Follow IG othor @ersa_eysresa
Anasera Naraya dan Enzie Radeva, adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Namun tepat di hari pernikahan, sebuah tragedi terjadi. Pesta pernikahan yang meriah berubah menjadi acara pemakaman. Tapi meskipun begitu, pernikahan antara Ana dan Enzie tetap di laksanakan.
Namun, kebahagiaan pernikahan yang diimpikan oleh Ana tidak pernah terjadi. Karena bukan kebahagiaan yang dia dapatkan, tapi neraka rumah tangga yang ia terima. Cinta Enzie kepada Ana berubah menjadi benci di waktu sama.
Sebenarnya apa yang terjadi di hari pernikahan mereka?
Apakah Ana akan tetap bertahan dengan pernikahannya atau menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perubahan Sikap Ana
Setelah memastikan Enzi tidur dengan nyenyak, Ana keluar dari kamarnya dan duduk sendiri di ruang keluarga. Tidak ada televisi yang menyala, semua lampu sudah dimatikan hanya cahaya lampu temaram dari dapur yang masih menyala dan menemani kegalauan hati Ana.
Berkali-kali dia menghembuskan nafas berat dan mengatur nafasnya yang tiba-tiba terasa sesak saat mendengar ucapan Enzi yang menganggapnya sebagai penyebab kematian kedua orang tuanya. Itu adalah sebuah tuduhan yang tidak beralasan. Atau itu hanya alasan Enzi saja untuk menuduhnya.
"Jadi, karena ini sikapmu berubah padaku, mas. Ini sungguh tidak adil. Aku tidak ada hubungannya sama sekali dengan kematian kedua orang tuamu. Kenapa kamu tega menjadikanku alasan atau tuduhan atas kematian kedua orang tuamu. " gumamnya dengan air mata yang tanpa terasa menetes.
"Apa yang harus aku lakukan untuk menyadarkanmu, kalau aku tidak bersalah, dan membuatmu kembali kepadaku." gumamnya lagi.
Karena sudah lelah hati dan pikirannya, Ana memutuskan masuk kedalam kamar tamu untuk istirahat. Keadaan berbalik, kemarin yang tidur di kamar tamu adalah Enzi dan sekarang yang tidur disana Ana. Pernikahan macam apa yang mereka jalani, baru kemarin mereka menikah dan dua malam ini Enzi dan Ana sudah tidur terpisah.
Pagi datang dan membangunkan Enzi dengan sinarnya yang menyilaukan. Enzi mengerjap-ngerjapkan matanya dan perlahan membuka matanya. Dia lalu menoleh ke arah samping dan ternyata kosong. Ana tidak ada disana. bahkan tempat di sampingnya masih rapi dan dingin. seolah tidak ada siapapun yang tidur disana.
Tanpa pikir panjang, Enzi langsung membersihkan dirinya dan langsung berganti pakaian dengan setelan jas kerjanya. Setelah bersiap dia langsung menuju ke meja untuk melihat apa yang sedang dilakukan oleh Ana. Kenapa istrinya itu tidak menyapanya di kamar.
"Pagi... " sapanya berharap mendapatkan respon dari Ana yang sedang sibuk di dapur.
"Pagi, mas Enzi. Sudah siap berangkat kerja ya." Bukan Ana yang menjawab sapaannya melainkan Bi Darmi yang menyiapkan sarapan untuknya.
Di meja makan sudah tersedia nasi goreng dengan irisan ayam dan telur mata sapi di atasnya. Ada juga secangkir kopi yang masih mengepulkan asap panas.
"Ini mbak Ana yang nyiapin semuanya, mas. " kata Bi Darmi lalu meninggalkan Enzi yang sibuk dengan ponselnya.
Sesekali dia melirik ke arah Ana yang tidak menoleh sedikitpun kepadanya sejak dia duduk di meja makan. Kenapa wanita itu hanya diam dan tidak menghiraukannya sama sekali. Biasanya dia akan protes dan merengek ini itu. Tapi hari ini, rumah ini terasa hening tanpa suara protes dan rengekan dari Ana.
Saat Enzi menyesap kopinya, Ana tiba-tiba jalan mendekat kearahnya. Enzi sudah memasang wajah dingin seperti kemarin, namun sayang, itu tidak berguna karena Ana hanya melewatinya saja dan menuju ke lantai atas tepatnya ke kamar mereka.
"Bi, Ana kenapa? kenapa dia diam sana sejak tadi. " tanya Enzi kepada Bi Darmi.
"Nggak tau mas, memang mbak Ana sejak pagi cuma diam aja. Bahkan nggak ngajak bibi ngomong. Semua masakan ini dia kerjakan sendiri. " jawab Bi Darmi.
Enzi tidak bertanya lagi sepertinya ada yang salah semalam. Kalau tidak kenapa Ana bisa jadi sependiam itu pagi ini.
Tak berapa lama, saat Enzi menyantap sarapannya, terlihat Ana keluar dari kamar dengan pakaian rapi dan duduk di hadapan Enzi dengan mulut masih tertutup rapat. Sepertinya dia akan masuk kerja hari ini.
"Bukannya kamu masih cuti. " tanya Enzi.
"Ya." jawab Ana malas sambil mengoleskan selai coklat di rotinya.
"Lalu kenapa kamu masuk kerja hari ini? " tanya Enzi lagi penasaran.
"Percuma juga aku ada di rumah, karena tidak ada yang bisa kulakukan. " jawab Ana acuh tanpa menoleh sedikitpun ke arah Enzi.
"Apa maksudmu tidak ada yang bisa kamu lakukan. Kamu bisa membersihkan rumah, mencuci baju, setrika dan lainnya. " bentak Enzi yang mendapatkan respon dingin dari Ana.
"Semua sudah aku lakukan pagi ini, apa kamu tidak bisa melihatnya. Dan ini untuk terakhir kalinya aku melakukan pekerjaan seperti itu. " kata Ana menatap tajam ke arah Enzi.
"Apa maksud mu. " tanya Enzi penasaran.
"Aku sudah menghubungi Bi Marni agar kembali bekerja besok. Jika kamu tidak sanggup membayarnya, maka aku yang akan membayarnya. Kamu menggaji Bi Darmi dan aku akan menggaji Bi Marni, cukup adilkan. " jawab Ana santai sambil mengunyah makanannya.
"Nggak! aku nggak ngijinin. Kamu adalah nyonya rumah ini, jadi kamu yang bertanggung jawab atas semua pekerjaan rumah disini. " Enzi tidak setuju dengan ucapan Ana.
"Terserah, kalau kamu anggap aku nyonya rumah ini, maka semua keputusan ada ditanganku. Jadi terserah aku mau melakukan apa. Dan ingat ini baik-baik. 'Aku menikah dengan mu untuk menjadi teman hidupmu, bukan untuk menjadi pembantu' ," Ucap Ana penuh penekanan.
"Kau.... "
"Aku sudah selesai, aku pergi dulu. "
"Aku antar, "
"tidak perlu, "
Ana beranjak dari duduknya dan berjalan meninggalkan Enzi yang menatapnya tak percaya. Bagaimana bisa Ana bersikap begitu dingin kepadanya? Dia seperti melihat sosok asing dalam diri Ana.
Karena selama ini, Ana adalah wanita lembut dan penurut. Dia selalu mendengar dan menuruti semua kata-katanya dan tidak pernah membantah sedikitpun. Tapi sekarang apa yang membuatnya bersikap seperti itu.
"Apa ada yang salah? Apa aku mengatakan sesuatu semalam saat mabuk? " gumamnya mencoba mengingat apa yang terjadi semalam.
"Arvin... aku harus bertanya kepadanya. "
Mengingat nama sahabatnya, Enzi segera menghubungi Arvin yang saat ini sedang menuju ke rumahnya untuk menjemputnya.
"Ada apa? " tanya Arvin dipanggilan telepon.
"Kau dimana? "
"Otw ke rumahmu, ini udah sampai pintu masuk. "
Tanpa menjawab lagi, Enzi langsung keluar rumah dan melihat mobilnya sudah berada di depan teras.
"Ada apa, bos. Apakah pengar di kepalamu sudah hilang? " tanya Arvin saat Enzi sudah masuk ke dalam mobil.
"Diem, aku mau tanya sama kamu, apa semalam kamu mengatakan sesuatu kepada Ana? "
"Apa? Aku tidak mengatakan apapun kepada Ana. " jawab Arvin bingung. "Memangnya kenapa? Apa terjadi sesuatu? "
"Nggak ada, hanya saja sikap Ana pagi ini sangat aneh. Dia yang biasanya suka protes dan cerewet berubah jadi dingin dan pendiam. Bahkan dia berani menentangku. " jawab Enzi kesal.
"Menentang gimana? " tanya Arvin penuh rasa ingin tahu.
Enzi lalu menceritakan apa yang terjadi sejak dia bangun tidur hingga sikap dingin Ana yang pergi kerja tanpa pamit atau salaman dengannya. Sungguh tidak seperti Ana yang biasanya.
"Terus, kamu ingin Ana bersikap gimana sama kamu. Sedangkan kamu sendiri bersikap dingin dan acuh tak acuh padanya. Bahkan meminta Ana menjadi pengganti pembantu di rumahmu, sedangkan gajinya saja bisa buat bayar pembantu. " timpal Arvin.
Enzi terdiam mendengar ucapan Arvin dan menolehkan pandangannya keluar.
"Dan bukan salah aku ya, atau salah Ana jika dia berubah. Mungkin saja semalam kamu mengatakan sesuatu yang menyinggungnya saat mabuk. Karena itu, dia berubah sikap padamu pagi ini. "
dia sudah memilih
be strong woman you can do it
marah atau pura pura ga tau