak terbendung.
“Jangan bilang … jangan bilang dia meninggal … Mas Dirga janji … dia janji pulang … dia janji menikahiku … dia janji melihat anak-anaknya tumbuh…”
Almira yang awalnya tertidur kini ikut menangis, mungkin karena mendengar suara ibunya. Anna merosot ke lantai, memeluk kedua anaknya erat, seolah dunia hendak merenggut mereka juga.
Prajurit itu berdiri di depan pintu, wajah mereka penuh rasa bersalah dan duka.
“Bu Anna … kami semua turut berduka. Kapten Dirga … adalah pemimpin terbaik kami. Kami tidak akan pernah berhenti mencari … meski statusnya resmi dinyatakan gugur.”
Anna menengadah dengan mata merah dan basah.
“Dia masih hidup! Kapten Dirga tidak mungkin meninggalkan aku dan anak-anaknya!”
“Dia tidak mungkin … tidak mungkin…”
Suaranya melemah, berubah menjadi bisikan putus asa, setelah mereka pergi rumah itu kembali sunyi. Hanya tangisan si kembar dan napas berat Anna yang terdengar. Ia duduk di lantai, memeluk kedua anaknya sambil menggigil ketakutan.
“Papa kalian … tidak mungkin pergi…”
“Mama tahu … mama tahu papa kalian masih di luar sana…”
Ia mencium kepala Alvaro dan Almira, air matanya menetes di rambut mereka.
“Mama … tidak akan menyerah…”
“Sampai napas terakhir … mama akan menunggu Kapten Dirga pulang…”
Seminggu berlalu, sejak Anna mendengar kabar duka itu.
Sore itu, hujan baru saja berhenti ketika suara ketukan terdengar di pintu rumah dinas. Anna yang sedang melipat pakaian anak-anak di ruang tengah langsung menoleh. Wajahnya pucat, lingkar mata gelap, tidak tidur dengan benar berhari-hari sejak kabar itu datang.
Pintu terbuka, dua bawahan Dirga berdiri tegap, wajah mereka sama muramnya seperti beberapa minggu lalu saat membawa kabar buruk itu.
“Bu Anna … kami datang untuk mengantar barang-barang Kapten yang ditemukan di pos terakhir,” ucap Serka Adit, nada suaranya pelan, seolah takut menambah luka.
Di tangan mereka ada sebuah tas ransel cokelat lusuh, ujungnya terbakar sedikit. Anna langsung menegang. Ransel itu milik Dirga, yang selalu dia bawa saat bertugas.
“Letakkan di meja,” suara Anna terdengar bergetar, tapi tegas.
Mereka menurut, salah satu dari mereka menyerahkan juga sebuah kotak kecil berisi jam tangan lapangan Dirga yang lecet, kompas, buku catatan kecil, dan sebuah foto Anna bersama anak-anak yang biasanya diselipkan Dirga di kantong seragamnya.
Adit menatap Anna dengan berat.
“Bu … Kapten Dirga gugur sebagai pahlawan. Kami...”
“Tidak.” Suara Anna memotong tajam, membuat kedua prajurit itu terkejut. Anna menggeleng keras, matanya berkaca-kaca namun tatapannya sangat yakin.
“Mas Dirga tidak meninggal,” ucapnya mantap. “Dia tidak mungkin meninggalkan rumah ini. Tidak mungkin meninggalkan anak-anaknya.”
Adit menelan ludah. “Bu … gudangnya meledak. Kami hanya menemukan sisa seragam dan barang-barang yang tersisa. Kami...”
“Saya tahu Mas Dirga,” suara Anna melembut, tetapi penuh keyakinan yang tak tergoyahkan. “Kalau dia berjanji akan pulang, dia akan pulang.” Ia menatap kedua prajurit itu bergantian.
“Mas Dirga berjanji akan lindungi anak-anak sampai mereka dewasa. Dia tidak mungkin pergi sebelum menepati itu.”
Hening sesaat, hanya terdengar suara detik jam dinding dan napas berat dari dada Anna.
Kedua bawahan Dirga saling pandang, mereka sudah sering menghadapi istri yang kehilangan suami, tapi Anna berbeda. Tidak histeris, tidak menyangkal dengan buta melainkan yakin seolah merasa sesuatu yang orang lain tidak bisa rasakan.
“Bu Anna…”
suara Adit pelan, “kami paham beratnya situasi ini. Tapi secara militer … Kapten Dirga sudah...”
“Aku percaya pada calon suamiku,” suara Anna lirih namun sangat tegas. “Kalian boleh melaporkan apa pun pada markas. Tapi aku akan tetap menunggu Mas Dirga sampai … dia sendiri yang mengatakan dia tidak kembali.”
Ada getaran di suara Anna, namun bukan keraguan. Itu tekad seorang calon istri yang mencintai dalam diam, dan menunggu dalam doa. Tanpa sadar, air mata menetes di pipi kedua prajurit itu. Mereka hormat pada Anna.
“Terima kasih atas ketegaran Ibu selama ini,” kata mereka sebelum pergi.
Pintu tertutup, Anna mematung di tempat, menatap ransel Dirga lama sekali. Tangannya gemetar saat menyentuh pegangan ransel itu, lalu ia membawanya ke meja makan.
Perlahan ia membuka ritsleting. Di dalamnya ada pakaian Dirga, aroma samar sabun mandi yang biasa ia pakai, selembar surat yang belum sempat dikirim, serta buku catatan yang berisi tulisan tangan Dirga. Anna duduk, jantungnya berdetak tak karuan. Di halaman pertama tertulis,
“Untuk Anna.”
Tangan Anna menutup mulutnya. Air matanya pecah tanpa bisa ditahan. Namun, di sela tangis itu ada senyum kecil. Bukan senyum bahagia, tapi senyum penuh keyakinan.
“Mas Dirga pasti masih hidup…” bisiknya, menyentuh tulisan itu lembut. “Aku tahu kamu masih di luar sana … dan aku akan tetap percaya.”
Anna merapikan barang-barang itu, memeluk ransel itu erat seperti memeluk Dirga sendiri. Ia mengusap kepala kedua anaknya yang sedang tidur siang.
“Tidak apa-apa … Ayah kalian akan pulang,” katanya pelan, seolah menenangkan mereka dan dirinya sendiri.
Saat itu angin bergerak pelan dari jendela, membuat tirai bergoyang lembut.
ayo basmi habis semuanya , biar kapten dirga dan anna bahagia
aamirandah ksh balasan yg setimpal dan berat 🙏💪
kejahatan jangan dibiarkan terlalu lama thor , 🙏🙏🙏
tiap jam berapa ya kak??
cerita nya aku suka banget🥰🥰🙏
berharap update nya jangan lama2 🤭🙏💕