Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 - Ditinggal
Mobil Samudra melaju pelan di jalanan yang mulai sepi karena sudah malam. Lampu-lampu jalanan menerangi interior mobil dengan cahaya kuning yang redup. Samudra mengemudi dengan fokus ke depan, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun, datar, dingin, seperti sedang mengemudi sendirian.
Di kursi penumpang, Luna duduk dengan postur kaku, tangan terkepal di atas pangkuan, rahang mengeras menahan amarah yang sudah menumpuk sejak di rumah orangtua Samudra. Makeupnya sudah tidak sempurna lagi, ada bekas air mata yang sudah diusap berkali-kali, mascara sedikit luntur di ujung mata, dan lipstick sudah pudar. Penampilan yang sangat kontras dengan ketika mereka berangkat beberapa jam yang lalu.
Keheningan di dalam mobil terasa sangat mencekam. Tidak ada musik, tidak ada percakapan, hanya suara mesin mobil yang berdengung pelan dan sesekali suara kendaraan lain yang lewat.
Samudra memutar kemudi dengan gerakan yang halus, pikirannya melayang pada percakapan yang terjadi dengan Arya, sepupu seusianya yang sudah menikah lima tahun dan punya dua anak.
***
Flashback Satu jam yang lalu...
Samudra berdiri di balkon lantai dua rumah orangtuanya, menghirup udara malam yang sejuk sambil menatap lampu-lampu kota Jakarta di kejauhan. Di tangannya, segelas whisky yang sudah setengah habis,cara dia melarikan diri dari tekanan gathering yang melelahkan.
"Lagi nyendiri aja?" suara Arya membuat Samudra menoleh. Sepupunya itu melangkah keluar ke balkon dengan segelas wine di tangan.
"Butuh refreshing," jawab Samudra sambil menyeruput whisky-nya.
Arya berdiri di samping Samudra, ikut menatap pemandangan kota. "Tadi di bawah rame banget ya. Para tante lagi ngerjain Luna."
"Aku dengar," jawab Samudra datar.
"Kamu kok diem aja? Biasanya kamu langsung bela dia."
Samudra tertawa pahit. "Untuk apa? Toh dia yang tidak mau punya anak."
Arya menoleh ke arah Samudra dengan mata yang sedikit terkejut. "Jadi... bener? Luna yang nggak mau hamil?"
"Iya," jawab Samudra sambil menghabiskan whisky-nya dalam satu tegukan. "Dia bilang takut tubuhnya rusak. Dia lebih pentingin penampilan daripada kasih aku keturunan."
Arya terdiam beberapa saat, mencerna informasi yang baru saja didengarnya. "Ren, kamu sudah tiga tahun menikah. Itu waktu yang cukup lama untuk bertahan dalam pernikahan yang nggak bahagia."
"Aku tahu," jawab Samudra sambil menatap gelas kosong di tangannya.
"Kamu udah pernah pikir untuk... nikah lagi?" tanya Arya dengan hati-hati.
Samudra menoleh ke arah sepupunya dengan tatapan yang terkejut. "Nikah lagi?"
"Iya, poligami," kata Arya sambil menyeruput wine-nya. "Aku tau di keluarga kita ada tradisi nggak boleh cerai. Tapi poligami diizinkan kan? Apalagi kalau ada alasan kuat kayak istri nggak mau punya anak."
"Kamu serius?" tanya Samudra sambil menatap Arya dengan intens.
"Serius," jawab Arya. "Kamu anak tunggal, Ren. Om dan Tante butuh cucu. Keluarga butuh pewaris. Kalau Luna nggak mau kasih, cari yang mau. Toh di agama kita diizinkan sampai empat istri."
Samudra terdiam, pikirannya langsung melayang pada Senja. Gadis yang mencintainya dengan tulus, yang merawatnya dengan penuh perhatian, yang selalu ada untuknya di saat-saat tersulit.
"Tapi..." Samudra menghela napas panjang, "gimana kalau calon istri kedua nggak mau? Jadi istri kedua itu berat. Dia harus berbagi, harus terima status yang tidak sempurna."
"Kalau dia bener-bener cinta sama kamu," kata Arya sambil menepuk bahu Samudra, "dia akan terima. Apalagi kalau kamu janjiin untuk ceraiin Luna secepatnya. Toh istri kedua bisa jadi istri pertama kalau istri pertama dicerai."
Samudra menatap sepupunya dengan tatapan yang penuh pemikiran. "Aku nggak pernah kepikiran sampai situ."
"Pikirin deh," saran Arya. "Kamu masih muda, Ren. Kamu masih punya banyak waktu untuk punya anak dan bangun keluarga yang bahagia. Jangan sia-siain hidup kamu cuma gara-gara bertahan sama orang yang salah."
***
Samudra tersadar dari lamunannya ketika lampu merah menyala. Mobilnya berhenti di persimpangan yang cukup ramai. Pikirannya masih berkecamuk dengan saran Arya.
Poligami. Menikahi Senja secara resmi meski masih terikat dengan Luna.
Tapi apakah Senja mau? Apakah gadis yang dicintainya itu rela jadi istri kedua? Berbagi status dengan Luna yang bahkan tidak layak jadi istri pertama?
"Mungkin... mungkin dia akan mengerti," gumam Samudra sangat pelan, hampir tidak terdengar.
"Apa?" tanya Luna dengan nada yang tajam, keluar dari keheningan yang sudah berlangsung sejak mereka masuk mobil.
"Tidak ada," jawab Samudra tanpa menoleh.
Lampu hijau menyala dan mobil melaju lagi. Tapi keheningan itu tidak bertahan lama. Luna yang sudah menahan amarah sejak tadi akhirnya meledak.
"Kamu menyebalkan sekali tahu nggak sih!" bentaknya dengan suara yang keras, membuat Samudra sedikit terkejut.
"Kenapa sekarang?" tanya Samudra dengan nada yang tetap datar.
"Kenapa?" Luna tertawa histeris. "Kamu tanya kenapa? Tadi di rumah orangtua kamu, aku dipermalukan habis-habisan! Aku dibilang mandul, dibilang tidak layak jadi istri, dihina di depan semua orang! Dan kamu? Kamu cuma diam aja! Bahkan nggak mau liat ke arah aku!"
"Dan aku harus gimana?" tanya Samudra dengan nada yang mulai naik. "Bohongin keluarga kalau kamu bukan yang nggak mau punya anak?"
"Kamu harusnya bela aku!" teriak Luna. "Kamu harusnya pasang badan untuk istri kamu sendiri!"
"Untuk apa?" Samudra menatap Luna sekilas dengan mata yang dingin. "Supaya aku jadi pembohong di depan keluarga sendiri? Supaya mereka pikir aku yang bermasalah, padahal yang sebenarnya adalah kamu yang egois?"
"EGOIS!" Luna menjerit dengan suara yang sangat keras. "Kamu bilang aku egois!"
"Iya, egois!" jawab Samudra dengan suara yang semakin keras, emosinya mulai meluap setelah bertahun-tahun menahan. "Kamu pikir cuma kamu yang punya perasaan? Kamu pikir aku nggak menderita? Aku mau punya anak, Luna! Aku mau punya keluarga! Tapi kamu cuma mementingin diri sendiri!"
"Kalau kamu mau anak, nikah aja sama orang lain!" bentak Luna dengan suara penuh amarah. "Jangan maksa aku!"
"MUNGKIN AKU AKAN LAKUKAN ITU!" teriak Samudra, suaranya menggelegar di dalam mobil.
Luna terdiam, menatap Samudra dengan mata yang membelalak. "Apa maksud kamu?"
"Maksud aku," kata Samudra dengan nada yang sangat dingin, "mungkin aku akan cari wanita lain yang mau kasih aku keturunan. Wanita yang nggak egois kayak kamu."
"Kamu... kamu selingkuh?" bisik Luna, suaranya bergetar antara shock dan marah.
"Belum," jawab Samudra dengan jujur yang brutal. "Tapi aku mulai berpikir untuk itu."
Luna menatap suaminya dengan mata yang penuh air mata, tapi bukan air mata kesedihan,air mata kemarahan yang sangat mendalam.
"BERHENTI!" teriaknya sambil memukul dashboard dengan keras. "BERHENTI MOBILNYA SEKARANG!"
"Luna..."
"AKU BILANG BERHENTI!" Luna sudah histeris, tangannya mencoba membuka pintu meski mobil masih melaju.
Samudra dengan cepat menepi ke bahu jalan, menghentikan mobil dengan agak mendadak. Mereka berhenti di jalan protokol yang cukup ramai, dengan kendaraan-kendaraan lain yang lewat dengan kecepatan tinggi.
"Turunin aku!" perintah Luna sambil melepas seatbelt-nya.
"Luna, kita di tengah jalan," kata Samudra dengan nada yang mulai lelah. "Kita pulang dulu, nanti bicara di rumah.."
"AKU NGGAK MAU SATU MOBIL SAMA KAMU!" teriak Luna. "TURUNIN AKU SEKARANG!"
Samudra menatap istrinya yang sudah histeris. Biasanya, di saat-saat seperti ini, dia akan mengalah. Dia akan membujuk Luna dengan lembut, meminta maaf meski bukan salahnya, memeluk istrinya yang menangis, dan membawa pulang dengan aman.
Tapi kali ini...
Kali ini dia lelah. Lelah dengan drama yang sama berulang-ulang. Lelah dengan sikap Luna yang selalu menyalahkan orang lain. Lelah dengan pernikahan yang sudah tidak ada artinya lagi.
"Baiklah," katanya dengan nada yang sangat tenang. "Kalau itu yang kamu mau."
Luna terdiam sejenak, tidak percaya dengan yang baru didengarnya. Dia pikir Samudra akan membujuknya seperti biasa. Tapi pria itu malah... setuju?
"Turun," kata Samudra sambil membuka kunci pintu otomatis.
"Kamu... kamu serius?" tanya Luna dengan suara yang mulai ragu.
"Sangat serius," jawab Samudra tanpa menoleh. "Kamu bilang mau turun, aku turunin. Aku nggak mau dipaksa dengerin teriakan kamu sepanjang jalan."
Luna menatap Samudra dengan mata yang penuh tidak percaya. Suaminya yang biasanya selalu menurut, yang selalu membujuk, yang selalu mengalah, sekarang dengan dinginnya menyuruh dia turun di tengah jalan.
"Samudra..." Luna mencoba berbicara dengan nada yang lebih lembut.
"Turun," ulang Samudra, kali ini dengan nada yang lebih keras. "Atau aku yang pergi ninggalin kamu di sini."
Dengan tangan yang gemetar karena marah dan shock, Luna membuka pintu dan turun dari mobil. Angin malam yang cukup kencang langsung menerpa tubuhnya yang hanya memakai dress tipis tanpa cardigan.
"Samudra!" panggilnya ketika sudah berdiri di trotoar. "Kamu benar-benar mau ninggalin aku di sini?"
Samudra menatap Luna untuk terakhir kali melalui jendela mobil yang terbuka. Tatapannya kosong, tidak ada lagi cinta, tidak ada lagi kasihan, hanya kekosongan dan kelelahan yang mendalam.
"Pulang pakai taksi online," katanya dengan datar. "Aku transfer uang ke rekening kamu."
"SAMUDRA!" teriak Luna dengan suara yang desperate ketika melihat Samudra menarik jendela mobilnya naik.
Tapi Samudra tidak peduli lagi. Dia menyalakan mesin, melihat spion, dan melaju meninggalkan Luna yang masih berdiri di trotoar dengan mata yang membelalak tidak percaya.
Luna menatap lampu belakang mobil Samudra yang semakin menjauh, lalu menghilang di kelokan jalan. Kakinya lemas, dan dia terduduk di trotoar yang kotor, tidak peduli lagi dengan dress mahal yang dipakainya.
"Dia... dia beneran ninggalin aku," bisiknya sambil menatap kosong ke arah jalan yang ramai. Kendaraan-kendaraan lewat dengan kecepatan tinggi, tidak ada yang peduli dengan wanita yang duduk sendirian di trotoar.
Air mata mulai mengalir, kali ini bukan karena marah, tapi karena shock dan sedikit... takut. Untuk pertama kalinya, Luna menyadari bahwa Samudra sudah benar-benar berubah. Pria yang selalu dia kontrol, yang selalu dia manipulasi, yang selalu menurut pada kemauannya, sudah tidak ada lagi.
Sementara itu, di dalam mobil yang melaju menuju rumah, Samudra merasakan perasaan yang aneh—campuran antara lega dan bersalah. Lega karena akhirnya dia bisa melepaskan kemarahan yang selama ini ditahan. Bersalah karena... well, dia memang meninggalkan istrinya di tengah jalan.
Tapi rasa bersalah itu tidak bertahan lama. Pikirannya kembali pada Senja, gadis yang menunggunya di rumah dengan makan malam yang sudah disiapkan, dengan senyuman tulus yang selalu membuatnya merasa dihargai.
Dan pikiran tentang saran Arya kembali muncul. Poligami. Menikahi Senja secara resmi meski masih terikat dengan Luna.
"Apa dia akan mau?" gumamnya sambil menatap jalanan yang gelap di depan. "Apa Senja akan mau jadi istri kedua?"
Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya sepanjang perjalanan pulang. Dan entah kenapa, di sudut hatinya yang paling dalam, dia merasa bahwa Senja mungkin akan menerima apapun status yang ditawarkan, asalkan mereka bisa bersama secara resmi.
Senyum tipis tersungging di bibirnya. Kali ini, dalam tiga tahun pernikahan, dia merasa ada harapan untuk kebahagiaan yang sesungguhnya.