NovelToon NovelToon
MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Istana/Kuno
Popularitas:469
Nilai: 5
Nama Author: penulis_hariku

“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9 Bara dalam Senyap

Fajar baru saja merekah, namun suasana Samudra Jaya sudah jauh dari tenang. Dentuman gong tanda pergantian jaga terdengar berat, seakan menegaskan bahwa hari itu bukan hari biasa. Di balairung, Mahapatih Nirmala menerima laporan dari utusan perbatasan.

“Gusti Mahapatih,” ujar prajurit yang baru datang dengan napas terengah. “Ada tanda-tanda pergerakan kapal asing di lautan selatan. Belum jelas asalnya, tetapi jumlahnya lebih banyak dari biasanya.” Balairung mendadak hening. Semua mata tertuju pada Mahapatih, menanti keputusan. Ia menyipitkan mata, lalu menoleh ke Tumenggung Wiranegara.

“Siagakan pasukan laut. Jangan biarkan satu kapal pun masuk tanpa izin. Kita tak boleh lengah.”

Tumenggung Wiranegara menunduk hormat. “Sendika dawuh.” Raden Arya yang duduk tak jauh dari sana mengepalkan tangan. Wajahnya masih menyimpan letih dari latihan kemarin, namun semangatnya menyala. “Ampun, Gusti Mahapatih… izinkan hamba ikut serta dalam pengawasan. Hamba ingin membuktikan bahwa Samudra Jaya bisa mengandalkan diri hamba.” Ucapan itu membuat beberapa pejabat melirik terkejut. Arya jarang sekali mengajukan diri dengan tegas. Mahapatih Nirmala menatapnya lama, lalu mengangguk tipis.

“Baiklah, Arya. Anggap ini kesempatan untuk menunjukkan kesetiaanmu. Namun ingat, tugasmu adalah mengamati, bukan bertindak gegabah.” Belum sempat suasana mereda, suara berat Raksa terdengar dari sisi lain balairung.

“Jika Raden Arya ikut, maka biarkan pula hamba mendampingi. Akan konyol jika seorang pangeran yang belum matang dibiarkan menghadapi situasi berbahaya seorang diri.” Nada bicaranya terdengar manis, tetapi sorot matanya jelas menyimpan ejekan. Arya menoleh, wajahnya menegang. “Aku tidak butuh penjagaanmu, Raksa. Aku mampu menjaga diriku sendiri.”

Raksa tersenyum tipis. “Oh tentu… kemarin kau sudah membuktikan ‘kemampuanmu’, bukan?” ucapnya sambil menekankan kata terakhir, membuat sebagian pejabat menunduk agar tidak terlihat menyembunyikan reaksi mereka. Putri Dyah yang menyaksikan percakapan itu akhirnya angkat suara. “Cukup. Kalian berdua pangeran Samudra Jaya. Tidak pantas menjadikan rapat kerajaan sebagai panggung perseteruan pribadi. Jika kalian hendak membuktikan sesuatu, buktikan pada rakyat, bukan dengan saling menjatuhkan.” Suasana kembali tegang namun terkendali. Raksa menunduk, pura-pura menerima teguran, meski rahangnya mengeras. Arya memilih diam, menunduk dalam-dalam.

Sementara itu, di dapur keputren, Sima kembali diliputi rasa cemas. Ia berusaha terlihat sibuk menyiapkan ramuan jamu untuk para dayang, padahal pikirannya kacau. Laras mendekat pelan, berbisik lirih.

“Sim, aku masih memikirkan apa yang kau sembunyikan. Apakah tidak sebaiknya kau jujur pada Gusti Putri?”

Sima terlonjak, matanya membesar. “Jangan bicara sembarangan, Laras! Jika ada yang mendengar, habislah kita!” Laras menggertakkan gigi, lalu menatap sahabatnya itu penuh iba. “Aku hanya takut kau terjerat terlalu jauh. Ingat, kebohongan sebesar apa pun akhirnya akan terungkap.” Dari balik tirai, Nyi Rengganis muncul membawa senyum menawan, seolah baru saja masuk tanpa sengaja. “Ada apa ini? Kenapa wajah kalian tegang sekali?” tanyanya dengan nada manis, namun sorot matanya menusuk. Sima cepat-cepat menunduk, pura-pura sibuk dengan ramuan. Laras terdiam, menahan kata-katanya. Senyum Nyi Rengganis makin melebar. “Baguslah, jika tidak ada apa-apa. Ingat, di istana ini, telinga dan mata ada di mana-mana. Jangan sampai kalian membuat kesalahan kecil yang bisa berakibat besar.” Sima merasakan dingin menjalari tubuhnya. Ia tahu, senyum itu bukan sekadar ramah—itu peringatan, atau bahkan ancaman.

***

Menjelang senja, Arya melangkah mantap menuju dermaga. Balutan kain biru laut menambah wibawa tubuhnya yang kian tegap. Di sepanjang lorong istana, langkahnya terdengar berirama, seolah mengikuti degup tekad yang telah bulat dalam dadanya. Dari balik tiang ukiran kayu, Puspa berdiri tenang, pura-pura sibuk membawa baki kecil berisi kain lap yang baru dicuci. Namun matanya tak pernah lepas dari sosok sang pangeran. Ada sesuatu yang sulit ia bendung—kekhawatiran yang bergejolak, meski lidahnya tak berani berucap.

“Semoga beliau selamat,” batin Puspa, menunduk dalam-dalam agar tak ada yang membaca sorot matanya. Jari-jarinya yang halus meremas tepi baki, menyimpan doa yang tak tersampaikan lewat kata.

Arya sempat menoleh sekilas, tak sengaja mendapati bayangan Puspa di sudut lorong. Tatapan teduhnya menuaikan kehangatan, meski ia tidak mengatakan apa-apa. Ada kekuatan yang mengalir, seolah seseorang percaya padanya, diam-diam memberi semangat. Senyum samar muncul di wajahnya, lalu ia kembali melangkah.

Namun, dari ujung lorong, berdirilah Raksa. Kedua matanya menyala dingin, menangkap momen singkat itu—senyum Arya, sorot mata Puspa. Ia tidak mendengar kata-kata, tapi ia paham, perhatian itu bukan untuknya. Rahangnya mengeras, genggamannya mengepal. Raksa berbalik, langkahnya berat bagai menahan bara. Dalam hati ia mendesis, “Arya boleh meraih simpati sekarang… tapi semua itu hanya fatamorgana. Aku yang akan menentukan akhir kisah ini. Pada waktunya, tak seorang pun akan mengingat namanya, selain sebagai bayangan di bawah kakiku.”

Dan malam itu, Samudra Jaya kembali diselimuti kerisauan. Bukan semata kabar tentang kapal-kapal asing yang menunggu di kejauhan, melainkan juga karena api ambisi seorang pangeran yang kian sulit dijinakkan.

***

Malam semakin larut saat seorang penyusup masuk diam-diam ke dalam istana, melewati penjagaan yang ketat.

“Malam ini kok suueeepii...poool...to yo...” Ucap salah prajurit yang berjaga.

“Ya jelas sepi lha wong Raden Raksa sama Raden Arya lagi ke perbatasan, untungnya.....”

PRANK!

Tiba-tiba seseorang penyelinap tak sengaja memecahkan kendi air. Kendi air pecah, isinya mengalir membasahi lantai batu. Keduanya terperanjat. “Siapa di sana?!” teriak salah satunya sambil menghunus tombak.

Dari kegelapan, bayangan berkelebat. Satu sosok, lalu disusul sosok lain. Gerakan mereka cepat, jelas bukan orang sembarangan. Para prajurit berlari mengejar, namun langkah para penyusup jauh lebih lincah.

Aruna Maheswara, yang kebetulan baru kembali dari pengawasan gudang, segera mendengar kegaduhan itu. Tubuhnya refleks bergerak cepat. Dengan tarikan nafas panjang, ia mencabut pedangnya dan berlari ke arah suara.

“Apa yang terjadi?!” serunya lantang. Salah satu prajurit menjawab dengan napas tersengal. “Ada penyusup, Gusti Aruna! Mereka masuk lewat lorong barat, bergerak ke arah balairung!” Aruna tidak membuang waktu. “Kunci semua gerbang! Jangan biarkan mereka keluar hidup-hidup!” Langkah kakinya menghantam lantai batu, dentumannya memantul di dinding istana. Beberapa prajurit lain segera bergabung. Ketika sampai di lorong balairung, dua sosok berpakaian hitam sudah menunggu. Wajah mereka tertutup kain, hanya menyisakan sorot mata penuh kebencian.

“Beraninya kalian menodai istana Samudra Jaya,” ucap Aruna dengan suara dingin. “Siapa pun yang mengutus kalian, malam ini kalian tidak akan bisa kembali.”

Salah satu penyusup tertawa kecil. “Jangan terlalu yakin, Panglima.” Mereka bergerak serempak, menyerang dengan pisau pendek. Aruna mengangkat pedangnya, menangkis dengan gesit. Benturan logam bergema keras. Pertarungan berlangsung singkat, tapi intens. Gerakan Aruna terlatih dan penuh tenaga, membuat salah satu penyusup kehilangan keseimbangan. Dalam sekejap, ia terjatuh ke lantai dengan pedang Aruna menempel di lehernya.

Sementara itu, prajurit lain berhasil membekuk penyusup kedua. Tangannya diikat, tubuhnya dipaksa berlutut di hadapan Aruna.

“Siapa kalian?!” bentak Aruna, matanya tajam. “Siapa yang menyuruh masuk ke istana ini?” Keduanya bungkam. Hanya napas kasar terdengar. Aruna menekan pedangnya sedikit lebih dalam pada leher orang pertama.

“Bicara, atau nyawamu akan habis di sini.” Penyusup itu menelan ludah, namun tetap menatap dengan sorot mata menantang. “Kami tidak akan pernah bicara. Lebih baik mati daripada mengkhianati tuan kami.”

Aruna mengerutkan kening. “Tuan kalian?” Belum sempat ia bertanya lebih lanjut, salah satu penyusup yang dibekuk tiba-tiba menggigit sesuatu di mulutnya. Aruna terbelalak. “Hentikan dia!” teriaknya. Namun sudah terlambat. Tubuh penyusup itu mendadak kejang, bibirnya berbusa. Ia jatuh ke lantai, tubuhnya menggeliat sebentar lalu diam selamanya. Racun cepat, jelas sudah dipersiapkan untuk keadaan ini.

“Celaka…” salah satu prajurit berbisik. “Mereka rela mati demi menyembunyikan rahasia.” Aruna mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. “Orang-orang seperti ini tidak bergerak tanpa alasan. Ada tangan yang lebih besar yang mengendalikan mereka.” Ia menatap penyusup yang masih hidup. “Kau masih punya kesempatan untuk bicara. Jangan kira mati itu lebih mudah.” Namun penyusup itu hanya menutup mata, enggan menjawab.

Putri Dyah Anindya, yang mendengar keributan, datang dengan wajah cemas. “Apa yang terjadi di sini?” tanyanya, suaranya bergetar. Aruna menunduk hormat. “Ampun, Gusti Putri. Dua orang penyusup masuk istana. Satu berhasil ditangkap, satu lagi memilih bunuh diri dengan racun.”

Dyah terdiam, matanya membesar. “Bunuh diri? Demi merahasiakan sesuatu… berarti mereka bukan sekadar pencuri.”

“Tepat sekali, Gusti,” jawab Aruna tegas. “Mereka jelas utusan musuh. Hanya orang-orang terlatih yang punya tekad setegar itu.” Dyah menoleh ke arah mayat yang terbujur kaku, lalu menatap yang masih berlutut. “Pastikan dia dijaga ketat. Jangan sampai ada celah untuknya mengakhiri nyawanya seperti rekannya.”

“Sendika dawuh,” ucap Aruna. Prajurit segera membawa penyusup itu ke ruang bawah tanah untuk diinterogasi lebih lanjut. Sementara itu, Dyah menghela napas panjang. Pandangannya menerawang jauh, hatinya diliputi kecemasan.

“Bayangan musuh sudah masuk begitu dalam…” gumamnya pelan. “Samudra Jaya sedang diguncang badai. Dan aku takut badai itu bukan hanya dari luar… tapi juga dari dalam keluarga kita sendiri.” Aruna menatap sang putri dalam-dalam, namun memilih diam. Hanya hatinya yang berbisik lirih”Benar, Gusti Putri. Bahaya itu lebih dekat daripada yang kita kira,”

“Perketat penjagaan Aruna, raden Raksa dan Raden Arya tengah di pelabuhan jangan sampai istana ini lengah,” titah putri Dyah.

“Sendika dawuh Gusti Putri,” kata Aruna, dia menatap putri Dyah yang kembali ke keputren dengan pikiran yang tak menentu. Hingga seorang prajurit datang dan membuyarkan lamunannya.

“Apa yang akan kita lakukan pada penyusup itu panglima?”

“Perketat penjagaan untuknya dan periksa dia apakah ada hal yang berbahaya yang dia bawa, aku sendiri yang akan mengintrogasinya,” jawab Aruna tanpa mengalihkan pandangannya pada putri Dyah yang telah menghilangkan di pintu keputren.

“Baik panglima,” prajurit itu langsung melaksanakan perintah atasannya.

Sementara itu di pelabuhan Raden Arya terlihat sangat gundah melihat ada beberapa kapal layar musuh terlihat dan dari lambangnya itu adalah....

“Kawi Mandala....untuk apa mereka kemari?” gumam Raden Arya resah.

“Kemungkinan besar mereka sudah tahu kalau Gusti Raja Harjaya tengah bersemedi sehingga mereka memanfaatkan celah ini untuk menyerang Samudra Jaya,” jawab tumenggung Wiranegara yang saat ini juga ikut menemani. Raden Arya mengepalkan tangannya kuat-kuat menahan emosi. Jika hal ini dibiarkan tentu akan membahayakan kerajaan.

Raden Arya berdiri di tepi dermaga, menatap lautan yang perlahan ditelan cahaya remang senja. Kapal-kapal layar dengan lambang Kawi Mandala semakin jelas terlihat, berbaris seakan hendak menantang Samudra Jaya. Dadanya terasa sesak, gundah bercampur dengan amarah yang ia sembunyikan di balik sorot matanya.

“Kita harus segera melaporkan ini kepada Adipati Surabrata dan Dewan Istana. Pertahanan laut tidak boleh lengah,” ucap Arya, suaranya bergetar menahan resah.

Tumenggung Wiranegara mengangguk dalam. “Benar, Gusti. Mereka datang bukan untuk bersahabat. Saat Raja Harjaya tengah bersemedi, Samudra Jaya berada dalam titik rapuh. Jika mereka menyerang, dermaga ini akan jadi sasaran pertama.” Arya mengepalkan tangannya, tatapannya terpaku pada lambang Kawi Mandala di layar kapal musuh. Ia tahu sejarah panjang permusuhan itu, bagaimana Kawi Mandala selalu mencari kesempatan untuk menundukkan Samudra Jaya. Namun, di sisi lain dermaga, Raden Raksa berdiri dengan sikap santai, bahkan senyum tipis terlukis di wajahnya. Seolah kehadiran kapal musuh bukanlah ancaman, melainkan sekadar permainan yang mengusir kebosanan. Ia menghela napas, lalu berucap ringan, “Kenapa harus terlalu cemas? Mereka hanya ingin menunjukkan keberadaan. Belum tentu berani menyeberang ke daratan.”

Arya menoleh dengan wajah tegang. “Raksa, kau tidak mengerti. Jika kita lengah sedikit saja, mereka akan langsung menyerang. Ini bukan sekadar unjuk kekuatan, tapi ancaman nyata bagi Samudra Jaya.” Raksa tersenyum miring, menatap sang adik dengan tatapan penuh ejekan. “Lantas apa yang bisa kau lakukan, kangmas Arya? Menatap mereka dari kejauhan dengan hati yang bergetar? Jangan-jangan kau lebih takut pada bayanganmu sendiri daripada pada musuh.” Kata-kata itu menusuk hati Arya, membuatnya terdiam sejenak. Wiranegara segera melangkah maju, mencoba menengahi. “Raden Raksa, mohon jangan memperkeruh suasana. Keadaan genting seperti ini memerlukan kebersamaan, bukan perpecahan.”

Namun Raksa hanya terkekeh, lalu menoleh kembali ke arah lautan. “Kebersamaan? Samudra Jaya selalu bisa bertahan. Tanpa aku, tanpa kangmas Arya, bahkan tanpa seorang pun dari kita, kerajaan ini tetap berdiri. Jadi, untuk apa kita bersusah payah?” Arya menggertakkan giginya, menahan amarah yang hampir meledak. Ia tahu Raksa hanya ingin memancingnya, tetapi ini bukan waktu yang tepat untuk berseteru. Dengan suara dalam, Arya akhirnya berkata, “Aku tidak peduli bagaimana caramu memandang ini. Yang jelas, aku akan lakukan kewajibanku menjaga negeri. Kalau kau memilih berpangku tangan, itu urusanmu. Tapi jangan pernah halangi aku.” Wiranegara menatap keduanya dengan cemas, menyadari api persaingan yang kian membara di antara dua pangeran itu. Sementara di kejauhan, kapal-kapal Kawi Mandala berlabuh semakin dekat, membawa pertanda bahwa badai besar tengah bersiap menyapu Samudra Jaya. Raksa hanya terkekeh pelan, melangkah menjauh dengan sikap tenang, seolah semua ancaman itu hanyalah angin lalu. Namun dalam hatinya, ia menyimpan sesuatu yang tak pernah ia ucapkan”jika Samudra Jaya runtuh, mungkin hanya akulah yang akan berdiri di atas puing-puingnya,”

***

Pagi harinya di keputren, Puspa tampak tenang melakukan pekerjaannya karena saat ini Raden Raksa tengah berada di dermaga selama itu pula tidak ada yang merasa terus mengikuti pergerakannya, hal itu disadari oleh Wulan yang melihat sahabatnya itu senyum-senyum sendiri.

“Duuuuh... Ono opo to.... Kok dari tadi senyum-senyum sendiri,” goda Wulan sambil menampi beras.

“Gak ada apa kok Lan, cuman cuacanya hari ini cerah aja hangat gak terik gak terlalu panas juga,” mendengar jawaban Puspa, Wulan pun terkikik dia pun mendekati gadis yang sebulan lagi menginjak usia 17 tahun itu.

“Aku tahu apa yang membuatmu tersenyum, saat ini raden Raksa ada di dermaga itu kan yang membuatmu tenang,” ucapan Wulan langsung membuatnya merinding dan kaku seketika lalu menoleh pelan.

“Aku tahu apa yang kau rasakan, awal-awal aku masuk ke istana juga seperti itu tatapan raden Raksa seperti ingin memangsa dayang muda disini, bikin merinding. Puspa dengar aku harap kau berhati-hati kalau kita mengantarkan makanan ke paviliun usahakan kita bersama-sama. Apalagi kalau kau berjalan sendirian, orang itu sudah mengikatmu,”

DEG!

Ucapan Wulan benar-benar membuat Puspa panas dingin, dia menggenggam beras yang belum selesa dibersihkannya. Teringat akan raden Raksa yang menciumnya dengan paksa kemarin sore tamparan tangannya yang tak sengaja mendarat dipipi pangeran Samudra Jaya itu. Wulan melihat mata Puspa yang mulai mengembun.

“Lhoo... Puspa kenapa lagi kok malah sedih?” tanya Wulan meletakkan tampahnya lalu mendekati Puspa. Puspa menunduk dalam-dalam, berusaha menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah, antara takut, malu, dan bingung. Jari-jarinya masih menggenggam bulir-bulir beras yang berjatuhan dari tampah. Hatinya terasa bergetar, seolah ada sesuatu yang menekan dadanya semakin kuat.

“Lan… aku ini takut,” bisiknya lirih, hampir tak terdengar. Wulan menatapnya lekat-lekat, lalu meraih tangan Puspa dengan penuh kelembutan. “Takut kenapa? Ceritakan padaku, Puspa. Kau jangan simpan sendiri, nanti malah jadi beban di hatimu.” Puspa menggigit bibirnya, mengingat kejadian sore kemarin yang terus menghantui benaknya. Bagaimana Raden Raksa menarik tangannya dengan paksa di taman sepi, lalu tanpa ampun mencuri ciuman dari bibirnya. Ingatan itu membuat seluruh tubuhnya gemetar.

“Aku… aku diperlakukan tidak pantas, Lan,” ucapnya akhirnya dengan suara bergetar. “Kemarin sore, saat aku sedang kembali dari pasren gusti putri Dyah, Raden Raksa… dia—dia memaksaku…”

Wulan terperanjat, kedua matanya membesar. “Astaga… Puspa!” serunya tercekik. Ia segera merangkul sahabatnya itu, berusaha menyalurkan kekuatan melalui pelukan. “Kenapa kau tidak berteriak? Kenapa tidak langsung lapor ke gusti Ken Suryawati atau ke gusti Putri Dyah?”

“Aku kaget, Lan… aku benar-benar kaget. Saat itu hanya bisa menamparnya, lalu aku lari secepat yang kubisa. Tapi sekarang… aku takut sekali. Bagaimana kalau dia dendam? Bagaimana kalau dia menyeretku ke dalam masalah besar?” Puspa menunduk, air mata jatuh membasahi tangannya. Wulan terdiam sejenak. Ia paham betul siapa Raden Raksa. Pangeran samudra jaya itu bukan hanya keras kepala, tapi juga terkenal berkuasa dan licik. Berani melawan berarti menantang badai.

“Puspa,” ucap Wulan serius sambil menghapus air mata sahabatnya, “aku janji, aku tidak akan membiarkanmu sendirian menghadapi ini. Kalau kita dapat giliran mengantar makanan, aku pasti ikut. Jangan pernah lagi kau pergi sendiri. Dan kalau sampai dia bertindak lebih jauh, kita harus lapor pada gusti Putri Dyah atau gusti permaisuri mungkin gusti permaisuri bisa memberitahu gusti Ken Suryawati tentang kelakuan raden Raksa bagaimanapun risikonya.” Puspa mengangguk pelan. Hatinya sedikit lebih tenang, walau bayangan wajah dingin Raden Raksa masih saja menghantui pikirannya.

Tiba-tiba suara gamelan terdengar sayup-sayup dari arah pendapa. Beberapa dayang lain sudah mulai berkumpul, tanda pekerjaan berikutnya menanti. Wulan menepuk pelan punggung Puspa.

“Ayo, kita selesaikan pekerjaan ini. Jangan sampai ada yang curiga melihat wajahmu sembab begini. Ingat, jangan menunjukkan kelemahan di depan orang lain, apalagi di depan Raden Raksa.” Puspa mengangguk lagi. Ia menarik napas dalam, mencoba menguatkan diri. Tangannya kembali menampi beras, meski masih gemetar halus. Senyum tipis dipaksakan terbit di wajahnya, meski hatinya masih berperang.

Dalam hatinya, ia berdoa lirih, “Sang hyang agung, lindungilah hamba dari niat buruknya. Berikanlah jalan keluar, sebelum semua ini semakin jauh…” Dan di sudut hatinya, Puspa sadar, hari-hari di keputren tidak akan lagi sama. Raden Raksa telah menorehkan luka yang mungkin tak mudah hilang. Namun ia juga tahu, ada Wulan yang selalu siap menggenggam tangannya. Dan mungkin, hanya dengan keberanian bersama, ia bisa bertahan menghadapi badai yang akan datang.

****

Pagi hari ini rapat di balairung digelar para tumenggung serta abdi kerajaan berkumpul begitu juga putri Dyah yang selalu ikut dalam rapat itu, dan seperti biasa rapat dipimpin oleh mahapatih Nirmala Wisesa.

“Bagaimana perkembangan di dermaga?” Tanya patih Nirmala.

“Ampun Tuanku, dari laporan prajurit tadi pagi kapal kerajaan Kawi Mandala sedang berlayar kearah perbatasan Samudra Jaya, menurut Tumenggung Wiranegara, selama Gusti Raja Harjaya bersemedi mungkin celah ini dimanfaatkan oleh kerajaan Kawi Mandala untuk menyerang Samudra Jaya,” ucap tumenggung Ganda Wirya yang menguasai perbatasan selatan. Mahapatih Nirmala mengusap jenggotnya yang mulai memutih.

“Sejak dulu Kawi Mandala benar-benar ingin menaklukkan Samudra Jaya,”

“Lalu apa yang harus kita lakukan gusti patih?” tanya tumenggung Kertanaya.

“Perketat penjagaan setiap perbatasan pilih prajurit khusus untuk menjaga perbatasan,” jawab patih Nirmala.

“Sendika dawuh gusti patih,”

“Tapi sebaiknya kita juga jangan lengah dengan keadaan dalam istana patih Nirmala Wisesa, semalam Aruna dan prajuritnya menangkap dua orang penyusup tapi saat mereka diintrogasi justru salah satunya bunuh diri dengan racun,” kata putri Dyah. Suasana balairung seketika menjadi hening. Para tumenggung dan adipati saling pandang, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja terucap dari bibir Putri Dyah Anindya. Dua penyusup yang berhasil masuk ke jantung istana bukan perkara kecil. Itu sama artinya ada pihak yang sedang menguji kelemahan Samudra Jaya dari dalam.

“Dua… penyusup?” suara Tumenggung Wiranata tercekat. Guratan kaget jelas terlihat di wajahnya. Namun anehnya, hanya sesaat kemudian raut itu kembali datar, seolah ia berusaha menguasai diri. Tangannya yang tadi mengepal pelan-pelan dilemaskan di atas lutut. Mahapatih Nirmala Wisesa menoleh tajam, matanya yang tua namun penuh kewaspadaan seakan menyapu wajah Wiranata sebelum kembali menatap ke arah Putri Dyah.

“Apakah paduka putri mengetahui siapa mereka?” tanyanya dengan suara berat.

Putri Dyah menggeleng pelan. “Salah satunya sempat diperiksa, namun sebelum membuka mulut ia lebih memilih meneguk racun yang tersimpan di mulutnya. Yang seorang lagi… masih ditahan di sel bawah tanah. Namun keadaannya pun tidak jauh berbeda, tubuhnya lemah seakan sudah lama dilatih untuk menahan rasa sakit.” Bisik-bisik mulai terdengar di antara barisan tumenggung. Sebagian menunduk, sebagian lain saling beradu pandang dengan tatapan cemas.

“Ini jelas bukan penyusup biasa,” sahut Tumenggung Wirabrata, yang sejak awal terkenal berhati-hati dalam menimbang keadaan. “Jika mereka sudah dipersiapkan hingga sejauh itu, berarti ada kekuatan besar yang menggerakkan.”

“Apakah mungkin ini ulah orang Kawi Mandala?” tukas Tumenggung Ganda Wirya, nadanya penuh curiga. “Mereka memang terkenal licik, tak hanya menyerang dari luar tapi juga menyusup dari dalam.” Namun sebelum suasana rapat semakin panas, Mahapatih Nirmala mengangkat tangannya. “Tenanglah. Jangan terburu-buru menuduh. Samudra Jaya dikelilingi banyak musuh, tapi juga ada tangan-tangan dalam istana yang mungkin rela menjual kehormatan demi ambisinya sendiri.” Ucapan itu membuat beberapa wajah mendadak tegang. Seperti panah yang dilepaskan tanpa arah, tapi jelas mengenai hati masing-masing. Putri Dyah menunduk, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu betul siapa yang dimaksud Mahapatih—bahwa intrik dalam istana tak kalah berbahaya dibanding ancaman dari luar. Tumenggung Wiranata akhirnya angkat bicara. Suaranya tenang, nyaris terlalu tenang dibandingkan wajah-wajah resah di sekelilingnya.

“Kalaupun benar ada penyusup, berarti penjagaan kita masih lemah. Bukankah itu tanggung jawab para panglima penjaga istana? Kita tidak bisa serta-merta mengaitkannya dengan kerajaan lain tanpa bukti.” Ucapannya seolah masuk akal, namun Mahapatih Nirmala menatapnya dengan sorot penuh tanda tanya. “Wiranata, kau benar. Kita butuh bukti. Tapi aku heran… mengapa suaramu terdengar lebih menenangkan ketimbang gusar? Bukankah kau yang pertama kali berseru kaget tadi?” Balairung kembali hening. Tumenggung Wiranata hanya tersenyum tipis, seperti seseorang yang sudah menyiapkan jawaban jauh sebelum pertanyaan datang.

“Karena saya percaya, gusti patih, tidak ada rahasia yang bisa bertahan lama di istana ini. Jika memang ada pengkhianat, cepat atau lambat kita akan menemukan jejaknya.” Tumenggung Wirabrata mendengus lirih, seolah tak puas dengan jawaban itu. Ia melirik sekilas ke arah Putri Dyah, lalu kembali menunduk.

Putri Dyah Anindya sendiri merasa dadanya sesak. Ia tahu betapa berbahayanya permainan kata dalam rapat seperti ini. Satu kalimat bisa menjadi senjata, satu tatapan bisa mengundang darah. Namun ia tak bisa diam.

“Dengan segala hormat, para tumenggung, kejadian ini tidak boleh dianggap remeh. Jika semalam Aruna dan prajuritnya tidak cepat bertindak, mungkin penyusup itu sudah menancapkan pisaunya entah kepada siapa. Saya mohon, untuk sementara waktu, perketat pengawasan di seluruh sudut istana. Jangan hanya di gerbang atau balairung. Bahkan lorong dan taman pun harus dijaga.”

Mahapatih Nirmala mengangguk. “Benar kata paduka putri. Aruna dan prajuritnya telah berjasa besar. Untuk itu, mulai malam ini, penjagaan dalam istana akan digandakan. Aku akan mengatur pembagian pasukan.” Beberapa tumenggung mengangguk setuju, meski ada pula yang wajahnya tampak berat hati. Di tengah riuh rendah suara persetujuan itu, Putri Dyah sempat menangkap sekilas wajah Tumenggung Wiranata yang tetap datar, nyaris tanpa ekspresi. Sesuatu di dalam dirinya berbisik, ada yang tidak beres dengan sikap pria itu. Namun ia memilih menyimpannya dalam hati.

“Baiklah,” ucap Mahapatih Nirmala akhirnya menutup rapat. “Kita berjaga menghadapi serangan dari luar, tapi jangan lupa, musuh yang paling berbahaya bisa saja sedang duduk di samping kita. Waspadalah, para tumenggung.” Suasana balairung pun berakhir dengan hawa tegang yang menggantung. Tak ada yang benar-benar lega, seolah masing-masing membawa pulang rahasia yang tak ingin diungkapkan.

1
Yuuko Ichihara
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
kokichi.oma.panta
Wuihh! Simpel tapi menghibur banget ni novel.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!