NovelToon NovelToon
Ketika Dunia Kita Berbeda

Ketika Dunia Kita Berbeda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:582
Nilai: 5
Nama Author: nangka123

Pertemuan Andre dan fanda terjadi tanpa di rencanakan,dia hati yang berbeda dunia perlahan saling mendekat.tapi semakin dekat, semakin banyak hal yang harus mereka hadapi.perbedaan, restu orang tua,dan rasa takut kehilangan.mampukah Andre dan fanda melewati ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nangka123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9: Berkenalan dengan pria lain

Andre mengikuti Dewi berkeliling di sepanjang jalan. Ia kagum dengan perusahaan besar itu.

“Jadi, Mas Andre, di sini kita nggak cuma produksi mobil, tapi juga punya divisi riset untuk pengembangan teknologi otomotif,” ucap Dewi sambil melangkah pelan di koridor.

Andre mengangguk, matanya berkeliling mengagumi fasilitas megah itu.

“Luar biasa, Mbak. Jujur saja, saya nggak pernah kebayang bisa kerja di tempat seperti ini. Dulu saya cuma teknisi di bengkel kecil.”

Dewi menoleh dan tersenyum ramah.

“Tapi justru karena pengalaman di bengkel kecil itu kamu bisa nolong Ayah.”

Andre hanya tersenyum kaku. Hatinya senang mendengar pujian itu, tapi juga muncul rasa minder.

Setelah beberapa saat berjalan, Dewi berhenti di depan ruang istirahat.

“Andre, kita istirahat sebentar ya? Capek juga keliling dari tadi.”

“Boleh, Mbak. Silakan.”

Mereka duduk berhadapan di meja kayu sederhana. Dewi membuka percakapan lagi.

“Andre, selain otomotif, ada hobi lain nggak?”

Andre berpikir sejenak, lalu menjawab pelan.

“Saya suka main gitar, Mbak. Kalau malam biasanya saya main sebentar, itu cara saya melepas capek.”

“Wah, menarik juga. Jadi bisa nyanyi-nyanyi gitu ya?” Dewi tersenyum, matanya berbinar.

Andre tertawa kecil.

“Kalau nyanyi, suaranya pas-pasan. Gitar aja, Mbak. Itu pun buat hiburan sendiri.”

“Kalau aku hobinya baca novel sama jalan-jalan ke tempat yang tenang. Rasanya kayak ada dunia lain yang bikin pikiran lebih segar.”

Mereka sempat terdiam, lalu Dewi menatap Andre lebih serius.

“Andre…”

“Iya, Mbak Dewi?”

“Kamu udah punya pacar belum?”

Pertanyaan itu membuat Andre terdiam. Jemarinya memainkan gelas plastik yang ia pegang, seolah butuh waktu lama untuk menjawab.

“Dulu ada…” jawabnya pelan dengan suara berat.

“Tapi sekarang, nggak lagi.”

“Oh… jadi udah putus ya?” Dewi mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan rasa penasarannya.

“Maaf ya kalau kepo. Aku cuma penasaran aja.”

Andre menghela napas.

“Nggak apa-apa, Mbak. Itu masa lalu. Sekarang saya cuma mau fokus kerja, nggak mau mikir yang lain dulu.”

Dewi menatapnya sejenak. Ada rasa iba bercampur kagum.

“Kalau gitu, semoga di sini kamu bisa dapat semangat baru.”

Sementara itu, Fanda masih diselimuti kegelisahan.

Sudah berminggu-minggu ia mencoba mencari Andre, tapi selalu gagal. Setiap malam ia menatap layar ponsel berharap ada pesan masuk. Tapi tidak ada satupun.

Hari itu ia memutuskan pergi ke sebuah kafe untuk sekadar menenangkan pikiran.

Duduk di pojok ruangan, ia memandangi hujan yang turun di luar jendela.

“Permisi, kursi ini kosong?”

Suara lembut membuat Fanda menoleh. Seorang pria berpenampilan rapi berdiri sambil tersenyum sopan.

“Oh, iya… silakan,” jawab Fanda singkat.

Pria itu duduk dengan tenang.

“Nama saya Stevan,” katanya sambil mengulurkan tangan.

Fanda ragu sejenak sebelum akhirnya menjabat tangan itu.

“Saya Fanda.”

“Senang bisa kenal,” ucap Stevan tulus.

“Sebenarnya saya sering lihat kamu di sini, cuma baru sekarang saya memberanikan diri buat menyapa.”

Fanda hanya tersenyum kecil.

“Kamu sering ke sini ya?” tanya Stevan mencoba membuka obrolan.

“Iya, kalau lagi butuh tenang. Kopi di sini juga enak.”

Stevan terkekeh.

“Setuju. Apalagi kalau ditemani obrolan yang menyenangkan.”

Fanda sempat terdiam, lalu mengangguk. “Iya… benar juga.”

Hari itu mereka hanya bicara sebentar, tapi ada kesan mendalam yang tertinggal di hati Fanda.

Meski begitu, bayangan Andre masih kuat melekat.

Di rumah besar keluarga Fanda, suasana berbeda. Zul datang dengan wajah penuh percaya diri, mencoba menemui Pak Hendra.

“Om, saya ingin bicara soal Fanda. Saya serius sama dia. Saya masih sayang.”

PLAK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Zul terhuyung, matanya melebar tidak percaya.

Pak Hendra berdiri dengan wajah merah padam.

“Kamu berani-beraninya datang ke sini setelah semua yang kamu lakukan pada anak saya? Kurang ajar!”

Zul membeku, pipinya panas.

“Om, saya… saya minta maaf. Itu cuma kesalahpahaman.”

“Diam!” bentak Pak Hendra.

“Kesalahpahaman apanya? Kamu hampir menghancurkan hidup Fanda! Pergi dari sini, dan jangan pernah tunjukkan muka kamu lagi!”

Zul menggertakkan giginya, hatinya terbakar oleh rasa malu dan dendam. Tanpa sepatah kata lagi, ia meninggalkan rumah itu. Tapi dalam hatinya, tekadnya semakin kuat. Ia tidak akan membiarkan Fanda benar-benar lepas darinya.

Malam itu, Fanda duduk di kamarnya, memandangi layar ponsel yang kosong. Pikirannya bercampur aduk ,tentang Andre yang menghilang, tentang Zul yang masih mengganggu, dan tentang Stevan sosok yang baru dia temui.

“Aku harus bagaimana, Mas…?” bisiknya lirih sambil menatap foto Andre yang masih tersimpan di galerinya.

Air matanya menetes lagi.

Di sisi lain, Andre duduk di kontrakan kecilnya, memainkan gitar dengan nada sendu. Di sela-sela petikan, bibirnya berbisik pelan,

“Fanda…”

Hari berganti, tapi bayangan Fanda tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya.

Suatu sore, Stevan kembali menghampiri Fanda.

“Fanda,” sapa Stevan dengan senyum hangat.

“Kebetulan sekali ketemu lagi. Kamu nggak keberatan kalau aku temani duduk?”

Fanda menggeleng pelan.

“Nggak, silakan.”

Stevan memesan minuman, lalu menatap Fanda dengan tenang.

“Kamu kelihatan sering murung. Ada masalah?”

Fanda terdiam cukup lama.

“Ada seseorang yang tiba-tiba pergi dari hidupku. Sampai sekarang aku belum bisa melupakannya.”

Stevan tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya mengangguk.

“Kadang orang yang kita cintai memang memilih pergi. Tapi bukan berarti hidup kita berhenti di situ. Kamu masih bisa bahagia lagi, Fanda.”

Kata-kata itu menenangkan, meski hatinya tetap rapuh.

Sementara itu, Zul yang dipermalukan Pak Hendra belum menyerah. Siang itu ia menunggu Fanda di parkiran sebuah mal. Begitu Fanda keluar, Zul langsung menghadang.

“Fanda, tunggu!”

Fanda terkejut, langkahnya terhenti.

“Zul? Kamu ngapain di sini?”

Zul berjalan cepat, wajahnya penuh emosi.

“Aku cuma mau bicara! Kenapa kamu tega banget ninggalin aku? Aku masih sayang sama kamu!”

Fanda menegakkan bahu, suaranya dingin. “Aku sudah bilang kita selesai, dan aku nggak mau ada hubungan lagi sama kamu.”

Tangan Zul tiba-tiba meraih pergelangan tangannya, mencengkeram kuat.

“Kamu bohong! Kamu pasti masih ada rasa sama aku!”

“Lepaskan, Zul! Kamu bikin aku sakit!”

Namun Zul semakin keras.

“Kamu milik aku, Fanda! Nggak ada pria lain yang boleh dekat sama kamu!”

Tiba-tiba, sebuah suara tegas terdengar dari belakang.

“Lepaskan dia!”

Zul menoleh. Seorang pria tegap dengan jas rapi berjalan cepat ke arahnya.

“Siapa kamu, berani-beraninya ikut campur urusan aku?!” bentak Zul.

Stevan menatapnya tajam.

“Nama saya Stevan, dan saya tidak akan tinggal diam melihat wanita diperlakukan seperti sampah oleh pria pengecut sepertimu.”

Bugh!

Sebuah pukulan keras mendarat di rahang Zul. Ia terhuyung, hampir jatuh. Fanda langsung ditarik ke belakang Stevan.

Zul mengusap darah di sudut bibirnya, matanya merah karena marah.

“Kurang ajar! Kamu pikir kamu siapa?!”

Stevan menegakkan tubuhnya, suaranya berat penuh wibawa.

“Nama aku Stevan Cartoun.”

Wajah Zul langsung pucat. Ia mengenal nama itu. Fanda pun terkejut. Hampir semua orang tahu reputasi dan pengaruh Stevan Cartoun, CEO Cartoun Group, perusahaan otomotif terkemuka di kota ini.

“Tunggu saja… ini belum selesai!” geram Zul sebelum berlari pergi, meninggalkan mereka.

Fanda gemetar. Tangannya berusaha menenangkan diri, tapi tubuhnya masih lemas.

“Fanda, kamu nggak apa-apa?” tanya Stevan lembut, menatapnya penuh kekhawatiran.

Ia mengangguk lalu berkata lirih,

“Terima kasih, Stevan. Kalau kamu nggak ada tadi, aku nggak tahu apa yang terjadi.”

Stevan tersenyum menenangkan. “Tenanglah. Selama aku ada, aku nggak akan biarkan dia menyentuhmu lagi.”

Hari-hari berikutnya, Stevan semakin sering menemani Fanda. Kadang mereka sekadar berbicara di kafe, kadang berjalan-jalan bersama.

“Terima kasih sudah menemaniku jalan-jalan,” ucap Fanda suatu sore ketika mereka duduk di taman kota.

Stevan menoleh, menatapnya lembut.

“Aku akan selalu ada untukmu.”

Fanda menunduk. Hatinya berdebar tapi bimbang. Ada perasaan baru yang perlahan tumbuh, tapi bayangan Andre masih ada di pikirannya.

Di sisi lain kota, Andre bekerja keras di perusahaan Pak Surya. Ia sudah mulai akrab dengan para karyawan lain.

ketika ia sedang membereskan peralatan, Dewi datang menghampiri.

“Andre, arah rumahku dan kosan kamu kan sejalan. Bagaimana kalau kita pulang bareng aja?”

“Nggak usah, Mbak. Jadi ngerepotin Mbak aja.”

“Nggak apa-apa, kita pulang bareng ya.”

Andre tersenyum kecil.

“Terima kasih, Mbak. Saya jadi nggak enak kalau merepotkan.”

“Nggak repot kok,” balas Dewi dengan tatapan lembut.

“Aku senang bisa kenal sama orang kayak kamu.”

Andre terdiam. Di satu sisi, ia merasakan ketulusan Dewi. Di sisi lain, wajah Fanda selalu hadir, seolah menolak pergi.

Suatu malam, Andre tanpa sengaja melihat berita online di ponselnya.

CEO Cartoun Group, Stevan Cartoun, melindungi CEO Aston Group, Fanda, dari mantan kekasihnya.

Andre terpaku. Napasnya tercekat, jantungnya berdegup kencang.

“Fanda…?”

Tangannya bergetar saat membaca berita itu.

“Alhamdulillah, sekarang ada pria lain yang menjaga dia…” gumamnya pelan, padahal dalam hati terasa perih.

Malam itu, Andre duduk lama di teras kontrakannya. Gitar di pangkuan, tapi tak dipetik. Pikirannya kacau.

Di satu sisi, ia lega karena Fanda selamat. Tapi di sisi lain, hatinya terluka membayangkan Fanda mulai menemukan sosok lain yang menggantikan dirinya.

Sementara di rumah Fanda, gadis itu menatap langit-langit kamar. Ia memegang ponsel, ingin sekali mengetik nama Andre. Tapi nomor itu sudah tak aktif.

Air matanya jatuh lagi.

“Mas… kenapa kamu pergi?” bisiknya pelan.

Meski sudah mulai dekat dengan pria lain, di hati Fanda hanya ada satu yaitu Andre.

1
Nurqaireen Zayani
Menarik perhatian.
nangka123: trimakasih 🙏
total 1 replies
pine
Jangan berhenti menulis, thor! Suka banget sama style kamu!
nangka123: siap kak🙏
total 1 replies
Rena Ryuuguu
Ceritanya sangat menghibur, thor. Ayo terus berkarya!
nangka123: siap kakk,,🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!