Aurelia Valenza, pewaris tunggal keluarga kaya raya yang hidupnya selalu dipenuhi kemewahan dan sorotan publik. Di balik wajah cantik dan senyuman anggunnya, ia menyimpan sifat dingin dan kejam, tak segan menghancurkan siapa pun yang berani menghalangi jalannya.
Sementara itu, Leonardo Alvarone, mafia berdarah dingin yang namanya ditakuti di seluruh dunia. Setiap langkahnya dipenuhi darah dan rahasia kelam, menjadikannya pria yang tak bisa disentuh oleh hukum maupun musuh-musuhnya.
Takdir mempertemukan mereka lewat sebuah perjodohan yang diatur kakek mereka demi menyatukan dua dinasti besar. Namun, apa jadinya ketika seorang wanita kejam harus berdampingan dengan pria yang lebih kejam darinya? Apakah pernikahan ini akan menciptakan kerajaan yang tak terkalahkan, atau justru menyalakan bara perang yang membakar hati mereka sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naelong, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diikuti
Pagi itu sinar matahari menembus jendela kaca besar di ruang makan keluarga Alvarone. Aroma kopi hangat dan roti panggang memenuhi udara. Aurel duduk di kursi panjang berbalut beludru, menunduk sejenak sambil merapikan sendok dan garpunya. Hatinya berdebar, ada sesuatu yang harus ia sampaikan hari ini. Sejak beberapa hari lalu, pikirannya dipenuhi kabar dari kakeknya yang kini tak lagi tinggal bersama Alessandro, melainkan kembali ke rumah besarnya yang megah di pinggiran kota.
“Mommy…” suara Aurel terdengar pelan, nyaris bergetar.
Mommy Leo, wanita anggun dengan rambut hitam tergerai, menoleh lembut. “Ya, sayang? Ada apa?”
Aurel menghela napas, lalu memberanikan diri. “Aurel ingin izin… pulang sebentar ke rumah kakek. Kakek memanggil Aurel untuk datang hari ini.”
Seketika, suasana meja sarapan yang tadinya tenang mendadak berubah. Daddy Leo yang sedang membaca koran, menurunkannya perlahan. Tatapannya menembus, penuh wibawa dan sedikit dingin.
“Pulang?” ulang Daddy Leo, suaranya berat.
“Iya, Daddy…” Aurel berusaha tenang. “Kakek ingin bertemu. Katanya ada hal penting.”
Mommy Leo tersenyum tipis, meski ada keraguan di matanya. “Kalau begitu, Leo, temani Aurel ke rumah kakeknya.”
Leonardo yang sejak tadi duduk bersandar dengan malas, menatap Aurel dengan mata setengah sayu. Jemarinya mengetuk pelan meja kayu, menunjukkan rasa enggan. “Mom, aku ada urusan penting hari ini. Tidak bisa.”
Mommy Leo langsung memelototinya. “Leo, itu tidak sopan! Aurel pergi ke rumah kakeknya, seharusnya kau menemani. Dia itu calon istrimu!”
Leo mendengus kecil, lalu mengibaskan tangannya seolah malas menanggapi. “Aku bilang ada urusan, Mom. Jangan paksakan.”
Aurel menatap Mommy Leo dengan senyum kecil, berusaha menenangkan keadaan. “Tidak apa-apa, Mommy. Aurel bisa pergi ditemani bodyguard saja. Daddy… Mommy… percayalah, Aurel bisa menjaga diri.”
“Yakin, Aurel?” Mommy Leo masih ragu.
“Iya, Mommy. Daddy.” Aurel menunduk hormat. Kata-kata itu terasa asing di bibirnya, awalnya Aurel memanggil Mommy Leo dengan sebutan tante. Namun, Mommy Leo melarangnya. “Kamu Akan menikah dengan Leonardo, jadi panggil aku Mommy. Dan panggil daddy leo dengan sebutan Daddy.”
Sejak itu, meski terasa canggung, Aurel mencoba menuruti.
Daddy Leo menatapnya lama, matanya tajam, tapi tidak berkata apa-apa. Hanya satu tarikan napas dalam terdengar. Sementara Leonardo meliriknya sekilas, senyumnya sinis, lalu kembali menunduk menatap layar ponselnya. Malas, dingin, seakan kehadiran Aurel hanya gangguan dalam hari-harinya.
Setelah sarapan yang penuh ketegangan itu selesai, Aurel bersiap berangkat. Mobil hitam mewah dengan kaca gelap sudah menunggu di halaman. Beberapa bodyguard berdiri berjajar, siap mengawal.
“Kalau ada apa-apa, langsung telepon Mommy,” pesan Mommy Leo sambil meraih tangan Aurel.
“Iya, Mommy. Terima kasih.” Aurel mencium tangan wanita itu, lalu menatap sekilas ke arah Leonardo. Tatapan itu tak mendapat balasan, hanya wajah malas yang tetap sama.
Dalam hati Aurel bergumam lirih: Kenapa aku harus menikah dengan pria seperti dia?
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Mobil melaju tenang melewati jalanan kota. Aurel duduk di kursi belakang, menatap keluar jendela. Pohon-pohon dan gedung-gedung berlalu cepat, tapi hatinya tetap gelisah. Ia tidak tahu apa yang ingin kakeknya bicarakan, tapi firasatnya mengatakan hal itu penting.
Tiba-tiba, Aurel merasakan sesuatu. Ada mobil hitam di belakang yang sejak tadi tidak berhenti mengikuti. Ia menajamkan pandangannya. “Pak supir,” panggilnya.
“Ya, Nona?”
“Ada yang mengikuti kita dari tadi?”
Supir itu sempat melirik spion tengah, wajahnya berubah sedikit tegang. “Sepertinya ada, Nona.”
Aurel menggigit bibir. “Cepat! Percepat mobilnya. Jangan biarkan mereka mendekat.”
Bodyguard yang duduk di samping supir langsung waspada. Ia meraih senjata kecil di balik jasnya. “Baik, Nona.”
Mobil pun melaju lebih kencang, membelok tajam melewati jalan alternatif. Jalanan mulai sepi, mereka mengambil jalur pintas menuju wilayah yang jarang dilewati. Mobil hitam di belakang berusaha mengejar, tapi perlahan jaraknya semakin jauh.
“Terus! Jangan biarkan mereka melihat kita,” ucap Aurel panik.
Akhirnya, setelah beberapa menit yang menegangkan, mobil pengejar itu menghilang dari pandangan. Aurel menghela napas lega, tubuhnya masih tegang.
“Sepertinya kita berhasil, Nona. Mereka kehilangan jejak,” kata bodyguard di depan.
Aurel menutup matanya sejenak, berusaha menenangkan diri. Tapi ia tidak tahu, orang yang tadi mengikuti bukanlah musuh, melainkan seseorang yang selama ini selalu dekat dengan Leonardo.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di tempat lain, di dalam mobil hitam yang kini berhenti di pinggir jalan, Enzo memukul setir dengan kesal.
“Sial!” umpatnya. “Aku kehilangan jejak…”
Ia meremas rambutnya dengan frustrasi. Enzo, asisten pribadi sekaligus tangan kanan Leonardo, mendapat perintah langsung dari tuannya: mengawasi setiap gerak-gerik Aurel.
“Ternyata perempuan itu lebih pintar dari yang aku kira,” gumamnya sambil menyalakan rokok. Asap putih mengepul, menambah aura gelap wajahnya. “Tapi aku tidak boleh gagal. Kalau Don Leonardo tahu aku kehilangan jejak, bisa-bisa kepalaku yang jadi taruhannya.”
Enzo memutar kunci, menyalakan mesin lagi. “Baiklah, Aurel. Kau memang bisa menghindar sekali. Tapi bukan berarti kau bisa lari selamanya…”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Beberapa saat kemudian, mobil Aurel tiba di kediaman megah kakeknya. Rumah itu berdiri anggun dengan pilar-pilar besar, halaman luas, dan taman bunga yang terawat indah. Berbeda dengan rumah Leonardo yang kaku penuh penjagaan, rumah kakek Aurel memancarkan kehangatan klasik yang penuh nostalgia.
Begitu turun dari mobil, Aurel langsung disambut beberapa pelayan tua yang sudah mengenalnya sejak kecil.
“Nona Aurel, akhirnya Anda datang.”
Aurel tersenyum tipis, mencoba menghapus kegelisahan tadi. “Kakek di dalam?”
“Iya, Nona. Beliau sudah menunggu di ruang kerja.”
Aurel berjalan masuk dengan langkah mantap. Di ruang kerja yang dipenuhi rak buku tua, kakeknya duduk di kursi besar berbalut kulit cokelat. Rambutnya memutih, wajahnya berkerut, tapi matanya masih tajam penuh wibawa.
“Aurel…” suara kakek itu dalam, hangat, sekaligus tegas.
Aurel segera menghampiri, menunduk mencium tangannya. “Kakek…”
Senyum kecil muncul di wajah sang kakek. “Akhirnya kau datang. Ada banyak hal yang harus kita bicarakan.”