Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?
Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.
“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.
Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hijrah Rasa -09
“Sial.”
“Sial.”
Farah terus mengumpat, jemarinya mengetuk meja kafe dengan ritme kesal. Matanya menatap datar cappuccino yang mengepul di depannya.
Pukul setengah tujuh pagi.
Dan dia sudah duduk di kafe hotel, seorang diri.
Semua ini gara-gara Azzam.
Pria itu membangunkannya pukul lima pagi, lalu memaksa segera sholat subuh dengan nada mengancam.
“Lupa perjanjian yang sudah kamu tandatangani kemarin, hm?”
Kata-kata itu berputar di kepala Farah seperti kaset rusak.
Sejak ijab kabul dua hari lalu, Azzam hanya bicara kalau nadanya mengancam. Ia merasa bukan istri, hanya rekan kontrak. Pria itu selalu penuh kejutan—hari pertama menikah disodori surat perjanjian, lalu dicium begitu saja. Dan pagi ini, baru sempat tidur sejam, ia sudah dibangunkan lagi oleh Pria itu.
Farah mendengus kesal.
"Baru juga sehari jadi istrinya, udah begini." Ujarnya frustasi.
Sementara di Venezia nanti mereka akan tinggal hampir tiga tahun dan ia harus bisa menjaga kewarasannya.
“Cuma tiga tahun.” Gumam Farah. “Setelah itu…kamu bebas, Fa,” ucapnya lagi pada diri sendiri.
Kali ini, ia harus menyingkirkan egonya demi mimpi yang telah lama ia rancang. Kini, ia berada di ambang pencapaian, dan perjuangan harus terus ia lanjutkan.
Musik jazz mengalun pelan, aroma kopi menguar, dan suara pelayan yang sibuk terdengar samar.
Farah menarik napas.
Berusaha menikmati ketenangan sesaat.
Di hadapannya, secangkir cappuccino masih mengepul. Di sampingnya, piring omelet masih utuh.
Entah kenapa sejak tadi tatapan orang-orang di kafe tertuju padanya. Sekilas ia menunduk melihat dirinya sendiri.
Kenapa mereka ngeliatin gue? Batinya bertanya.
Oh, tentu saja.
Penampilannya berantakan.
Maskara luntur.
Lingkar hitam di bawah mata.
Sisa make-up masih menempel di wajahnya.
Dan hoodie yang terlalu kebesaran, membuatnya tampak seperti kabur dari rumah.
Farah menarik hoodie lebih dalam, membiarkan kain itu menutupi sebagian wajahnya.
“Sial malu banget. Ini gara-gara manusia kutub itu.Awas aja.” Geramnya, tangan menepuk-nepuk meja.
Drrt. Drrt.
Tiba-tiba ponselnya bergetar di atas meja.Farah melirik layar. Tertera disana Nomor tak dikenal.
Tapi ia tahu siapa itu.
Siapa lagi kalau bukan Azzam.
Farah membiarkan ponselnya terus berdering. Ia kembali menyesap kopinya. Hangat. Pahit. Seperti hidupnya saat ini.
Tin!
Sebuah pesan WhatsApp masuk.Farah membuka layar dengan malas.
Azzam.
Dimana kamu?
Kalau kamu tidak kembali dalam satu menit, saya tinggal.
Farah mendesis pelan.
"Shit."
Ponsel itu ia letakkan begitu saja di atas meja.
Tanpa membalas. Lalu meraih garpu.
Dan melanjutkan sarapannya yang sempat tertunda.
____
Kamar hotel Azzam duduk di sofa.Kini pakaian casual sudah melekat di tubuhnya.Matanya terpaku pada layar ponsel, menunggu sesuatu yang tidak kunjung datang.
Centang biru.Tidak ada balasan dari Farah.
Pria itu kembali mengetik pesan lagi, kali ini lebih singkat, lalu mengirim lagi pada Farah
Satu detik, dua detik, hingga menjadi menit.
Tak ada respons dari gadis itu.Genggaman di ponselnya semakin erat. Dengan napas yang mulai berat, ia memilih menelepon.
Nada sambung pertama.
Kedua.
Ketiga.
Tidak dijawab.
Rahangnya mengeras. Sekali lagi, ia menekan ikon panggilan.
Nada sambung lagi.
Masih tidak diangkat.
Matanya mulai gelap. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk layar dengan ritme cepat, sebelum akhirnya membuang ponsel ke atas ranjang dengan kasar.
“Sial. Berani sekali bocah durjana itu.” Umpat Azzam.Ketika kesabarannya hampir habis—
Klik.
Suara pintu terbuka.
Farah masuk.
Hoodie hitamnya menutupi sebagian wajahnya, dengan rambut yang sedikit berantakan keluar dari balik tudung. Hot pants yang dipakainya begitu pendek, menyisakan kulit pahanya terekspos.
Pria itu menghela napas kasar saat Farah masuk.
Tanganya ia kepal kuat. Ia kesal bukan karena penampilan gadis itu.Tapi karena sikapnya.
Seolah dia sedang tidak melakukan kesalahan apa pun. Gadis itu bahkan tidak melirik ke arahnya, hanya berjalan santai melewati Azzam dan menuju sisi lain kamar.
Azzam yang sejak tadi menahan diri akhirnya bersuara.
“Tahukan fungsinya handphone.” Sergah Azzam.
Farah tidak mengubris,ia hanya melirik sekilas lalu membuang muka.
"Setidaknya kamu bisa jawab telepon saya," ucap Azzam, suaranya datar,
Farah berhenti sejenak, lalu menoleh santai.
"Aku nggak jawab telepon dari nomor baru."
Azzam menatap gadis itu, sorot matanya mengeras.Perlahan, ia bangkit dari sofa. Langkahnya tenang, mendekati Farah dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Sini handphone kamu."
Farah menyipitkan mata. Tatapannya menantang.
"Untuk?"
"Mau kamu kasih sendiri atau saya ambil sendiri?"
Tanya Azzam.
Dada Farah naik turun menahan kesal. Ia menatap pria di depannya dengan intens, sebelum akhirnya menghembuskan napas kasar.
Dengan malas, ia merogoh saku hoodie-nya dan menyerahkan ponselnya.
Azzam menerimanya tanpa ragu. Jemarinya bergerak cepat di layar, mengetik sesuatu, sebelum akhirnya mengembalikan ponsel itu dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
Farah menerimanya, dan detik itu juga matanya membelalak.
‘SUAMI GANTENGKU’
Alisnya langsung bertaut. "Kenapa pakai nama ini sih?”
Azzam hanya menyunggingkan senyum kecil. Ekspresi penuh kemenangan.
"Bagian dari kontrak pernikahan kita," ucapnya santai. "Jangan coba-coba kamu ubah."
Lagi-lagi ancaman, yang diucapkan Pria itu.
Farah menggertakkan giginya, tangannya mengepal kuat.Kalau bisa, ia ingin meninju wajah pria itu saat ini juga.
Muak.
Sangat muak.
Tapi sebelum ia sempat melontarkan kata-kata pedas, Azzam sudah lebih dulu berjalan ke pintu.
"Gue tunggu di mobil."
Klik.
Setelah itu pintu kamar tertutup kembali.
Farah tetap berdiri di tempatnya, rahangnya mengeras, dadanya naik turun dengan cepat.
Baru dua hari.
Dua hari menjadi istri pria itu, tapi rasanya seperti dua tahun dalam neraka.
Dari membiarkannya tidur di sofa tanpa selimut, membangunkannya jam lima pagi tanpa peduli bahwa tubuhnya masih remuk, hingga sekarang pria itu seenaknya menempelkan nama menjijikkan di ponselnya.
Matanya kembali menatap layar. Jemarinya bergerak, mencoba mengganti nama di ponselnya
Tiba-tiba pesan dari Azzam masuk.
“Jangan coba-coba kamu ubah nama saya di Hp kamu.”
Farah meremas ponselnya kesal, jika saja kesabaranya yang setipis tisu di belah sepuluh habis, sudah pasti ponselnya sudah dilempar ke tembok.
"Ih… manusia kutub, Bangsat!” Kesalnya sudah di ubun-ubun.
Farah menarik napas dalam meredam emosinya, sebelum akhirnya melangkah ke wardrobe. Tangannya menarik pakaian dengan kasar, melemparkannya ke tempat tidur tanpa peduli.
"Sabar, Faa… ini baru awal."
Awal yang cukup untuk membuatnya ingin melarikan diri.
***
Jalanan penuh sesak dengan kendaraan yang merayap pelan, klakson saling bersahutan, dan cahaya lampu dari gedung-gedung tinggi membias di kaca mobil yang mulai berembun tipis. Hujan sempat turun beberapa jam lalu, menyisakan aroma tanah basah yang samar tercium di udara.
Di tengah kemacetan ibu kota, sebuah Audi hitam melaju perlahan, nyaris seperti tak bergerak. Di balik kemudi, Azzam duduk dengan ekspresi bosan, satu tangan menggenggam setir, sementara tangan lainnya menopang dagu. Tatapannya lurus ke depan, menelusuri barisan kendaraan yang seolah tak berujung.
Di sebelahnya, Farah terlelap. Gadis itu terlihat begitu lelah, napasnya teratur, kepalanya sedikit miring ke jendela. Padahal, semalam mereka hanya menghabiskan waktu dengan perdebatan panjang. Tak ada resepsi, tak ada malam pertama yang berkesan, hanya dua orang dengan ego masing-masing yang terus berbenturan.
Azzam meliriknya sekilas. Wajah gadis itu begitu tenang. Seketika sudut bibirnya sedikit terangkat.
"Dasar kebo, nggak bisa lihat tempat nyaman dikit, udah tidur," gumamnya, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Tapi rupanya Farah belum sepenuhnya tertidur.
"Aku dengar ya Mas ngomong apa," suara gadis itu terdengar serak, matanya masih berat saat menatap Azzam dengan picingan khasnya.
Azzam terkekeh kecil lalu berkata. "Ya dengar lah, kamu punya telinga. Kalau nggak denger, berarti telinganya rusak," balasnya santai. Tangannya terangkat, menyentil kening istrinya
"Aw! Sakit tau!" Farah meringis, buru-buru ia mengusap keningnya.
Kesal, tentu saja.Baru ia ingin membalas, tapi begitu menatap pria itu, nyalinya langsung ciut.
Seakan tahu apa yang ada di pikiran istrinya, Azzam kembali bersuara. "Marah? Mau saya turunin di sini?" tanyanya enteng, seakan sengaja membuat kesal gadis itu.
Farah rotasi matanya, jujur ia malas meladeni pria itu. Daripada membuang energi untuk perang urat saraf dengan suaminya yang songong ini, ia memilih mengalihkan pandangan ke luar jendela.
Azzam menghela napas, menatap jalanan yang tak kunjung bergerak. Lalu, dengan suara pelan, ia berucap.
"Jakarta nggak pernah berubah, ya. Macet terus."
Farah masih menatap jalanan dari balik jendela. Tanpa mengalihkan pandangannya lalu berucap. "Kalau nggak mau macet pindah ke Mars sana.”
Azzam menoleh sekilas mengulas senyum ia tahu istrinya itu sedang kesal.
“Kalau saya pindah ke Mars, mau ikut nggak?”
“Ogah.” Ketus Farah.
Farah kembali menyandarkan kepalanya ke jendela, matanya kembali terpejam.
Azzam terkikih dan kembali fokus pada jalan di depannya.
***
Audi hitam milik Azzam melaju mulus melewati gerbang besi tinggi yang terbuka otomatis. Lampu-lampu taman yang menerangi halaman rumah menciptakan bayangan samar di dinding putih megah itu. Di samping rumah, sebuah gazebo kayu berdiri kokoh, dihiasi lampu gantung kecil yang berpendar hangat. Taman di depan rumah juga tertata rapi dengan hamparan bunga warna pastel yang tertimpa cahaya bulan.
Mobil itu berhenti sempurna di dalam garasi. Saat Azzam menarik rem tangan, matanya menangkap siluet mobil lain yang sudah lebih dulu terparkir rapi di sana. Mobil Rayyan.
Berarti pasangan suami istri itu sudah ada di dalam, menunggu mereka.
Tanpa berkata-kata, Azzam meraih paper bag coklat dari jok belakang dan menyerahkannya pada Farah.
"Pakai ini." Pintahnya.
Farah mengernyit.Dengan alis tertaut, Farah membuka paper bag itu dan menemukan sebuah dress putih panjang, cukup tertutup dan elegan.
"Baju? Buat apa?" tanyanya heran
Azzam tetap menatapnya datar, nyaris tanpa ekspresi. "Pakai sekarang. Saya nggak suka kamu pakai baju kurang bahan seperti itu.” Imbuhnya.
Lalu kembali berucap.”Sekarang kamu istri saya, berpakaianlah yang lebih sopan."
Farah mencibir, matanya menatap tajam ke arah pria itu. "Baru juga jadi suami, sok ngatur."
Azzam tidak menjawab. Ia justru mendekat, merendahkan suaranya hingga hanya Farah yang bisa mendengar.
“Ingat… yang bisa lihat tubuh kamu dan seluk-beluknya cuma saya. Jadi lakukan saja apa yang saya minta,”ucapnya datar.
Ucapan itu membuat jantung Farah berdetak tak karuan. Urat-urat halus di tengkuknya menegang, sementara hawa panas merayapi kulitnya. Ia menatap Azzam dengan sorot tidak percaya, tetapi pria itu tetap duduk dengan ekspresi santainya.
Seolah Pria itu tidak sadar betapa kata-katanya baru saja mengguncang hati Farah.
Sial. Kenapa cara dia ngomong bisa bikin gue kehilangan kata-kata? Batin farah bermonolog.
Azzam pun segera keluar dari mobil agar Gadis itu bisa segera berganti pakaian.
Pria itu bersandar di depan pintu mobilnya.
Baru beberapa detik Azzam kembali berucap dengan nada malas.
"Cepetan. Lama banget sih. Atau saya bantu pakein bajunya.”
Farah dengus kesal, lebih baik diam saja percuma berdebat dengan pria ini. Dengan enggan, ia meraih dress itu dan mengganti pakaiannya.
Tak butuh waktu lama, ia keluar dengan dress putih yang kini membalut tubuhnya.
Azzam yang awalnya berdiri bersandar di pintu mobil sontak menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sorot matanya sekilas berubah, seakan ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya. Dress itu tidak hanya menutupi tubuh Farah dengan anggun, tetapi juga memberi kesan yang lebih menawan.
Farah, yang menyadari tatapan Azzam, justru mendengus sinis. Ia melipat tangan di dada, menaikkan dagunya sedikit.
"Hati-hati, pesonaku kuat. Awas, jatuh cinta."
Azzam langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain, menyembunyikan sesuatu di balik ekspresi datarnya. Ia berdeham pelan sebelum berkata,
“Biasa aja.”
“Ish..” Farah mendesis.
"Ayo." Ajak Azzam.Tangannya terulur, menawarkan lengannya untuk dirangkul.
Farah menatap tangan itu curiga. "Ngapain itu tangan? Emang mau nyebrang?"
Azzam mendesah, kini mulai kehilangan kesabaran. "Buruan, atau mau Venezia gagal."
“Iya l-ya.”Farah masih ingin membalas, tetapi akhirnya memilih menurut.
Dengan malas, ia menyampirkan tangannya ke lengan Azzam. Dari luar, mereka tampak seperti pasangan bahagia yang baru saja menikah dan tengah menikmati kehidupan barunya. Seakan tidak ada ketegangan, tidak ada tarik-ulur, tidak ada amarah yang membakar di antara mereka.
Begitu melewati pintu utama, aroma teh melati menyambut mereka. Lampu chandelier di langit-langit menerangi ruangan dengan cahaya keemasan yang lembut. Di ruang keluarga rumah itu, Retno, Amran, Danial, Zira, dan Rayyan sudah duduk menunggu.
Namun sebelum mereka benar-benar sampai ke ruang keluarga, Azzam kembali mendekat, kali ini suaranya lebih rendah.
"Nggak usah mepet-mepet banget. Hati-hati entar jatuh cinta."
Farah yang mendengarnya langsung mencubit lengan Azzam keras-keras.
"Aw… sakit!" desis Azzam, menahan ekspresinya agar tetap netral.
Farah menyipitkan mata. "Mas, bisa diam nggak? Mau kita ketahuan?"
Azzam terkekeh pelan, namun kali ini, ia memilih menurut.
Azzam dan Farah segera menghampiri keluarga mereka, menyalami orang tua dan mertua masing-masing.
"Masya Allah, manten baru auranya beda ya," sindir Zira dengan kekehan khasnya.
Farah mendelik dan menyenggol lengan Zira dengan cepat. "Ssst!"
Tawa pecah di ruangan itu. Hanya Farah dan Azzam yang terlihat malu-malu, jelas canggung dengan suasana yang menggoda mereka.
"Udah-udah, jangan digodain terus, Ra…" Retno menghampiri Farah dan langsung merangkulnya dengan penuh kasih. "Sini duduk, Sayang. Zira jangan didengerin."
Farah tersenyum tipis, menerima pelukan hangat itu.Namun, suasana santai itu seketika berubah saat Danial mulai bersuara.
"Kapan rencana kalian berangkat ke Venezia?"
Arman, Retno, dan semua yang ada di ruangan menunggu jawaban mereka.
"Dua hari lagi, Pa…" jawab Farah.
"Dua minggu lagi, Pa…" jawab Azzam.
Jawab keduanya serentak.
Hening.
Arman, Danial, dan Retno langsung melongo.
Sementara itu, Zira dan Rayyan hanya terkekeh pelan, menahan tawa mereka.
Farah dan Azzam spontan saling pandang. Tatapan mereka sama-sama bingung. Lalu, dengan ekspresi meringis, mereka buru-buru memperbaiki jawaban.
Serentak.
"Dua minggu lagi, Pa…" ucap Farah.
"Dua hari lagi, Pa…" ucap Azzam.
Brak!
Sekali lagi, jawaban mereka bertolak belakang.
Zira langsung tertawa keras, sementara Rayyan menepuk lembut punggung istrinya agar tidak semakin meledek.
"Gimana sih, Nak? Kok ada yang bilang dua hari lagi, ada yang dua minggu lagi?" Retno mengernyit bingung.
Azzam menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sementara Farah menyembunyikan salah tingkahnya dengan menunduk.
Arman dan Danial saling bertukar pandang, lalu tersenyum simpul. Wajar, pasangan baru ini jelas masih dalam tahap adaptasi. Kekompakan di antara mereka belum terlihat.
Azzam akhirnya angkat bicara. "Gini, Farah akan berangkat lebih dulu ke Venezia. Saya akan menyusul dua minggu lagi."
Farah mengangguk, menguatkan pernyataan suaminya. "Iya, Farah harus ke sana lebih awal untuk pendaftaran offline bulan depan dan mencari apartemen buat tempat tinggal nanti."
Arman terperangah. "Ngapain cari apartemen nak? Azzam kan punya apartemen di sana. Kalian bisa langsung tinggal di situ."
Jleb.
Farah tersentak. "A-anu, Pi…"
Azzam meliriknya sekilas sebelum akhirnya berkata santai, "Farah belum tahu, Pi. Aku memang belum sempat cerita."
Farah sekilas mengangguk, mengiyakan ucapan suaminya itu.
Retno kini terlihat khawatir. "Kalau gitu, kenapa nggak berangkat bareng, sayang? Farah dan Zira kan cuma berdua, cewek semua. Rayyan juga bakal ke Turki dulu sebelum ke Venezia."
Danial mencoba memberi solusi. "Gimana kalau berangkatnya bareng Azzam aja, Sayang?"
Farah menggeleng pelan. "Nggak bisa, Pa. Farah harus datang lebih awal. Papa tahu sendiri, pendaftaran kuliah di luar negeri harus jauh-jauh hari."
Padahal, sejujurnya, dia bisa saja berangkat bersama Azzam.Tapi dia sengaja menghindar.
Dia ingin waktu sendiri. Sebelum benar-benar harus hidup seatap dengan pria itu.
Arman menghembuskan napas pelan, pura-pura frustrasi. "Gimana cucu Papi bisa on process kalau kalian pisah gini? Satu di Venezia, satu lagi di Indonesia?"
Zira kembali tertawa, sementara Farah dan Azzam hanya saling tatap dengan ekspresi penuh makna—sinis, enggan, dan kesal.
Azzam mencoba memberikan alasan. "Pi, aku masih banyak kerjaan yang harus diselesaikan. Nggak mungkin ninggalin semuanya begitu aja buat Rizam.Kasihan dia."
Arman menatapnya dengan serius. "Biar Papi dan Rizam yang handle. Kamu bisa berangkat dua hari lagi bareng Farah."
Farah membelalak. "Farah sendiri aman kok Pi."
Danial menggeleng. "Nggak, Sayang. Kami nggak tenang kalau kamu berangkat sendirian."
Retno dan Arman mengangguk setuju.
Farah menoleh ke Azzam, berharap pria itu bisa mempertahankan keinginannya untuk tetap menyusul dua minggu lagi.
Tapi harapannya langsung hancur saat Azzam berkata dengan nada mantap, "Azzam akan ikut Farah dua hari lagi ke Venezia."
“Sial.” Umpat Farah.Tentu ucapan itu hanya di hati saja.
Danial, Arman, serta Retno tampak lega.
"Kerjaan kamu, biar Papi dan Rayyan yang urus sebelum ke Turki, bisa kan, Yan?" tanya Arman.
Rayyan mengangguk. "Insya Allah, siap Pi.”
Farah menghela pasrah.Keputusan sudah dibuat. Farah tidak bisa menolak kesempatannya untuk menikmati ketenangan sebelum Azzam datang kini sirna dia harus berangkat bersama pria itu.Pria yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya lalu mengendalikan segalanya.
Pria yang rewel, perfeksionis, dan terlalu mendominasi.
“Sabar, Faa…” Batinnya. Ini adalah awal yang buruk.
Azzam menatap istrinya dengan senyum samar.
Tatapannya sulit diartikan.
Lalu mendekatkan wajahnya pada gadis itu dan berbisik pelan.
"Next, kita lihat siapa yang menang kali ini?"
***
Hola... jangan lupa tinggalkan jejak.
Like, komen dan Subscribe.
Follow juga Authornya.
Kamshammida.