NovelToon NovelToon
"Blade Of Ashenlight"

"Blade Of Ashenlight"

Status: sedang berlangsung
Genre:Dunia Lain
Popularitas:524
Nilai: 5
Nama Author: stells

Di tanah Averland, sebuah kerajaan tua yang digerogoti perang saudara, legenda kuno tentang Blade of Ashenlight kembali mengguncang dunia. Pedang itu diyakini ditempa dari api bintang dan hanya bisa diangkat oleh mereka yang berani menanggung beban kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon stells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tangan Yang Terikat

Fajar merayap perlahan ke kota bawah, tapi sinar matahari hampir tidak menembus kabut yang terus bergelayut. Bau asap kebakaran dari malam sebelumnya masih menusuk hidung. Reruntuhan kayu, batu hangus, dan genangan darah jadi saksi bisu bahwa malam itu bukan sekadar gangguan kecil—itu awal dari sesuatu yang lebih besar.

Edrick berdiri di ambang gudang tua tempat mereka bermalam. Tangannya masih terasa berat setelah mengendalikan Ashenlight semalam. Pedang itu kini tenang di sarungnya, tapi denyut samar tetap terasa, seakan mengingatkan bahwa ia tidak pernah benar-benar sendiri.

Di belakangnya, Selene sedang membalut luka di lengan Lyra. Darius duduk menyandar ke tong kosong, matanya terpejam tapi telinganya waspada.

“Kau tidak tidur sama sekali?” tanya Selene, tanpa menoleh.

Edrick hanya menggeleng. “Orang-orang melihatku lebih buruk daripada bayangan. Mereka tidak akan mendengarku lagi.”

Darius membuka mata, suaranya berat. “Mereka tidak pernah mendengarkan. Rakyat bawah hanya tahu dua hal: lapar dan takut. Kau bisa beri mereka makanan, mereka mengikutimu. Kau beri mereka alasan takut, mereka lari.”

“Jadi apa yang harus kulakukan?” desis Edrick. “Aku tak bisa memberi makanan. Aku bahkan tak bisa memberi keamanan tanpa membakar setengah kota.”

Darius bangkit, menatapnya lurus. “Kalau begitu, kau harus belajar memberi sesuatu yang lebih sulit: harapan.”

---

Pagi itu, mereka berjalan ke pasar bawah. Bukan untuk membeli, karena mereka hampir tidak punya uang, melainkan untuk mendengar.

Pasar dipenuhi orang: pedagang kain usang, penjual roti keras, pengemis yang duduk di tanah. Semua berbicara, tapi bukan tentang harga atau dagangan. Mereka berbicara tentang malam sebelumnya.

“Api biru… kau lihat? Hampir membakar rumahku!”

“Tapi ia juga membunuh bayangan. Tanpa dia, kita sudah mati.”

“Pahlawan apa yang membakar anak-anak? Itu bukan pahlawan, itu kutukan!”

Bisikan itu tajam, menusuk telinga Edrick. Ia berjalan dengan tudung menutupi wajah, tapi setiap kata terasa seperti tombak menancap di dadanya.

Lyra menunduk, wajahnya memerah. “Mereka tidak tahu… mereka hanya takut.”

Selene menepuk bahu gadis itu, tapi matanya tetap awas. “Takut mudah dijadikan senjata. Bangsawan tahu itu. Kita harus hati-hati.”

---

Mereka berhenti di sebuah lapangan kecil, tempat air mancur tua yang sudah lama kering. Di sana, kerumunan orang berkumpul. Seorang pria berdiri di atas peti, berteriak lantang.

“Kalian lihat apa yang terjadi tadi malam? Bayangan datang, tapi apa yang membakar rumah kita? Bukan mereka! Itu pedang terkutuk, itu obor biru! Anak Hale membawa malapetaka!”

Kerumunan bersorak setuju. Sebagian meludah ke tanah, sebagian mengangkat tinju.

Edrick mengepalkan tangan. Selene menahannya agar tidak maju. “Jangan. Kalau kau muncul sekarang, mereka akan merajammu di tempat.”

Tapi suara lain tiba-tiba terdengar, lemah tapi berani. Lyra, berdiri di pinggir kerumunan, wajahnya pucat tapi matanya menyala.

“Itu tidak benar! Kalau bukan karena pedang itu, kita semua sudah jadi abu dalam kabut! Aku ada di sana, aku melihatnya!”

Kerumunan terdiam sejenak. Pria di atas peti menatap Lyra tajam. “Dan siapa kau, gadis kotor? Hanya pengemis! Kau pikir kami akan percaya kata-katamu lebih dari mata kami sendiri?”

Sorak-sorai kembali pecah, lebih keras. Lyra terhuyung, tapi ia tetap menatap balik, berusaha menahan tangis.

---

Edrick sudah tidak tahan. Ia maju, menurunkan tudungnya, memperlihatkan wajahnya. Kerumunan langsung bergemuruh. Ada yang mundur ketakutan, ada yang maju dengan marah.

“Aku tidak datang untuk melawan kalian,” kata Edrick, suaranya tegas tapi bergetar. “Aku hanya ingin melawan bayangan. Kalau pedangku melukai kalian, itu salahku. Tapi tanpa pedang ini, tidak akan ada satu pun dari kita yang tersisa.”

Kerumunan tidak luluh. Seorang wanita berteriak, “Kau pikir kata-kata bisa mengembalikan anakku yang terbakar?!”

Seorang lelaki lain melempar batu kecil ke arahnya. Batu itu mengenai bahunya, tapi Edrick tidak bergerak.

Darius menggeram rendah, siap maju, tapi Edrick menahan tangannya. Ia menatap rakyat itu, satu per satu, menelan semua kebencian mereka.

“Aku tidak bisa mengembalikan yang hilang. Tapi aku bisa berjanji satu hal: aku akan berdiri di depan kalian setiap kali bayangan datang. Aku akan terbakar lebih dulu, sebelum kalian terbakar lagi.”

---

Kerumunan hening. Kata-katanya menggantung di udara.

Lalu seorang anak kecil maju dari kerumunan. Tubuhnya kurus, bajunya robek. Ia menatap Edrick dengan mata besar penuh rasa ingin tahu.

“Kalau kau berdiri di depan kami… apakah itu berarti aku bisa tidur tanpa takut malam ini?”

Edrick berlutut, menatap anak itu dengan mata berkaca. “Ya. Kalau aku masih berdiri, kau boleh tidur dengan tenang.”

Anak itu tersenyum kecil, lalu kembali ke ibunya. Wanita itu menatap Edrick lama, matanya masih merah karena duka, tapi ia tidak melempar batu lagi.

Kerumunan mulai berbisik. Tidak semua percaya, tapi percikan kecil sudah menyala.

---

Ketika mereka meninggalkan lapangan, Lyra berjalan di samping Edrick. “Kau berani sekali menghadap mereka begitu.”

Edrick menghela napas. “Aku tidak berani. Aku hanya tidak punya pilihan. Kalau aku lari, mereka akan semakin yakin aku kutukan.”

Darius menepuk bahunya. “Itu langkah pertama. Harapan tidak tumbuh dari kemenangan besar. Ia tumbuh dari kata-kata sederhana yang diingat orang kecil. Kau baru saja menanam benih. Sekarang, lihat apakah ia bisa tumbuh sebelum para bangsawan menginjaknya.”

Selene menatap langit, di mana kabut mulai kembali menebal meski matahari baru meninggi. “Kita tidak punya banyak waktu. Bayangan tidak akan menunggu. Dan bangsawan… mereka akan memastikan rakyat tetap takut sebelum benih itu sempat tumbuh.”

---

Malamnya, di menara emas istana, Lady Corvane menerima kabar dari mata-matanya.

“Anak Hale muncul di pasar. Ia bicara pada rakyat. Sebagian mulai mendengarkan.”

Corvane tersenyum tipis, menyisip anggur merah. “Bagus. Biarkan ia bicara. Semakin ia berbicara, semakin mudah kita menuduhnya memprovokasi pemberontakan. Dan ketika waktunya tepat, kita akan menunjukkan pada rakyat bahwa api biru bukan hanya kutukan… tapi pengkhianatan.”

Di tangannya, rantai emas berkilau di bawah cahaya lilin. Rantai itu bukan untuk dirinya, melainkan untuk siapa pun yang berani percaya bahwa mereka bisa bebas.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!