Orang bilang Abel yang jatuh cinta duluan dengan gombalan-gombalan itu, tapi Abi juga tahu kalau yang rela melakukan apa saja demi membuat Abel senang itu Laksa.
.
Berawal dari gombalan-gombalan asbun yang dilontarkan Abel, Laksa jadi sedikit tertarik kepadanya. Tapi anehnya, giliran dikejar balik kok Abel malah kabur-kaburan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanadoongies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9
“Tangannya kenapa tuh?”
Mitha menyapa dari samping dengan selang taman yang kini dalam posisi menyala. Sama seperti dugaan, Laksa hanya menjawab seadanya. Tipikal Laksa sekali.
“Push-up.”
“Push-up?” Mitha sampai melepas selang saking tidak percaya. “Push-up atau habis berantem?”
“Kalau habis berantem, yang bonyok bukan Cuma tangannya doang, Nda.”
“Oh, bener juga.” Karena masih penasaran, dia mengekori putra tunggalnya sampai ke dalam rumah. Sesekali masih mencoba memindai, siapa tahu ada luka yang tidak disadarinya. “Push-up gaya apa sampai bikin tangannya luka kayak gitu?”
“Kepal tangan.”
“Kepal tangan? Emang lagi training buat masuk militer?”
“Biar keren.”
“Yang bener ah, Dek. Sini biar bunda cek dulu, nanti lukanya malah dalam lagi.”
“Besok juga sembuh.”
Alih-alih langsung percaya, Mitha malah mengartikannya dengan maksud lain. “Yang ngobatin kakak pendampingmu itu sampai bunda nggak boleh lihat?”
“Kata siapa?”
“Lah, itu mau dilihat aja malah nggak boleh.” Mitha menyenggol-nyenggol dengan ekspresi menggoda. “Beneran diobatin sama kakak pendampingmu, ya? Cieeee~ bentar lagi ada yang pulang sambil ngajak cewek nih.”
“Jangan bikin gosip deh, Nda.”
“Uluh-uluh, telinganya langsung merah.”
“Bundaaaaa~”
“Yang penting anaknya baik, bunda pasti suka kok. Kalau udah jedar-jeder, langsung ajak ke rumah, ya. Bunda sama ayah juga pengen kenalan sama kakak pendampingmu yang baik hati itu."
Laksa diam-diam mendengus. Ia pikir ejekan tentang si kakak pendamping akan usai dengan cepat, tahu-tahu malah semakin ke mana-mana saja.
“Risol mayonya diterima nggak?”
“Hmm.”
“Dia bilang apa? Suka nggak sama risol mayo buatan bunda? Atau dia punya saran lain kayak rasanya terlalu keasinan atau hambar gitu?”
“Nggak tahu.”
“Aih, main rahasia-rahasiaan segala. Lain kali, mau titip camilan lagi ah. Siapa tahu hatinya bisa langsung kecantol lewat masakan bunda. Abel Kalula, ya, namanya? Namanya cantik, pasti orangnya jauh lebih cantik.”
“Tau-tauan aja namanya Abel Kalula.”
“Tau dong! Kan, mamanya Abi cerita sama bunda. Katanya, Abel juga sering godain adek kalau lagi di sekolah, ya?”
“Nda, udah ah!”
“Cieee ada yang malu-malu sampai nggak berani lihat bunda. Deg-degan, ya, Dek?”
“Mana ada? Bunda aja yang suka bikin skenario sendiri.”
“Masa sih? Kalau nggak deg-degan kok telinganya sampai merah kayak gitu?”
Laksa hanya berharap, semoga ribuan alien tiba-tiba menginvasi bumi dan memusnahkannya dari peradaban manusia. Semoga. Semoga Tuhan mendengar baik doa-doanya.
Selepas membereskan kekacauan kamar, Laksa duduk termenung di pinggiran kasur. Lantas, bayangan akan senyum manis Abel atau caranya menepuk puncak kepala, mulai terputar non-stop seolah tumbuh kaset rusak di sana.
Oh, sial! Harus banget Laksa salah tingkah sampai tersenyum seperti orang gila?
Ting!
Gugus Harimau (Abel Kalula)
Selamat malam anak-anak gugus Harimauku. MPLS berhasil kita laksanakan dengan keren nih. Gue sebagai kakak pendamping, mau bilang makasih karena kalian udah mau kooperatif selama tiga hari ke belakang. Gue mau minta maaf juga apabila banyak kata dan perbuatan yang kurang berkenan di hati kalian. Meskipun hubungan anak gugus-kakak pendamping berakhir sampai di sini, tapi jangan pura-pura nggak kenal kalau papasan sama gue ke depannya. Awas loh! Btw, besok bakal ada demonstrasi ekstrakurikuler nih. Bagi kalian yang udah ngincer ekskul tertentu, boleh banget langsung hubungi PJ buat daftar. Kontaknya gue cantumin di bawah, ya. Trims.
Laksa tanpa sadar mulai mendengus lagi. “Nggak ketemu, nggak lewat hape, ujung-ujungnya tetap bawel juga.”
“Dek, makan dulu. Masakannya udah siap tuh. Beres-beresnya dilanjut nanti aja,” teriak Mitha dari arah dapur.
“Iyaaaa.”
Ting!
Satu pesan baru muncul lagi.
Gugus Harimau (Abel Kalula)
Yang baca lewat bar notif doang, gue do’ain pantatnya kelap-kelip.
Laksa kontan merotasikan bola mata. Karena malas mengetik, dia kirimkan pesan suara. Isinya : BAWEEEEL!
Setelahnya, muncul belasan pesan—atau mungkin puluhan— seolah-olah Laksa baru saja melakukan kesalahan besar. Tapi alih-alih kembali menyimak, ia justru membiarkan pesan-pesan itu mulai menumpuk. Persetan dengan ocehan Abel, makan sampai kenyang itu harga mati.
“Udah selesai beres-beresnya?”
“Udah.”
“Besok mau dibawain bekel apa, Dek? Biar sekalian bunda siapin bahan-bahannya dari sekarang,” tanya Mitha. Ia memindahkan ikan goreng ke atas piring dengan sambal tomat di sisi yang lain.
“Nggak usah. Masih demo ekskul.”
“Oh, ya? Adek mau ambil ekskul apa?”
“Basket sama archery mungkin.”
“Yang ada Abelnya, ekskul yang mana?”
“Mulai deh.” Mitha malah tertawa. Karena Shaka masih business trip, ia jadi semakin suka menggoda putranya. “Bunda tuh kalau nggak bahas-bahas Abel, kurang puas, ya?”
“Ya, siapa tau udah saling nanya mau ambil ekskul apa. Ngobrol-ngobrol santai, ‘kan, nggak ada salahnya, Dek.”
“Nggak penasaran juga.”
“Abel cantik, ya? Kalau disandingin sama adek kayaknya cuma sebatas lengan, soalnya kelihatan kecil kalau ada di foto.”
“Tau dari mana?”
“Bunda minta fotonya ke Abi. Adek sih nggak mau kasih lihat ke bunda, jadinya harus ngerepotin Abi segala.”
“Nda, jangan ngajak mamanya Abi bahas Abel terus deh. Nanti dikiranya Laksa suka sama dia.”
“Emang nggak suka?”
“Nggak.”
“Tapi anaknya kelihatan baik dan ceria, Dek. Nggak mau coba kenalan dulu apa?”
Laksa menggeleng yakin. Gara-gara sibuk bermain ponsel, notif grup sampai tak sengaja terbuka. Kalau itu voice note dari orang lain, mungkin Laksa tidak akan kelabakan, tapi masalahnya, voice note yang terputar itu berasal dari seseorang yang ingin dihindarinya.
“Gonta-ganti kurikulum, bikin siswa menderita. Udah makan belum, wahai Megantara Laksa?”
“Kalau nggak ngatain gue bawel, tandanya lagi makan.”
“Met mam, anak gugus sleepcall-able-kuuuuh.”
Laksa membeku, Mitha semakin senyam-senyum saja.
“Cieee~ adeeek.”
Ya, Tuhan! Kenapa tidak datangkan alien sekarang saja?
***
Gara-gara insiden kemarin, beberapa siswa jadi lebih memperhatikan Laksa. Kadang sengaja menatapnya secara terang-terangan, kadang malah berbisik-bisik seolah dia baru saja melakukan kesalahan besar.
“LAKSA!”
Dia menoleh, lalu menemukan Abi dengan sekotak jus mangga kemasan kotak.
“Nggak usah senyam-senyum. Gue tau lo mau ngomong apa.”
“Apaan? Orang gue mau nanya lo mau ambil ekskul apa.”
“Yang nggak perlu ngoceh.”
“Basket?” Abi tiba-tiba merangkul pundak Laksa.
“Kalau kita ambil basket, yang bakal jadi seniornya itu Bian. Mau lo saingan sama dia?”
“Nggak ngaruh.”
“Bagus! Gue juga nggak kepikiran ambil ekskul lain.”
“Terus buat apa lo ngomong kayak gitu?”
“Kasih tau doang sih, siapa tau lo penasaran.”
Laksa mendengus. Abi dengan segala kehebohannya memang selalu merepotkan. Lalu entah kenapa, Laksa justru merasa kalau Abi semakin sama persis dengan Abel.
“Nah, ini nih yang kita tunggu-tunggu!” Clarista mencegat keduanya sembari menyilangkan tangan. “Udah gue bilangin agak pagian berangkatnya malah mepet bel masuk. Kalian sengaja banget ngetes kesabaran gue, ya?”
“Widih, santai dong, Bos. Masih pagi udah mau nelen orang aja. Ada apa nih rame-rame? Lagi konsol buat tawuran kah?”
“Voting buat milih ketua!”
“Golput! Golput!”
“Nggak. Nggak. Nggak. Enak aja mau golput. Nggak mencerminkan anak bangsa yang punya hak buat bersuara aja lo. Pilih salah satu tuh, namanya udah gue tulis di papan tulis.”
Abi membaca nama kandidat satu persatu, sampai akhirnya saling pandang dengan Laksa dan memberikan jawaban yang sama.
“Dwiki. Dwiki.”
“Lo juga, Lak?”
“Hm.”
“Dih, nggak mau beda pendapat banget.” Clarista berbalik sembari mengibaskan rambutnya. “Dwiki tambah dua suara.”
“Kok ketuanya bukan lo aja sih, Cla?”