Fatharani Hasya Athalia, atau biasa disapa Hasya oleh teman-temannya itu harus terjebak dengan seorang pria di sebuah lift Mall yang tiba-tiba mati.
Hasya yang terlalu panik, mencari perlindungan dan dengan beraninya dia memeluk pria tersebut.
Namun, tanpa diketahuinya, ternyata pria tersebut adalah seorang CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Hasya sendiri bekerja subagai Office Girl di perusahaan tersebut.
Pada suatu hari, Hasya tidak sengaja melihat nenek tua yang dijambret oleh pemotor saat dirinya akan pergi bekerja. Karena dari perangai dan sifatnya itu, nenek tua tersebut menyukai Hasya sampai meminta Hasya untuk selalu datang ke rumahnya saat weekend tiba.
Dari sanalah, nenek tua tersebut ingin menjodohkan cucu laki-lakinya dengan Hasya.
Akankah Hasya menerima pinangan itu? Sedangkan, cucu dari nenek tua tersebut sedang menjalin kasih bahkan sebentar lagi mereka akan bertunangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Bara berjalan tergesa-gesa menyusuri koridor hotel, mencari di mana kamar yang dipesan oleh Belinda. Sampai akhirnya ia sampai di kamar yang sama dengan kamar yang Belinda catat.
"Ini dia.." Bara mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu. Namun, tangannya itu terhenti saat mendengar suara yang tidak asing dari dalam.
"Besok lo minta uang lagi sama Bara, malam minggu nanti kita have fun ke tempat biasa." ucap seorang laki-laki.
"Beres, Bara itu mau aja gue bod0hi, haha." perempuan itu terdengar menyahuti.
Hati Bara mendidih mendengar percakapan itu. Kemudian ia mengeluarkan ponselnya untuk merekam. "Sialan! Bisa ke record gak, ya." wajah Bara terlihat memerah mendengar setiap percakapan orang tersebut.
"Iya, dong. Untuk apa pacaran lama, tapi gak pernah sentuh-sentuhan, minimal pelukan. Dia sok alim banget. Mening sama gue, minta lebih juga gue kasih."
"Thank you, darling. Gue puas bareng lo."
"Gue siap memuaskan lo, Baby. Muach!" kecupan itu terdengar menjijikan di telinga Bara. Ingin sekali dia segera pergi dari sana, tapi Bara ingin mencari bukti lain.
"Tambah lagi minumnya, biar lebih fun." pinta perempuannya.
"Oke, baby."
Ting
Suara gelas itu terdengar beradu.
"Kita mulai, Baby. gue udah gak tahan ingin bersatu."
Tidak terdengar suara apa pun lagi sekitar beberapa detik. Tapi tidak lama kemudian suara itu terdengar lagi dan membuat Bara benar-benar ingin muntah.
Bara mengepalkan tangannya. "Ternyata selama ini , lo bermain dibelakang gue?!" Bara menggertakkan giginya. Matanya memerah menahan marah.
"Mungkin Bara itu bukan sekedar sok suci, tapi dia impoten, gak tertarik sama cewek." telinga Bara terasa panas mendengarnya. Ingin sekali dia mendobrak pintu kamarnya, tapi dia ingin tahu apa lagi yang akan mereka bicarakan.
"Baby... Lo pinter banget bikin gue puas."
"Emangnya lo! Kan, sudah gue bilang, lo minum ob*t kuat dulu sebelum sama gue."
"Lupa sayang, maaf. Lo nya aja yang terlalu kuat. Gue juga bisa." suara itu kembali hilang, hanya terdengar suara decapan dan deritan ranjang.
Lama-lama Bara tidak sabar juga ingin menyempurnakan bukti yang dia punya. Sebenarnya beberapa bulan ini Bara memang mencurigai sesuatu kepada Laura, tapi dia acuh mengingat dia lebih mementingkan pekerjaannya. Menurut dia, hubungannya dengan Laura baik-baik saja selama ini, karena Laura juga tidak banyak menuntut kecuali minta uang yang terus-menerus. Di tambah dia sering marah karena Bara yang tidak ingin di sentuh. Tapi itu sudah biasa dan Laura juga akan luluh lagi setelah ia mendapatkan uang dari Bara.
"Apa nenek tahu sesuatu tentang ini?" ingatan Bara berputar kepada semua peringatan yang diberikan oleh Belinda kepadanya. Selama tiga tahun ini Belinda terus-menerus mengingatkan tentang hubungannya dengan Laura. Bahkan Belinda seringkali meminta Bara memutuskan Laura. Tapi Bara bingung harus memutuskan dengan alasan apa karena hubungannya dengan Laura baik-baik saja.
Ceklek
Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka sedikit, Bara pun terlonjak dan menatap pintu itu yang tidak ada pergerakan lagi sama sekali.
"Apa ini kesempatan?" gumam Bara. Dia mencoba mengendap-ngendap. Ruangan yang hanya memakai lampu tidur itu terlihat remang-remang.
Deg
Bara benar-benar masuk ke dalam kamar itu. Dua manusia itu sedang bergulat panas di atas ranjang. Dia mengenali kedua orang itu. Bara hanya geleng-geleng kepala. Tangannya mengepal kuat.
"Sayang... Keluarkan sekarang..."
Prok prok prok
Dengan sengaja Bara bertepuk tangan di waktu yang tepat, kemudian dia mencari saklar lampu untuk menghidupkan lampu kamar tersebut. Kedua sejoli itu terlihat kaget, Laura yang sedang berada di atas laki-laki itu langsung menjatuhkan dirinya ke samping laki-lakinya yang tak lain Ervan, sahabatnya saat kuliah.
"Ba-bar... I-ini!" Ervan terlihat gugup. Dia bahkan dalam keadaan telanj*ng. Bara mengangkat tangannya sambil memalingkan wajahnya. Tidak sudi melihat mereka dalam keadaan polos.
"Baby... I-ini tidak seperti yang kamu lihat..." Laura berbicara sambil menutup tubuhnya memakai selimut. Dia baru tersadar kalau dirinya sedang tanpa sehelai benang pun. Wajah keduanya terlihat memerah, antara malu dan menahan gejolak di dalam dirinya yang belum tersalurkan dengan penuh.
Bara menatap kedua orang itu dingin setelah keduanya menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Oke, Laura... Hubungan kita sampai di sini." Bara membalikan tubuhnya.
"Bar... Jangan gitu!" Laura tidak terima.
Bara menoleh tanpa berbalik. "Semuanya sudah terbukti, gue gak punya waktu lama. Bye!" Bara membuka pintu, tapi Laura memanggilnya lagi.
"Bara! Apa gara-gara cewek OG itu, lo memutuskan hubungan ini?"
Bara kembali berbalik, sorot matanya tajam. "Jangan pernah lo menuduh sembarangan. Jelas-jelas udah salah, masih ngeyel!" Bara segera keluar dari kamar itu.
Brak!
Dia menutup pintu dengan kencang. "Bara! Tungguin gue!" Laura berteriak kencang. Tapi Bara tidak peduli. Dia langsung pergi dari hotel itu.
***
"Sial! Apa nenek sudah tahu dari dulu kelakuan dia?" gumam Bara saat dia sudah berada di dalam mobilnya.
Tring
Baru saja ia mau melajukan mobilnya, chat masuk datang dari Belinda.
Bara melihat chat itu, "Kamu kenal mereka?"
"Mereka sahabat-sahabatku, Nek." Bara segera membalas chat dari Belinda. Sedikit heran, kenapa Belinda menanyakan sahabat-sahabatnya yang sudah lama terpisah karena pekerjaan mereka berbeda.
"Dia yang sudah memakai pacarmu lebih dari tiga tahun ini."
Deg
Bara tersentak kaget. Tiga tahun? Jadi? Bara menutup mulutnya tidak percaya. Hubungan Bara dan Laura memang terjalin baik. Keduanya sibuk bekerja. Bara baru tersadar juga, ternyata hubungan baik menurutnya itu salah.
"Mereka iri sama keberhasilan kamu, ditambah mereka juga ingin memiliki Laura. Dan Laura yang haus dengan sentuhan dan kasih sayang dia memakai kelemahan kamu yang tidak ingin di sentuh itu. Laura juga terbuai dengan iming-iming uang yang tidak seberapa dari sahabat kamu itu. Semua itu karena keluarganya juga yang ingin hidup serba mewah dan berfoya-foya. Laura dituntut menjadi tulang punggung keluarganya setelah perusahaan orang tuanya bangkrut, dan karena kehausan kasih sayang dia mau saja digilir oleh beberapa sahabat kamu."
Bara tidak menyangka dengan penjelasan Belinda. "Nenek jangan membongkar aib orang lain."
"Sayangnya nenek terlalu sayang sama kamu. Demi menjaga cucu kesayangan nenek, nenek bela-belain menyuruh tim mencari informasi tentang dia, mengikuti dia ke mana pun. Nenek cuma tidak ingin cucu nenek dimanfaatkan oleh seorang perempuan. Soal uang, tidak apa-apa. Tapi kalau soal harga diri kita harus waspada! Semuanya berawal saat nenek memergoki dia sedang bercium*n di kantor. Waktu itu, sahabat kamu habis bertemu sama kamu. Kamu bayangkan saja, sekaligus dia melay*ni dua pria, hoek!" Belinda merasa jijik juga ketika bayangannya kembali ke tiga tahun lalu saat dirinya tidak sengaja mendengar suara aneh dari toilet wanita. Tapi saat dia mau masuk, toiletnya terkunci. Setelah ia mendengarkan suara aneh mencurigakan itu ia mencari cara supaya bisa melihat apa yang sedang terjadi di dalam.
Bara kembali tertegun mendengar penjelasan Belinda. Bara menyugar rambutnya kasar. Dia tidak membalas chat dari neneknya lagi, dia akan pulang ke rumah Belinda untuk berterimakasih dan malam ini akan menginap di sana.
Bara melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, hatinya terasa hampa melihat kenyataan malam ini. Sakit, kecewa, dan shock menjadi satu. Tapi dia juga merasa beruntung mempunyai nenek yang perhatian kepadanya.
Tak perlu menunggu lama, Bara sudah sampai di rumah Belinda. Keadaan memang sepi, selain Belinda, hanya ada pekerja yang mungkin sudah istirahat di belakang.
Merasa tenggorokannya kering, Bara langsung menuju dapur untuk mengambil air dingin. Bertepatan dengan itu, Hasya yang baru saja mencuci piring bekasnya makan berbalik tanpa melihat jalan.
Bruk!
Beruntung saja, Bara menahan Hasya dengan cepat. Kalau tidak, mungkin Hasya sudah terjerembab ke lantai.
"Eh, Om!" Hasya langsung menegakan tubuhnya.
Bara tidak merespon, dia hanya menatap Hasya dengan tatapan yang sayu.
"O-om, perlu apa? Bo-boleh aku bantu?" tanya Hasya dengan gugup.
Bara menggeleng, "Tidak ada." dia langsung melepaskan Hasya, kemudian ia berjalan menuju kulkas dan mengambil air dingin di sana.
"Sa-saya duluan, Om!" Hasya segera menjauh sebelum Bara bertanya banyak hal.
Melihat Hasya keluar dari dapur, dia pun segera mengikutinya. Tapi Hasya berjalan menuju kamar tamu.
"Hasya!"
Hasya menoleh sebelum ia masuk ke kamar."Iya, Om?"
"Temani saya..."
"Dasar anak nakal!" Belinda langsung menjewer telinga Bara dan membawanya duduk di sofa.
Bersambung
tetap semangat terus thorr
tetap semangat terus thorr