"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Pinangan
PONDOK PESANTREN AL AQSHA
Beberapa bulan setelah kecelakaan
Meski belum sepenuhnya pulih, Kanya mulai menata ulang hidupnya.
Ia tetap mengenakan cadar.
Bukan untuk menyembunyikan diri—tapi karena itu bagian dari jati dirinya.
Pilihan yang ia genggam erat, bahkan ketika dunia mencoba menghapus siapa dirinya.
Di pondok pesantren itu, ia tinggal di bilik kecil dekat dapur.
Umi Farida, istri Kyai, memberinya izin menetap.
Kanya membalas kebaikan itu dengan sepenuh hati.
Pagi hari, ia mengajar anak-anak mengaji.
Suaranya lembut, tapi tegas.
Siang, ia membantu di dapur—memasak dengan gerakan cekatan, meski langkahnya pincang.
SUATU MALAM DI KAMAR SANTRIWATI
Angin malam menyusup lewat jendela kecil.
Lampu belajar temaram menyinari meja kayu yang berjejal buku agama dan pola-pola jahit.
Sebuah laptop pinjaman menyala.
Layar biru menampilkan kolom login email.
Kanya menarik napas panjang.
Jari-jarinya menari pelan di atas keyboard, mencoba satu kombinasi kata yang samar—sebuah alamat email yang hampir ia lupakan.
Klik.
Masuk.
Matanya membulat perlahan.
Ratusan pesan tak terbaca. Folder-folder lama. Nama-nama yang familiar—seolah waktu beberapa bulan terakhir ditumpuk begitu saja di balik layar.
Ia mengklik tab "Dokumen"—folder hasil upload dari masa lalu.
KTP. Ijazah. Kartu Keluarga. Akta Lahir.
Semuanya tersimpan rapi.
“Saat menikah dengan Kian, aku baru tujuh belas tahun. Tapi Ayah sudah mengurus KTP-ku sebelum lulus sekolah. Mungkin karena beliau tahu… akan tiba hari di mana aku harus mengurus semuanya sendiri.”
Ia menutup folder itu.
Lalu... menggulir kolom "Pesan Masuk".
Matanya terhenti pada satu nama pengirim yang membuat jantungnya tercekat.
📩 Dari: ayah.hasan@email.com
Subjek: Surat Perjanjian Pranikah - Hasan & Kian.pdf
Tangan Kanya gemetar saat mengklik lampiran.
Layar menampilkan dokumen legal—teks formal penuh pasal dan klausul.
Di akhir halaman, dua tanda tangan:
Hasan.
Kian Ardhana.
Ia terpaku.
“Ayah… membuat Kian menandatangani ini? Tanpa pernah bilang padaku…”
Isi surat itu perlahan ia baca—tentang kesepakatan pernikahan secara agama, syarat sah secara hukum setelah cukup umur, dan larangan menceraikan Kanya tanpa persetujuannya. Ada juga klausul denda besar bila Kian melanggar.
Matanya berkaca-kaca. Tapi ia tak menangis.
Hanya diam... seperti laut yang menyembunyikan badai di dasarnya.
“Apa... dia merasa dipaksa? Apa sejak awal aku hanya beban? Tapi... kenapa… surat ini terasa seperti perlindungan? Seperti Ayah tetap mencoba menjagaku, bahkan setelah tiada…”
Ia membuka tab berikutnya—e-banking.
Dengan semua data KTP dan kartu keluarga yang cocok, Kanya berhasil melewati proses verifikasi.
Beberapa menit kemudian, layar menampilkan angka yang membuat dadanya sesak lega:
Rp 87.000.000
Tabungan yang dulu dibuat atas namanya.
Cukup untuk hidup sederhana.
Cukup untuk kuliah.
Dan cukup untuk tak tergesa kembali ke kehidupan yang belum siap ia jalani.
“Maaf, Ayah… Aku belum sanggup. Aku belum cukup kuat menjadi istrinya. Tapi aku akan hidup… sesuai yang Ayah ajarkan.”
Layar laptop meredup.
Malam makin larut. Tapi Kanya masih terjaga, menatap cadarnya yang tergantung di balik pintu.
Besok, ia akan mendaftar kuliah—
bukan dengan nama palsu, bukan dengan kebohongan, tapi dengan dirinya yang sebenarnya.
Yang sedang belajar pulih.
Dan perlahan menata langkah.
Di sepertiga malam, ketika pondok tertidur dan angin mengetuk-ngetuk jendela, Kanya duduk sendirian di sudut musala kecil.
Mukena masih melekat di tubuhnya, Al-Qur’an terbuka di pangkuan, tapi ayat-ayatnya tak sanggup ia resapi malam ini.
Matanya menatap kosong. Hatinya penuh gejolak.
Ia bersujud lama. Tapi bukan air mata yang jatuh, melainkan satu tarikan napas panjang yang seolah menahan tangis.
“Ya Allah… aku tahu posisiku. Aku tahu aku adalah istrinya. Aku tahu... seharusnya aku kembali.”
Tangannya menggenggam erat ujung sajadah. Suaranya nyaris tak terdengar, hanya gumaman pelan yang ditelan keheningan malam.
“Tapi bagaimana aku bisa kembali… sedang hatiku belum sampai ke sana? Hubungan kami seperti naskah kosong. Ia tak pernah benar-benar mengenalku. Aku pun tak tahu bagaimana harus mengisi peran ini. Apakah aku istri baginya… atau hanya nama dalam akad? Atau sebuah keterpaksaan… karena tanggung jawab dan ambisi?”
Kanya mengusap dadanya yang terasa sesak.
“Aku tahu… alasan ia menikahiku bukan karena cinta. Tapi karena aku pincang karena ulahnya… dan karena ia ingin menebus sesuatu—tanah, harga diri, atau mungkin… nama baik.”
Ia menunduk.
“Lalu apa artinya aku kembali? Jadi pelengkap rasa bersalahnya? Atau hadiah dari perjanjian yang tak pernah aku buat?”
Ia menggigit bibir, menahan guncangan emosinya.
“Aku bukan sedang lari… Aku hanya belum siap.
Bukan karena membenci pernikahan ini. Bukan karena ingin meninggalkannya. Tapi karena aku ingin pulang… sebagai istri—dengan hati yang utuh.
Bukan karena rasa bersalah. Bukan sebagai luka. Bukan karena kasihan. Apalagi keterpaksaan.
Aku hanya ingin tahu… bahwa aku benar-benar ada dalam hidupnya. Bukan sekadar beban yang ia pikul demi menenangkan hatinya sendiri.”
Hening. Angin berembus pelan dari sela jendela kayu. Matanya memejam.
“Ayah, kau mempercayakan aku padanya. Aku tahu... ini bukan soal suka atau tidak suka. Tapi soal amanah. Tapi bisakah aku meminta sedikit waktu? Sedikit kekuatan… agar aku bisa kembali sebagai istri yang benar-benar hadir. Bukan sekadar nama di kartu keluarga…”
Kanya duduk dalam diam.
Sebuah dilema antara kewajiban dan kesiapan.
Di dalam dirinya, agama bukan sekadar hafalan, tapi juga proses pendewasaan. Ia ingin taat… tapi juga ingin cinta tumbuh dalam kesadaran, bukan paksaan.
***
HARI-HARI BERLALU
Meski sudah kuliah, Kanya tetap tinggal di pondok.
Di sela-sela kuliah, ia masih menyempatkan diri mengajar anak-anak mengaji dan membantu memasak.
Sore, ia duduk di ruang jahit kecil—menyulam, merancang desain gamis, abaya, dan busana muslimah yang dijual Umi di butik kecil mereka.
Jarum dan benang menjadi sahabatnya.
Di setiap jahitan, ada luka yang ia rajut menjadi harapan.
Butik Umi perlahan berkembang.
Desain-desain Kanya mulai dikenal pelanggan tetap.
Elegan, sederhana, tapi penuh nilai.
Orang-orang bertanya, siapa desainer di balik semua itu?
Tapi Umi hanya tersenyum,
“Seorang santri… yang Allah sembuhkan melalui kesabaran.”
Santri pria mulai meliriknya.
Sosok misterius yang lembut dan rajin, meski wajahnya tak pernah terlihat.
Bahkan ada yang mengirim surat cinta, atau bertanya lewat Umi.
Tapi Kanya hanya tersenyum, menunduk sopan.
Suatu sore, Umi duduk di sebelah Kanya yang sedang menjahit.
“Santri putra mulai banyak yang bertanya tentangmu,” Umi berujar pelan, setengah menggoda.
Kanya tak menjawab. Tangannya tetap sibuk menjahit, tapi sorot matanya meredup sedikit.
“Siapa tahu jodohmu ada di sini? Cantik, rajin, pandai, sopan… Wajah boleh tak terlihat, tapi akhlak itu memancar, Nak,” lanjut Umi lagi.
Kanya menjawab dengan suara pelan, ambigu tapi jujur:
“Aku sudah ada yang memiliki, Umi…”
Umi terdiam sebentar, lalu tertawa kecil. “Ah, siapa pria yang beruntung itu?”
Kanya tak langsung menjawab. Ia hanya memandangi ujung benang yang belum terikat simpul.
Tak ada jawaban. Hanya senyum tipis yang mengambang di balik cadar.
Dalam hatinya, Kanya bergumam lirih—suara yang hanya bisa didengar oleh jiwanya sendiri.
"Apa dia merasa beruntung memilikiku?
Dan… saat usiaku sembilan belas nanti… apakah aku sudah siap kembali padanya?"
Ia menarik napas. Angin sore menyapu ujung kerudungnya.
Hari terus berlalu, tapi hatinya belum bergerak.
Bukan karena lupa, tapi karena belum siap.
***
Malam itu.
Langit mendung. Angin dingin menyusup celah-celah jendela bangunan tua. Di ruang tamu rumah kyai, cahaya lampu gantung menyoroti wajah-wajah yang duduk sopan di atas karpet hijau tua.
Kiyai Zubair dan Umi Farida duduk berhadapan dengan sepasang tamu: seorang pria berpeci hitam dengan sorot mata tenang, istrinya yang berselendang krem, dan seorang pemuda tampan berperawakan santun bernama Fariz.
"Tujuan kami ke sini," sang ayah angkat bicara pelan, "adalah untuk meminang santri yang sangat kami hormati… Kanya."
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Waktu menolong Friska - Kian masih mengaku kekasihnya - w a d u h.
Kian - baru sadar - kenapa pergi menjemput Friska. Baru ingat kata-kata papa Keynan. Dinding yang tak tahu apa-apa kau tinju - kasihan.
Ee...eehh menyalahkan Kanya - gara-gara Kanya - orang kamu juga salah.
Kian - jangan mempermainkan ikatan suci yang namanya - perkawinan. Belajarlah kembali mencoba menerima kehidupan yang bukan pilihanmu - dan nyatanya saat dihadapan ayah Hasan - kau telah memilih jalanmu. Perlakukan Kanya dengan layak sebagai seorang istri - kalau Kanya sudah nyaman - wajahnya pasti dipersebahkan untukmu - Kian...wkwkwk.
Tinggal kamunya saja yang masih besarin EGO - gimana.
Makanan kampung sangat cocok dimulut bodel Kayden.
Dibedakin mukanya juga tidak protes sampai bikin ngakak ayah Xander - juga readers pastinya - donat...donat bertoping gula lembut /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
kanya aja sdh menyanggupi akan memberikan Hak nya kalau kamu sanggup mencintai nya Dan hidup selamanya bersamanya ..kamu aja yg plin plan mas kian
seharusnya kamu juga mikir setiap pernikahan Siri pihak yg paling di rugikan itu wanita, kalau bisa buat kanya menjadi istri sah secara agama Dan negara dulu.baru minta hakmu kian
Papa Keynan dan Mama Aisyahkah..kalo iya bagus dong biar Kian di kasih wewejang lagi dari Papa Keynan yang telah melanggar untuk menemui Friska bahkan memeluknya....
jika kamu ingin mendapatkan hakmu terimalah dulu Kanya dengan baik dan tulus saling nenerima walapun belum sepenuhnya,,minimal kamu bersikap baiklah pada Kanya jangan terlalu datar dan coba untuk mencintai Kanya...
kamu juga blum mengenal Kanya,
sebagai suami apa yang kamu ketahui tentang Kanya???
coba kamu mulai terima Kanya,jadikan dia prioritas mu, cintai dia setulus hati mu.
jangan hanya Friska doank yang kamu simpan dihati mu.
lagian kamu belum mengenal Kanya
merasa dikhianati padahal kamu dan Kian pasangan pengkhianat sebenarnya
untung Kanya wanita bijak dan taat agama,klo gak mungkin Friska udah viral karena mengambil suami orang...