Namanya Freyanashifa Arunika, gadis SMA yang cerdas namun rapuh secara emosional. Ia sering duduk di dekat jendela kafe tua, mendengarkan seorang pianis jalanan bermain sambil hujan turun. Di setiap senja yang basah, Freya akan duduk sendirian di pojok kafe, menatap ke luar jendela. Di seberang jalan, seorang pianis tua bermain di bawah payung. Jemari hujan menari di kaca, menekan window seolah ikut bermain dalam melodi.
Freya jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Shani-seseorang yang tampak dewasa, tenang, dan selalu penuh pengertian. Namun, perasaan itu tak berjalan mulus. Shani tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan mereka.
Freya mengalami momen emosional saat kembali ke kafe itu. Hujan kembali turun, dan pianis tua memainkan lagu yang pelan, seperti Chopin-sebuah lagu perpisahan yang seolah menelanjangi luka hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9 : Singgah Di Jeda
Ketika Bu Veranda menyebut nama Freya, sontak seluruh ruangan bising oleh tepuk tangan. Berbeda dengan mereka yang sudah maju lebih dulu, di sekolah itu—Freya adalah seorang bintang dalam bidang seni musik. Semua siswa dan siswi tidak pernah meragukan kemampuannya.
Freya berdiri dari kursinya. Ia menarik napas pelan dan berjalan ke depan. Langkahnya mantap tapi pelan. Tidak ada ekspresi yang ditunjukkan. Freya berdiri di depan panggung, kemudian mengambil gitar dan duduk di kursi tinggi di hadapan mikropon. Freya menarik napas lagi. Ia memejamkan mata beberapa detik, pandangannya tepat terarah pada satu mata jernih, Shani. Jari jemarinya mulai menari, memainkan petikan gitar. Freya kemudian membuka mulutnya perlahan dan mulai bernyanyi.
Bait pertama terdengar datar. Suaranya tidak kuat, tapi tidak juga gemetar. Ia menyanyikan lagu yang ia buat detik itu juga. Hanya dari menatap mata Shani.
Aku menunggu, di antara ragu dan harap~
Menebak arah matamu, tapi tak pernah paham~
Kamu dekat, tapi selalu jauh
Kamu dengar, tapi tetap bisu~
Meski tak kau pastikan arah~
Meski aku hanya singgah di jeda~
Hatiku tetap pulang padamu
Tak berubah, walau digantung waktu~
Semua murid memperhatikan. Tidak ada yang berbicara. Shani menatap Freya dengan tulus. Tapi tak satupun tau apa yang ada di dalam hatinya sekarang.
Aku bicara lewat senyum yang tak kau baca~
Menahan ribuan kata yang tak bisa tumpah~
Kau tahu aku ada, tapi tak kau genggam~
Kau tahu aku cinta, tapi tak kau jawab~
Meski tak kau pastikan arah~
Meski aku hanya singgah di jeda~
Hatiku tetap pulang padamu
Tak berubah, walau digantung waktu~
Kalau pun harus terus begini~
Aku rela... asal kamu tahu
Di antara semua kemungkinan
Masih kupilih kamu~
Meski dunia tak beri jawaban~
Meski hati ini lelah bertahan~
Tak ada yang bisa menggantikanmu
Karena cintaku... tetap kamu~
Freya menyelesaikan lagu itu dengan suara lirih. Tidak ada teknik, tidak ada nada tinggi, tidak ada cengkok. Tapi semua orang tersentuh dengan penghayatannya. Setelah selesai, Freya menunduk dan mundur ke tempat duduknya. Sekali lagi, ruangan itu penuh oleh suara bising dari tepuk tangan, saat Freya berjalan ke tempat duduknya. Mata Shani mengikuti langkah Freya sampai dia duduk kembali.
Veranda berdiri. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya berubah. Ia menatap ke arah Freya, lalu ke seluruh ruangan. "Dalam hidup ini," katanya, "ada dua jenis manusia, mereka yang bicara karena ingin didengar, dan mereka yang bicara karena tak kuat lagi memendam. Hari ini, kalian sudah menjadi manusia yang kedua, Dan itu lebih sulit."
Ia berjalan mendekat ke piano tua. Tangannya menyentuh kayu retak di sisinya. "Musik bukan tempat untuk berlindung dari kenyataan. Musik adalah tempat untuk berdamai dengan luka yang kita sembunyikan."
Ia berbalik, memandang seluruh ruangan. "Mulai hari ini, kalian bukan sekadar murid yang bisa bernyanyi atau memainkan alat musik. Kalian adalah manusia yang sedang belajar berbicara dengan jujur. Dan itu... adalah pelajaran paling penting yang bisa ibu berikan."
Veranda menutup bukunya dan meletakkannya di meja kecil di dekat panggung. "Pelajaran hari ini selesai, Kalian boleh kembali ke kelas."
Semua murid berdiri, Freya tidak langsung bangkit. Ia duduk diam beberapa detik. Azizi menyentuh lengannya. "Kantin yuk, aku lapar." Ajaknya. Freya mengangguk pelan, tapi sebelum pergi, Freya melihat Shani yang keluar dari ruangan tanpa menyapanya. Meski biasanya memang seperti itu, tapi ada perasaan sesak yang menggumpal.
...***...
"Lagu yang kamu nyanyiin tadi itu... sangat indah," puji Azizi sambil menyuapkan bulatan bakso ke mulutnya.
Freya hanya menunduk menatap mangkuk baksonya. Ia memainkan sendok itu dengan pelan, mengaduk kuah yang sudah tidak lagi hangat. Bakso-bakso itu diam saja, seperti hatinya yang sudah kehabisan semangat untuk bergerak.
"Kalau kamu lelah," lanjut Azizi pelan, "Mending tanya sekali lagi sama dia. Kalau jawabannya tetap sama, mending kamu mundur aja. Kamu mau... perasaan kamu terus digantung kayak gini?"
Freya menghela napas panjang, matanya beralih ke lorong sekolah. Di sana, Shani sedang berjalan sendirian ke arah kelas. Tidak ada sapaan, tidak ada lambaian tangan, Bahkan sekadar lirikan pun tidak. "Kadang," gumam Freya, masih menatap ke luar, "aku ngerasa... aku ini kayak buku yang dia pinjam, tapi nggak pernah dibaca. Hanya dibiarkan tergeletak, seolah keberadaanku cuma untuk memenuhi rak yang kosong."
Azizi meletakkan sendoknya, suasana jadi agak sunyi. "Kita sering berpikir kalau mencintai itu soal ditanggapi," katanya. "Padahal kadang... mencintai itu ya cuma tentang keberanian untuk merasa, tanpa pamrih. Tapi tetap saja, Freya... bahkan rasa tulus pun bisa lelah kalau terus digantung."
Freya menarik napas pelan, lalu berkata, "Aku tahu. Tapi... aku juga ngerti, hatiku ini bukan sesuatu yang bisa diatur dengan logika. Sekuat apapun aku bilang kalau aku bisa mundur, tetap aja... aku selalu balik lagi ke titik yang sama."
Azizi menatap temannya itu dengan pandangan prihatin. Ia mengangguk pelan. "Hati itu bukan tempat logika bekerja. Tapi kamu juga harus tahu... kadang bertahan bukan tanda kekuatan, tapi tanda bahwa kamu belum siap menerima kenyataan." Freya terdiam. Di kejauhan, langkah Shani sudah tak terlihat. Tapi bayangnya masih tertinggal di mata Freya.
...***...
Enam bulan berlalu, namun Freya belum mendapatkan jawaban sama sekali dari Shani. Shani tidak pernah juga mengabarinya apapun. Semuanya berlalu begitu saja. Freya tidak tau bisa menunggu sampai kapan. Mungkin benar kata Azizi, 'rasa tulus pun, bisa lelah kalau terus digantung'. Untuk hari ini Freya hanya ingin merenung di dalam kamarnya seperti saat ini. Ia merebahkan dirinya di atas ranjang, menatap langit-langit kamarnya yang bersih tanpa noda. Di luar, matahari Fajar hanya menelusup dari balik awan. Hari yang cerah tapi berawan, apa yang bisa di lakukan untuk hari ini. Azizi yang biasanya selalu datang, saat ini sedang berlibur bersama keluarganya. Azizi sempat mengajaknya, tapi Freya menolak.
Satu pesan masuk kedalam handphone-nya. Benda persegi itu berdenting di atas nakas. Freya merasa malas untuk mengambilnya, tapi rasa penasaran mengalahkan rasa malasnya. Matanya membulat sempurna, ia berbinar. Itu pesan singkat dari Shani. Mereka sempat bertukar nomor handphone sejak Freya menyatakan Perasaannya, tapi baru kali ini—dan untuk pertama kalinya, Shani menghubunginya. Meski pesan itu singkat, tapi Freya bisa menangkap isinya. Shani mengajaknya bertemu. Entah untuk apa, karena selama ini—mereka hanya hidup dalam dunia masing-masing tanpa sekalipun berkorelasi. Dengan perasaan yang masih berdebar, Freya membalas pesan tersebut dengan singkat, kemudian segera beranjak ke kamar mandi. Ia tidak ingin membuat Shani menunggu terlalu lama.