NovelToon NovelToon
Balas Dendam Istri Marquess Yang Difitnah

Balas Dendam Istri Marquess Yang Difitnah

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Anak Genius / Mengubah Takdir / Mengubah sejarah / Fantasi Wanita / Balas dendam pengganti
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: BlackMail

Dieksekusi oleh suamiku sendiri, Marquess Tyran, aku mendapat kesempatan untuk kembali ke masa lalu.

​Kali ini, aku tidak akan menjadi korban. Aku akan menghancurkan semua orang yang telah mengkhianatiku dan merebut kembali semua yang menjadi milikku.

​Di sisiku ada Duke Raymond yang tulus, namun bayangan Marquess yang kejam terus menghantuiku dengan obsesi yang tak kumengerti. Lihat saja, permainan ini sekarang menjadi milikku!

Tapi... siapa dua hantu anak kecil itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21 : Saint Jude

Terlambat.

Kata itu bergema di benakku, lebih keras dari raungan api di kejauhan, lebih dingin dari tatapan kosong para pengungsi.

Aku telah memindahkan aset, membangun posko, membantu merawat pengungsi, dan memasak sup hangat, sementara anak-anak dalam mimpiku aku biarkan terbakar.

Semua rencanaku yang cemerlang, semua strategiku yang tanpa celah, terasa seperti debu di hadapan api yang melahap Panti Asuhan Saint Jude.

Inilah perang... kacau.

Kegeniusan rencanaku berakhir di depan pintu panti asuhan yang terbakar. Sebuah kesalahan kalkulasi. Perhitungan prioritas yang gagal. Sebuah kelemahan yang tidak termaafkan. Dan sekarang, anak-anak harus membayar harganya.

Aku terlalu abai dan bersikeras meyakinkan diri bahwa itu hanya mimpi dan mimpi hanyalah mimpi.

Aku berdiri mematung di atas bukit kecil di Silverwood, menatap cakrawala yang merah darah.

Para pengungsi di sekitarku menangis dan saling berpelukan, berterima kasih padaku atas makanan dan tempat berlindung. Tapi aku tidak mendengar ucapan terima kasih mereka. Aku hanya mendengar bisikan dari mimpiku.

Jangan biarkan mereka terbakar lagi.

Itu bukan salahku dan aku tetap pada rencanaku, tapi... tetap saja.

"Nona Elira," Kapten penjagaku, Baren, mendekat. Wajahnya yang keras dipenuhi kekhawatiran. "Malam semakin larut. Anda harus beristirahat. Anda sudah melakukan lebih dari cukup."

Lebih dari cukup? Aku bahkan belum memulai apapun...

Tepat saat kehampaan yang dingin mengancam akan menelanku, seorang prajurit dari pasukan pertahanan lokal terhuyung-huyung ke arah kami.

"Pertempuran utama di dermaga sudah berakhir!" lapornya, napasnya tersengal. "Duke Muda berhasil memukul mundur kapal-kapal utama mereka! Tapi... tapi api... apinya masih menyebar di distrik timur. Masih banyak warga sipil yang terjebak di reruntuhan dekat gereja tua, pasukan utama membutuhkan sukarelawan untuk membantu!"

Gereja tua... Panti Asuhan Saint Jude terletak tepat di sebelahnya. Sebuah harapan kecil yang gila mulai menyala di dalam diriku.

Saat itu juga, bisikan-bisikan itu kembali, lebih jelas dan lebih mendesak.

"Belum... Belum terlambat..." Suara anak laki-laki itu. Tegas dan penuh harap.

"Cepat, Ma... Masih ada waktu... Tolong mereka..." Suara gadis kecil itu. Bergetar dan memohon.

Tekadku mengeras menjadi baja. "Baren," kataku. "Siapkan semua prajurit kita yang masih bugar. Bawa tali, kapak, dan semua ramuan penyembuh yang tersisa. Kita berangkat ke Pelabuhan Atika."

Wajah Baren memucat. "Nona! Itu zona perang aktif! Api, bangunan runtuh, sisa-sisa pasukan musuh... Itu misi bunuh diri! Perintah saya adalah melindungi Anda!"

Aku menatap lurus ke matanya. "Dan perintahku adalah menyelamatkan rakyatku," balasku dingin. Aku menyentuh gagang perak dari pisau belati yang diberikan Cedric, yang tergantung di ikat pinggangku.

Jangan mati...

Aku tidak akan mati.

"Siapkan timnya. Kita berangkat sekarang. Itu bukan permintaan!"

Ketegasan dalam suaraku membungkam semua protesnya. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya. "Baik, Nona Elira..."

Perjalanan dari Silverwood ke Pelabuhan Atika adalah perjalanan menuju neraka. Semakin dekat kami, semakin panas udaranya, dan semakin pekat bau asap yang memenuhi paru-paru kami. Kami harus meninggalkan kereta dan berjalan kaki, melewati jalanan yang dipenuhi puing-puing bangunan yang membara dan mayat-mayat yang hangus.

Para penjagaku yang gagah berani kini gemetar, wajah mereka ngeri melihat pemandangan di sekitar kami. Aku pun merasa takut. Tapi bisikan-bisikan di kepalaku terus menuntunku, menjadi kompas di tengah kekacauan.

"Ke kiri... jalan di kanan itu akan runtuh..."

"Hati-hati... ada patroli musuh di depan..."

"Di jalan itu ada ranjau... memutar..."

"Terus... lebih dalam..."

Aku mengikuti suara-suara itu tanpa ragu, membuat para penjagaku menatapku dengan campuran kekaguman dan ketakutan. Mereka mungkin mengira aku memiliki semacam indra keenam seorang komandan jenius. Mereka tidak tahu aku hanya mengikuti suara hantu.

Kami merayap di antara bayangan bangunan yang hangus, setiap langkah adalah permainan petak umpet dengan maut. Terdengar suara langkah tentara Thalvaria di persimpangan berikutnya, memaksa kami untuk meringkuk di balik gerobak yang terbakar, napas tertahan... kulit terbakar...

Kami tiba di distrik timur kota pelabuhan Atika. Kehancuran di sini adalah yang terparah. Gereja tua itu hanya tinggal kerangka yang menghitam. Dan di sebelahnya... reruntuhan Panti Asuhan Saint Jude.

Bangunan itu telah runtuh sebagian, api menjilat-jilat di beberapa bagian. Tampak seperti makam yang sunyi.

Lalu, kami mendengarnya. Bukan hanya tangisan anak kecil, tetapi juga suara derak yang mengerikan. Suara batu yang bergesekan, suara balok kayu yang berderit di ambang batas kekuatannya. Suara kematian yang akan datang.

"DI SANA!!" teriakku.

Kami berlari, melompati puing-puing. Suara-suara itu membawa kami ke sebuah lengkungan pintu yang setengah runtuh, yang mengarah ke aula utama panti asuhan.

Saat kami mendekat, pemandangan di dalamnya membuat kami semua membeku.

Aula itu hancur. Langit-langitnya telah runtuh di banyak tempat, dan balok-balok penopang utama retak dan akan segera patah. Tapi keruntuhan total itu tertahan.

Tertahan oleh sebuah jaring energi magis berwarna biru cemerlang. Garis-garis cahaya yang rumit dan berderak menyebar dari satu titik, menopang balok-balok yang paling rapuh, menahan ton-ton batu agar tidak menimpa lantai di bawahnya. Debu dan kerikil terus berjatuhan dari langit-langit, menandakan bahwa jaring energi itu tidak akan bertahan lama lagi.

Di pusat jaring energi itu, berdiri seorang wanita muda, mungkin seumuran denganku. Rambutnya sehitam malam dan berkilat bagai ditaburi bintang-bintang di atasnya.

Siapa dia?

Punggungnya menghadap kami. Beberapa benda yang mungkin artefak sihir — sebuah bola kristal yang berdenyut dan kubus-kubus logam berukir rune sihir — melayang di sekelilingnya, bergetar hebat seolah mencoba yang terbaik untuk memenyingkirkan puing-puing.

Keringat membasahi pelipisnya, dan seluruh tubuhnya tegang karena konsentrasi penuh. Dia adalah satu-satunya hal yang mencegah seluruh bangunan itu runtuh.

Di pusat jaring sihir, di bagian terdalam dari reruntuhan, sekelompok anak-anak yang ketakutan berkumpul, berpelukan dan menangis dalam diam.

Wanita itu menoleh sedikit, mungkin merasakan kehadiran kami. Aku melihat profil wajahnya yang tegas... dan seragamnya.

Jubah biru tua dengan sulaman perak. Lambang Akademi Trisula dari Kekaisaran Thalvaria.

Dia adalah musuh kami.

Sosok yang harus kami bunuh.

Para penjagaku langsung mengangkat pedang mereka, napas mereka tertahan karena terkejut dan marah.

"Nona, dia musuh!" kata Baren. "Beri kami perintah!"

Aku menatap pemandangan di depanku, pikiranku berpacu. Apakah dia menahan gedung ini untuk menyandera anak-anak itu? Atau... apakah dia benar-benar menahan gedung ini agar tidak menimpa mereka?

Wanita itu melirik ke arah kami, matanya melebar karena terkejut melihat prajurit Gevarran. Konsentrasinya goyah sesaat.

KRAAAKKK!!!

Salah satu balok penopang utama retak lebih parah. Jaring energinya berkedip-kedip, dan hujan puing yang lebih besar jatuh dari langit-langit. Api semakin menyebar. Anak-anak menjerit ketakutan.

"Jangan serang!" teriak wanita Thalvarian itu. Namun, perhatiannya bukan pada kami, tapi konsisten pada gedung itu sendiri. Dia mengarahkan kembali seluruh kekuatannya. "Kenapa dia lama sekali, sih! Ugh... aku tidak bisa... menahannya lebih lama lagi!" Dia menggerutu seperti remaja pada umumnya.

Saat itulah aku mengerti. Dia bukan penyebabnya. Dia adalah satu-satunya penghalang. Dia mencoba menyelamatkan anak-anak itu... dan... dia sedang menunggu rekan-rekannya.

Itu artinya pasukan musuh sedang bergerak ke tempat ini.

1
BlackMail
Makasih udah mampir.🙏
Pena Santri
up thor, seru abis👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!