Dr. Tristan Aurelio Mahesa, seorang dokter jenius sekaligus miliarder pemilik rumah sakit terbesar, dikenal dingin, tegas, dan perfeksionis. Hidupnya hanya berputar di sekitar ruang operasi, perusahaan farmasi, dan penelitian. Ia menolak kedekatan dengan wanita mana pun, bahkan sekadar teman dekat pun hampir tak ada.
Di sisi lain, ada Tiwi Putri Wiranto, gadis ceria berusia 21 tahun yang baru saja resign karena bos cabul yang mencoba melecehkannya. Walau anak tunggal dari keluarga pemilik restoran terkenal, Tiwi memilih mandiri dan bekerja keras. Tak sengaja, ia mendapat kesempatan menjadi ART untuk Tristan dengan syarat unik, ia hanya boleh bekerja siang hari, pulang sebelum Tristan tiba, dan tidak boleh menginap.
Sejak hari pertama, Tiwi meninggalkan catatan-catatan kecil untuk sang majikan, pesan singkat penuh perhatian, lucu, kadang menyindir, kadang menasehati. Tristan yang awalnya cuek mulai penasaran, bahkan diam-diam menanti setiap catatan itu. Hingga akhirnya bertemu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Malam itu, Tristan masih duduk di kursi kerjanya, map berisi sticky note terbuka. Cahaya lampu meja membuat kertas warna-warni itu tampak lebih hidup. Setiap coretan tangan Tiwi, meski sederhana, memberi kesan hangat yang tidak pernah ia temukan dalam hidupnya yang kaku.
Telepon genggamnya bergetar. Nama di layar: Mama Tina.
Tristan menghela napas pelan sebelum mengangkat. “Halo, Ma.”
“Tris, kamu masih di rumah sakit?” Suara Mama Tina terdengar hangat tapi tegas.
“Tidak. Aku di rumah.”
“Hm… akhirnya kamu pulang tepat waktu. Biasanya jam segini masih di ruang operasi,” ujar mamanya setengah menggoda. “Ada apa? Kok akhir-akhir ini Mama dengar gosip dari suster kalau dokter dingin kita mulai… senyum?”
Tristan terdiam. “Senyum… hanya profesionalitas, Ma.”
“Profesionalitas apa? Senyum ke pasien anak-anak? Senyum ke suster? Itu bukan kamu biasanya.” Nada Mama Tina terdengar jelas: penuh rasa ingin tahu.
Tristan menegakkan punggungnya. “Ma… jangan berlebihan. Aku hanya… sedang mencoba hal baru.”
Mama Tina tertawa kecil di seberang. “Hal baru itu namanya Tiwi, kan?”
Tristan terdiam cukup lama. “Ma…”
“Hahaha, jangan diam begitu. Mama kan yang minta Anggun mencarikan asisten rumah tangga untuk kamu. Jadi Mama tahu persis siapa Tiwi itu. Mama sengaja pilih dia karena energinya beda. Kamu terlalu dingin, Tris. Rumahmu juga terlalu sepi. Kamu butuh orang yang bisa bikin suasana hangat.”
Tristan mengusap wajahnya. “Dia… terlalu ribut.”
“Tapi kamu simpan sticky note tulisannya, kan?” sindir Mama Tina.
Tristan menoleh ke map yang terbuka. Hening sejenak. “Ma… jangan ikut campur terlalu jauh.”
“Baiklah, Mama berhenti menggoda. Tapi ingat, Tris. Hidupmu bukan cuma jas putih dan ruang operasi. Mama nggak mau anak satu-satunya ini jadi mesin berjalan.” Nada suara Mama Tina melembut. “Kalau Tiwi membuatmu sedikit tersenyum, itu artinya dia berharga. Jangan buru-buru menolak, ya.”
Telepon berakhir, tapi kata-kata ibunya masih bergema di kepala Tristan. Berharga. Ia menatap sticky note ungu di tangannya. Apakah benar… dia berharga?
----
Keesokan paginya, suasana di rumah keluarga Wiranto jauh lebih ramai. Tiwi sedang sibuk menggambar di sticky note, kali ini menambahkan coretan lucu: wajah dokter dengan gigi taring ala vampir.
Sahabatnya, Naya, datang berkunjung. Gadis itu lebih kalem, berkacamata, dan tipe serius, sangat kontras dengan Tiwi.
“Astaga, Wi. Kamu beneran bikin beginian setiap hari buat doktermu?” Naya memandang sticky note warna-warni itu dengan heran.
“Ya iyalah! Ini kan strategi. Biar dokter vampir itu pelan-pelan berubah jadi manusia biasa,” jawab Tiwi sambil mengunyah keripik.
Naya mendesah. “Kamu tuh unik. Orang lain kerja part time aja udah ngos-ngosan. Kamu malah kayak main game.”
“Itu karena aku enjoy, Nay. Lagian, jangan salah. Dokter itu udah mulai balas sticky note-ku, loh.”
Naya melongo. “APA? Serius?”
“Serius! Nih liat, aku fotoin kemarin.” Tiwi menunjukkan layar ponselnya dengan bangga. Foto sticky note ungu dengan tulisan Tristan terbaca jelas.
Naya menutup mulut. “Gila! Dokter sekelas dia mau bales beginian? Wi, kamu sadar nggak sih? Itu tandanya dia udah mulai terbuka.”
Tiwi nyengir, matanya berbinar. “Makanya aku harus lebih kreatif. Siapa tahu misiku makin sukses.”
“Wi, hati-hati. Jangan sampai kamu jatuh hati duluan.” Naya mengingatkan, tapi Tiwi hanya menjulurkan lidah.
“Aku kan cuma misi, Nay. Bukan misi cinta.”
Namun dalam hati, Tiwi tidak sepenuhnya yakin dengan kata-katanya sendiri.
----
Di sisi lain, rumah sakit mulai heboh dengan gosip baru. Dokter Tristan, yang biasanya kaku, kini sering terlihat menyentuh saku jasnya seolah menyimpan sesuatu. Beberapa suster berbisik bahwa itu bukan catatan medis, melainkan… sticky note.
“Eh, aku liat sendiri kemarin, ada kertas warna ungu keluar dari saku jasnya!” bisik salah satu suster.
“Ah, masa? Dokter itu kan perfeksionis. Kok bisa simpan beginian?” sahut yang lain.
“Katanya sih dari ART baru di rumahnya.”
Tristan yang lewat dengan wajah tenang seolah tidak mendengar, padahal telinganya panas. Ia tahu apa yang mereka maksud. Sticky note itu memang selalu ada di sakunya. Entah kenapa, ia tidak bisa membuangnya.
Hari itu setelah rapat, Tristan menerima telepon lagi dari Mama Tina.
“Tris, besok Mama mau mampir ke rumahmu. Ada perlu sedikit.”
Tristan mengerutkan kening. “Untuk apa?”
“Hanya ingin lihat kondisi rumah. Mama juga kangen ngobrol sama Tiwi.”
“Ma…” Tristan menahan napas. “Jangan macam-macam.”
“Hahaha, Mama nggak macam-macam kok. Mama cuma ingin berterima kasih. Karena berkat Tiwi, kamu sudah berbeda.”
Tristan menutup telepon tanpa jawaban. Kepalanya penuh dengan rasa cemas—bukan karena ibunya datang, tapi karena ia tahu Tiwi pasti akan bertingkah aneh.
----
Keesokan harinya, seperti yang dijanjikan, Mama Tina datang. Tiwi sedang sibuk menyiapkan makan siang ketika suara mobil terdengar di halaman. Ia buru-buru membuka pintu.
“Selamat siang, Tante!” sapa Tiwi dengan suara ceria.
“Tiwi sayang, apa kabar?” Mama Tina langsung memeluknya. Ia sudah akrab sejak awal merekrut Tiwi, bahkan lebih menganggapnya seperti keponakan sendiri. “Wah, makin cantik aja. Pantesan Tristan betah.”
“Eh… Tante, jangan gitu dong. Nanti aku beneran geer,” sahut Tiwi sambil nyengir.
Tristan yang baru turun dari tangga langsung mendengar itu. “Ma, jangan bicara macam-macam.”
Mama Tina hanya tersenyum, lalu menepuk lengan anaknya. “Tris, Mama lapar. Ada makan siang?”
Tiwi dengan semangat menyajikan hidangan. Meja makan terasa berbeda kali ini, ada kehangatan keluarga. Mama Tina sibuk bercerita tentang kegiatan sosialnya, Tiwi menimpali dengan candaan, dan Tristan hanya bisa diam sambil memperhatikan.
“Dokter Vampir kita makan sayur juga ternyata,” celetuk Tiwi saat melihat Tristan mengambil tumis buncis.
Tristan menoleh dingin. “Aku bukan vampir.”
“Tapi senyumnya kayak vampir di drama Korea. Dingin tapi ganteng,” balas Tiwi tanpa rasa takut.
Mama Tina tertawa terbahak. “Astaga, Tiwi. Kamu benar-benar berani. Nggak ada orang yang berani menggoda Tristan begitu.”
Tiwi mengangkat bahu. “Kalau semua orang takut, siapa yang bikin dia manusia lagi, Tante?”
Tristan terdiam. Kata-kata itu sederhana, tapi menghantam dadanya.
----
Sore harinya, setelah Mama Tina pulang, Tristan mendapati dirinya berjalan ke ruang kerja. Tiwi masih di dapur, membereskan piring. Ia menatap sticky note terbaru di kulkas:
“Target hari ini: jangan pasang wajah Dracula pas makan bareng Mama Tina. Selamat, Dok, kamu lulus!”
Tristan menempelkan tangannya di kertas itu. Bibirnya melengkung samar. “Bocah ini…”
Namun dalam hati, ia tahu, setiap hari, rumah itu makin jauh dari kata sepi.
...----------------...
Di rumah keluarga Wiranto, malam itu Tiwi kembali bercerita sambil heboh di ruang keluarga.
“Ma, Pa! Tadi Tante Tina datang loh, dan kita makan bareng bertiga. Rasanya kayak keluarga sendiri!”
Papa Tian mendengus. “Kamu jangan kebanyakan terlibat, Wi. Ingat, tugasmu hanya asisten.”
“Ya ampun, Pa. Aku kan cuma cerita. Lagian Tante Tina baik banget. Rasanya aku kayak punya mama kedua.”
Mama Rani tersenyum. “Kalau Tante Tina percaya sama kamu, artinya dia melihat sesuatu yang baik dari kamu.”
Tante Anggun menambahkan, “Siapa tahu memang ada jodoh di balik sticky note.”
“Eh, Tante! Jangan ngawur,” protes Tiwi sambil melempar bantal.
Namun di balik tawanya, wajah Tiwi memerah. Ada sesuatu di hatinya yang tidak bisa ia jelaskan.
---
Beberapa hari berlalu. Hidup Tristan dan Tiwi berjalan dengan ritme baru: sticky note, balasan singkat, dan kadang makan bersama kalau kebetulan waktu cocok. Namun yang paling mengejutkan, Tristan mulai sering pulang lebih awal. Para staf rumah sakit semakin bingung melihat perubahan drastis itu.
Suatu malam, Tristan duduk di ruang kerjanya. Ia menatap ponselnya lama. Tangannya ragu, tapi akhirnya menekan nomor Tiwi.
Telepon berdering.
“Halo?” suara Tiwi terdengar ceria.
“Ini… aku.”
“Eh? Dokter Vampir nelpon aku? Dunia mau kiamat nih?”
Tristan memejamkan mata. “Jangan panggil aku begitu.”
“Hahaha, oke oke. Jadi ada apa, Dok?”
“Aku hanya ingin… mengingatkan. Besok jangan taruh sticky note di tas kerjaku lagi.”
Tiwi terdiam sebentar, lalu meledak tertawa. “Hahaha! Jadi Dokter beneran baca itu? Aku pikir udah dibuang!”
“…Aku simpan.”
“Eh? Serius? Ya ampun, Dok, kamu makin manis aja. Hati-hati, nanti aku beneran jatuh cinta loh.”
Tristan terdiam. Kata-kata itu menusuk dadanya. Ia tahu Tiwi hanya bercanda, tapi ada getaran aneh di hatinya.
“Tidur yang cukup. Selamat malam,” ucapnya cepat, lalu menutup telepon.
Tiwi menatap ponselnya lama, lalu tersenyum kecil. “Dokter Vampir… ternyata manusia juga.”
Dan malam itu, keduanya sama-sama sulit tidur—dengan alasan yang berbeda, tapi perasaan yang sama: ada sesuatu yang sedang tumbuh, pelan tapi pasti.
Bersambung
weezzzzz lah....di jamin tambah termehek-mehek kamu....🤭
Siapa sih orang nya yang akan diam saja, jika dapat perlakuan tidak baik dari orang lain? Tentunya orang itu juga akan melakukan pembalasan balik.
Lope lope sekebon Author......🔥🔥🔥🔥🔥
Tak kan mudah kalian menumbangkan
si bar bar ART.....💪🔥🔥🔥🔥🔥