Amira, wanita cantik berumur 19 tahun itu di jodohkan dengan Rayhan yang berprofesi sebagai Dokter. Keduanya masih memiliki hubungan kekerabatan. Namun Amira dan Rayhan tidak menginginkan perjodohan ini.
Rayhan pria berumur 30 tahun itu masih belum bisa melupakan mendiang istrinya yang meninggal karena kecelakaan, juga Amira yang sudah memiliki seorang kekasih. Keduanya memiliki seseorang di dalam hati mereka sehingga berat untuk melakukan pernikahan atas dasar perjodohan ini.
Bagaimana kisah cinta mereka selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin Aprilian04, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hamil
Seorang wanita terbaring lemah di ranjang pasien. Ruangan bernuansa putih itu tiba-tiba menjadi terasa gelap saat sebuah pernyataan terdengar jelas di gendang telinga. Safira menunduk lemas, begitupun juga dengan Syaqil yang tampak semakin kecewa.
"Sepertinya dia positif hamil."
Suara perempuan mahasiswi kedokteran itu berhasil melemaskan sendi-sendi tulang Safira dan Syaqil. Keduanya merasa di sambar petir di siang bolong mendengar kenyataan yang sama sekali tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Namun perasaan laki-laki berumur 19 tahun itu tetap tak berubah. Hanya saja perasaan cintanya kini ternodai dengan rasa kecewa.
Baru kali ini ia merasakan cinta yang teramat dalam pada seorang wanita, namun semesta tak merestuinya. Kali ini ia kalah dengan perasaannya sendiri. Ia tersiksa dengan rasa cinta yang tak terbalas pada orang yang tak mungkin ia miliki.
Mengapa Tuhan? Apa ini karmaku pada setiap wanita yang selalu kumainkan perasaannya? Gumamnya dalam hati.
"Kalau boleh tahu perkiraannya berapa bulan, Kak?" tanya Safira pada Mahasiswi kedokteran itu.
"Aku gak tahu pasti, soalnya itu harus di cek secara detail. Tapi yang pasti kandungannya masih sangat muda."
Safira memejamkan matanya kecewa. Entahlah, ia tahu ini semua bukan salah Amira. Tapi entah kenapa ia sangat marah pada wanita yang pernah menjadi sahabatnya itu. Ia tak rela ketika pria yang ia kagumi ternyata menjadi suami sahabatnya sendiri.
Kenapa? Kenapa harus Amira? Kenapa bukan orang lain saja?
Pertanyaan itu terus muncul di benaknya.
Rasa cintanya terhadap Rayhan yang merupakan mantan Kakak iparnya begitu besar. Sejak dulu, ia selalu mengagumi Rayhan dan bercita-cita ingin memiliki suami seperti kakak iparnya itu. Yang lembut, penyayang, tanggung jawab, pandai mendidik dan berwibawa. Kala itu ia sama sekali tak terpikir akan mencintai Kakak iparnya sendiri. Namun setelah kepergian Khadijah, semuanya berubah. Apalagi ia mendengar sendiri bahwa sang Kakak menginginkannya menikah dengan Rayhan. Perasaan itu muncul begitu saja, berawalan dari rasa kagum menjadi rasa cinta yang teramat dalam.
Dan sekarang pupus sudah harapan itu. Pria yang di cintainya ternyata menikah dengan sahabatnya sendiri. Bahkan kini keduanya di karuniai buah hati, yang membuat Safira tak mungkin lagi untuk berharap bisa bersama dengan Rayhan.
"Lucu yaa, Fir. Gue si playboy ini jatuh cinta sama wanita mungil ini. Dia adalah wanita yang pertama kali buat gue sesayang itu sama perempuan," ujar Syaqil tertawa getir.
Safira pun menggelengkan kepalanya dengan raut wajah kecewa. "Kubur dalam-dalam perasaan mu itu, Qil. Amira gak akan mungkin menjadi milik Lo."
"Gimana caranya, Mir? Tolong gue, tiap detik otak gue selalu tentang Amira dan Amira. Gue cape, Fir. Gue pengen normal lagi kaya dulu. Gue pengen nikmatin hidup dan gak mikirin lagi cewe. Apalagi cewe itu gak bisa gue miliki."
"Caranya cuman menjauh dari nya, Qil. Awalnya pasti gak mudah, tapi lama kelamaan pasti akan terbiasa." ujar Safira menepuk pelan bahu gagah Syaqil menyemangatinya.
Lalu ia pun berlalu pergi meninggalkan ruangan yang menjadi klinik kampus itu.
"Gue duluan!" ujarnya pelan.
Sedangkan Syaqil kini masih menatap wanita yang di cintainya itu yang kini masih terbaring lemah belum sadarkan diri. "Mir gue sayang banget sama Lo. Gue gak tahu kapan gue bisa bener-bener lupain Lo."
Rasanya Syaqil ingin menggenggam tangan mungil itu. Namun ia menghargai Amira yang selalu menjaga jarak dan tak pernah tersentuh oleh yang laki-laki yang bukan mukhrimnya. Meski Amira tak akan mengetahuinya, tapi tetap saja ia tak tega untuk berbuat tak layak pada wanita yang di cintainya.
***
Sementara itu, Rayhan kini tengah berada di ruang periksa yang penuh dengan keheningan. Hanya detak mesin EKG yang terdengar. Rayhan menatap layar monitor di samping ranjang periksa. Dengan penuh konsentrasi Rayhan memeriksa pasien wanita berumur 45 tahunan yang kini tampak pucat dan lemah.
"Gimana keadaan saya, dok? Apa saya mengidap penyakit yang cukup serius?
"Jantungnya lemah, Bu. Tapi Alhamdulillah nya masih belum parah. Insyaallah ini belum termasuk penyakit jantung, hanya saja ini sudah gejala. Ibu harus hati-hati dan tidak boleh terlalu lelah. Di usahakan makan makanan yang sehat."
"Tapi gapapa kan, dok?"
Rayhan menggeleng seraya mengulas senyuman. "Insyaallah gapapa, asal pola hidupnya di perbaiki, Bu. Hindari makanan yang berkolestrol tinggi, perbanyak sayuran dan buah-buahan."
"Terus apa lagi, dok?"
"Perbanyak olahraga, seperti jalan santai atau yoga. Tapi hindari aktivitas berat yang memicu sesak atau nyeri dada."
Pasien berjilbab hitam itu mengangguk. "Makasih banyak, dok."
"Sama-sama, semoga cepat sembuh yaa." ujar Rayhan ramah.
Setelahnya ia menatap kepergian Ibu berkepala empat itu. Lalu ia pun menatap layar handphonenya yang sejak tadi bergetar tak bisa ia angkat. Di lihatnya nama istrinya itu disana. Dengan cepat ia pun mengangkatnya.
"Assalamualaikum, Mas."
Terdengar suara Amira begitu lemas. Rayhan pun mengerutkan keningnya merasa heran.
"Iya apa, sayaang?"
"Bisa jemput aku gak?"
"Bisa banget, tapi itu kenapa kamu kaya lemes gitu?"
"Aku gak enak badan, Mas. Jemput sekarang juga yaa."
"Ok, sayang. Mas langsung kesana yaa."
"Iyaa, Mas."
Dengan cepat Rayhan memberitahukan kepada Dokter Izza untuk menggantikannya terlebih dahulu ketika ia berada di luar. Untungnya pria yang menjadi temannya itu menyanggupi sehingga ia bisa menjemput Amira dengan tenang.
Mobil berwarna putih itu membelah jalanan kota Bandung. Ada beberapa stopan sehingga menghambat waktunya untuk segera sampai di tempat tujuan. Hingga setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, Rayhan akhirnya sampai tepat di depan kampus Amira.
Matanya menatap Amira yang kini tengah memakai sweater berwarna pink muda dengan di temani oleh Raziq. Keduanya terlihat tengah menunggu di salah satu tempat makan di depan kampus.
Dengan cepat Rayhan keluar dari mobilnya lalu berjalan menghampiri Amira. Terlihat Raziq yang tersenyum ramah menyambutnya. Dan wajah Amira yang nampak pucat terlihat mengkhawatirkan.
"Eh ada Pak Dokter jemput istrinya," ujar Raziq dengan gayanya yang cengengesan.
"Iya, nih." Rayhan tersenyum dengan gayanya yang cool. "Kamu kenapa, sayang? Kok pucat gitu mukanya?" tanyanya khawatir.
Amira menggeleng pelan. "Amira gak kenapa-napa, Mas. Cuman pusing dikit aja."
"Istrinya tadi pingsan di kantin, Pak Dokter."
Rayhan membulatkan matanya terkejut. Dengan cepat ia duduk di sebelah Amira menggenggam tangan wanita itu dengan perasaan khawatir.
"Kenapa kamu gak bilang? Ayo kita pulang, terus istirahat." ujar Rayhan panik.
"Tenang, Mas. Amira udah gapapa kok. Tadi cuman pusing, sekarang Alhamdulillah udah ngga. Cuman lemes aja." Amira menunduk dalam.
"Ya Allah.... " Rayhan menatap Amira khawatir.
"Tenang gak usah khawatir, Pak Dokter. Istri anda cuman lagi hamil aja." tutur Raziq.
"Apa?" Suara Rayhan begitu menggelegar, sehingga membuat orang di sekitaran sana menatap ke arahnya.