Beberapa orang terkesan kejam, hanya karena tak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Kata-kata mengalir begitu saja tanpa mengenal perasaan, entah akan menjadi melati yang mewangi atau belati yang membuat luka abadi.
Akibat dari lidah yang tak bertulang itulah, kehidupan seorang gadis berubah. Setidaknya hanya di sekolah, di luar rumah, karena di hatinya, dia masih memiliki sosok untuk 'pulang' dan berkeluh kesah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulbin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8. Bertemu masa lalu
Di suatu kesempatan, Aksara kembali mendekati Nayna yang tengah duduk seorang diri di taman sekolah. Terlihat gadis itu sibuk dengan barisan kata dalam novel di tangan, sementara di sampingnya, tergeletak segelas minuman dingin dan sebungkus makanan ringan.
Aksara berjalan mendekat. Pelan tapi pasti, langkahnya mantap dengan senyuman manis yang terlukis.
Hanya beberapa langkah lagi, pemuda itu tiba-tiba menghentikan niatnya. Kaki bagai tertancap di tanah, dan senyum indah yang dia ciptakan, perlahan memudar.
Di depan sana, dia menatap dua orang tengah bercakap-cakap dan ... dengan mata kepalanya sendiri, dia melihat gadis itu tersenyum. Senyum yang bertahun lamanya tak pernah dia dapatkan lagi, semenjak hari itu.
Aksara masih bergeming di tempatnya, menunggu Nayna kembali sendiri, dan berniat untuk menyampaikan semua yang sudah dipersiapkan selama ini.
Tak lama kemudian, harapannya terkabul. Nayna kembali fokus dalam alur cerita dalam novel, setelah sempat menghabiskan minumannya. Aksara menghirup napas dalam, lalu melangkah pelan, mendekati gadis yang sukses bersarang dalam pikirannya -belakangan ini.
"Nay, ini buat kamu."
Nayna mendongak, dan Aksara dapat melihat jelas perubahan air muka itu. Di mana bibir yang sempat tersenyum beberapa saat lalu, kini mengatup rapat dengan manik hitam yang beralih entah ke mana, tak lagi menatap dirinya yang berdiri tepat di hadapan.
Tangannya masih terulur dengan sebotol air mineral yang belum juga mendapat respons dari Nayna.
Sementara gadis itu memilih menutup novel, membenahi barang-barangnya dan berlalu pergi, tanpa sepatah kata pun. Meninggalkan Aksara yang masih berdiri mematung, menanti momen untuk dapat berbincang.
Sabar, Nay. Kamu nggak boleh lemah di depannya. Ingat semua perlakuan dia yang sudah membuat goresan di masa lalumu!
Nayna masuk ke kelas, duduk sendiri dengan batin yang terus berisik.
Sementara di taman, Aksara juga duduk seorang diri menatap sekeliling.
Untung aja nggak ada yang lihat.
Dia bersyukur karena letak taman yang sedikit berada di sudut sekolah, membuatnya tak terlalu ramai oleh lalu lalang orang di sana.
Namun, dia salah besar. Karena kejadian itu ditangkap jelas oleh sepasang mata lentik, yang tersenyum setelah menyimpan kembali ponsel di sakunya.
*
"Nay, aku sama kamu ya," ucap Tania setelah selesai menyalin tugas di bukunya.
"Oke, tapi bukannya nanti dipilih guru?" Nayna menatap temannya. Dia sendiri berharap dapat bersama Tania, karena entah mengapa, meski sudah berlalu beberapa waktu, tapi Nayna masih merasa belum sepenuhnya bisa beradaptasi dengan teman-teman sekelas.
"Nanti lama-lama juga bisa, Nak. Mungkin kan karena perbedaan pergaulan di tempat lamamu dan di sini. Asalkan Anak Ayah nggak boleh minder, kamu tetap hebat dan pantas bersinar! Ingat itu."
Kata-kata sang ayah kembali hadir di telinganya, membuat Nayna tersenyum kecil.
"Ih, malah senyum-senyum. Mikirin siapa? Aksara ya? Apa Sandy?" Tania terkekeh, lalu keduanya terdiam saat sebuah penghapus papan tulis mendarat di meja mereka.
Bu Mia menatap lurus dengan kedua bola mata yang membulat, sedangkan dari bibirnya mengalir seribu satu omelan khas seorang guru yang kesal karena anak didiknya selalu berisik di kelas.
"Siapa nama kalian?" Suara itu terdengar bagai petir di siang bolong. Dengan tergagap, keduanya menjawab bergantian.
"Kalian dipisah! Sebentar ... "
"Baik, Nayna kerjakan dengan Aksara dan Tania kerjakan bareng Sandy! Nggak boleh protes! Kalian bisanya berisik terus setiap pelajaran saya." Bu Mia menutup buku di hadapannya, lalu kembali menjelaskan materi.
Tania menatap tak percaya, "aku sama Sandy? Ya Allah, mimpi apa semalem? Liat mukanya aja ogah!"
Nayna hanya diam, namun hatinya berkecamuk. Antara bahagia dan luka lama saling beradu di dalam sana. Dia membenci laki-laki itu, namun di lubuk hati terdalam, masih ada rasa cinta yang tersisa, meski sekedar serpihan di sudut ruang.
Di mejanya, Aksara diam-diam menatap Nayna, bibirnya tersenyum kecil. Namun berbeda dengan Sandy yang duduk berseberangan dengan Aksara. Tatapannya tajam, menusuk pada wajah siswa yang terlihat mengulum senyum simpul di sampingnya.
Lo pikir, Nayna masih mau sama lo? Cih, cowok gila. Egois!
Sandy mencebik dengan wajah kesal. Namun, lagi-lagi sebuah penghapus papan tulis melayang dan mendarat mulus tepat di depan wajahnya.
"Sandy! Kamu ngejek saya? Kualat kamu ya, berani sama guru! Sini, maju!"
Sandy tergagap mendengar suara yang semakin mendekat. Dia menoleh, tersenyum simpul dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bu Mia berdiri dengan wajah memerah dan dalam pandangan Sandy, ada asap yang keluar dari kedua lubang hidung gurunya itu.
Sandy hanya mengangguk tanpa membantah sedikit pun. Setidaknya itu yang terlihat, sedangkan batinnya terus menjawab perkataan sang guru dengan kata-kata yang membuat bibirnya tiba-tiba tersenyum lebar.
"SANDY! ikut saya ke BK!"
Bu Mia menjepit telinga Sandy dan membawanya keluar kelas yang bertepatan dengan bel istirahat.
Sementara dari kelas sebelah, Melda keluar bersama geng-nya menuju kantin. Langkahnya mantap, khas dengan lenggak lenggok yang membuat beberapa orang kesal dan tentu saja, muak. Termasuk Aksara.
"Hai Aksa, sendirian aja? Aku duduk sini ya."
Melda memberi kode pada 'anak buahnya' untuk pergi menjauh. Dengan wajah sumringah, gadis itu mendaratkan tubuhnya di kursi sebelah Aksara, di mana beberapa mata mulai menatapnya jengah.
Tanpa berkata apa-apa, Aksara bangkit dan beranjak pergi. Meninggalkan Melda yang menatapnya dengan wajah kesal bercampur malu.
"Huu, makanya jangan sok kecakepan."
"Genit amat."
"Ulet bulu."
"Mana mau cowok Kulkas sama cewek modelan gitu."
"Cakep juga nggak, eh, gaya selangit," sambung yang lain.
Suara-suara di kantin semakin terdengar bagai kerumunan lebah. Membuat Melda tertunduk malu, meninggalkan teman-temannya yang berlarian mengejar.
Gue akan balas semuanya!
Ak-sa-ra, lo bakal tunduk sama gue. Tunggu tanggal mainnya.
Melda menyeringai menatap kelas di sebelah sebelum masuk ke kelasnya sendiri.
**
Di kediamannya, Siti dan Rahmat tengah kedatangan tamu. Mereka bercakap-cakap dan sesekali saling melempar candaan untuk mencairkan suasana.
"Anakku juga sekolah di sana, Mat. Kelas XI juga, aku lupa XI apa. Haha, maklumlah, aku banyak di luar rumah dari pada menemaninya belajar. Kapan-kapan aku bawa dia ke sini, biar kalian saling kenal. Aku yakin, kalau kita sama-sama ketemu di jalan sama mereka, pasti nggak kenal satu sama lain, ya nggak, Ti?" ucap seorang pria berkemeja biru dengan bagian lengan yang digulung hingga siku.
Siti mengangguk, lalu menyalakan kipas angin yang dia ambil dari ruang tengah.
"Maaf ya, rumah kami adanya ini,"
"AC-nya belum dipasang, masih dipabrik," sambung Rahmat sambil tertawa. Suasana cukup hangat, obrolan mereka juga semakin seru, terlebih saat kedua pria itu mengenang masa lalu.
"Kuharap, anak kita nggak ikutan badung seperti Bapaknya ya, Mat. Biar ngikut pinter sama rajin aja kayak Emaknya." Si tamu berkelakar, sementara Rahmat cepat menimpali, "asal nggak ngikut galaknya aja, kayak Kak Ros." Matanya melirik Siti yang mulai mengepalkan tangan.
"Betul, betul, betul. Kak Ros tak boleh marah," ucap si tamu yang paham melihat perubahan suasana setelah melihat Siti.
Terdengar salam dari beranda, tak lama kemudian, wajah Nayna muncul di ambang pintu. Melihat ada tamu, gadis itu sedikit membungkuk, lalu beringsut menghampiri ayah ibunya.
"Anakmu, Mat? Puji Tuhan, cantik sekali dia, beda sama Bapaknya. Ini beneran anakmu, Ti. Cantiknya kayak kamu lho," ujarnya sambil mengulurkan tangan saat Nayna bersiap menyalami dirinya.
"Ini Om Waluyo, Nak. Teman lama Ayah sama Ibu. Eh iya, ini mantan pacar Ibumu juga." Rahmat tertawa saat Siti mengusir Nayna dengan lirikan mata tajamnya.
"Cie, ketemu mantan, cie." Rahmat kembali menggoda Siti yang kini semakin merah kedua pipinya.
"Udahlah, Mat. Dia cukup jadi masa laluku, dan tentunya cukup jadi masa depanmu juga," pungkasnya sambil meraih cangkir teh, lalu menyesapnya perlahan.
***