Di langit berbintang, seorang pria misterius bertopeng perunggu duduk di atas perahu kecil, membawa rahasia yang mampu mengguncang alam semesta. Ia telah kehilangan segalanya. ayah, ibu, sahabat, dan Yin’er, wanita yang tak tergantikan di hatinya. Demi memenuhi janji pada Yin’er, ia mengorbankan setengah sumber kehidupannya untuk menciptakan sebuah Klon Dao, wujud sempurna dari gabungan hidup mereka.
Namun, keputusannya menimbulkan kemarahan Zingtian, pria berjubah merah yang memanggilnya bajingan dan memperingatkan bahaya besar yang mengintai. Terlepas dari peringatan itu, proses penyatuan berlangsung selama sebulan, melahirkan jiwa janin istimewa yang bahkan disentuh oleh Kitab Takdir.
Kini, jiwa itu akan dikirim ke dunia kecil ChangYuan, disegel kekuatannya, agar tumbuh merasakan pahitnya dunia kultivator. Di balik keputusan itu tersembunyi rencana besar, rahasia para dewa, dan masa depan yang akan mengubah seluruh tatanan langi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Buah YuanQi Murni Dan Kolam Sepritual!!!
Setelah berhasil menyembuhkan luka Chen Yu. Zingtian menjentikkan jarinya, lalu ia dan Chen Yu menghilang dari tempat itu. lalu mereka berpindah di hutan pegunungan yang beku.
Lalu Zingtian pergi mencari buruan untuk santapan Chen Yu saat sadar nanti. tidak butuh waktu lama. Zingtian kembali membawa potongan daging besar. lalu menyalahkan api unggun dengan mudahnya. lalu memanggang daging itu dengan santai nya, sembari menunggu Chen Yu sadar.
Langit berwarna abu-abu pucat, awan tebal menggantung rendah. Angin dingin berhembus membawa serpihan salju tipis, menutupi pepohonan dengan lapisan putih beku. Namun di tengah keheningan itu, terdapat cahaya hangat dari sebuah api unggun kecil yang menari di sela-sela kayu kering.
Aroma daging panggang memenuhi udara, mengusir sedikit hawa dingin yang menusuk tulang.
Chen Yu perlahan membuka matanya. Tubuhnya terasa ringan, jauh berbeda dengan sebelumnya ketika ia hampir kehilangan nyawa. Meski begitu, pikirannya kacau, ingatannya bercampur antara kesakitan, suara Xining yang menangis, dan kabut merah yang menelannya.
Ia mengangkat tubuhnya perlahan, duduk bersandar pada batu. Napasnya teratur, meski masih ada rasa asing dalam aliran YuanQi di dalam tubuhnya. Begitu pandangannya menyesuaikan dengan cahaya api unggun, ia terkejut.
Di hadapannya, duduk santai seorang pria berjubah merah. Rambut hitam panjangnya terurai, matanya merah menyala, namun wajahnya… mirip dengan dirinya sendiri. Terlalu mirip.
Pria itu terlihat tenang, seakan dunia di sekitarnya tidak ada artinya. Ia memegang ranting kayu panjang yang menusuk potongan daging besar, membalikkannya perlahan di atas api. Aroma daging rusa es yang berlemak menetes, menciptakan suara letupan kecil saat jatuh ke bara api.
Chen Yu sontak berdiri, wajahnya waspada.
“Kau… siapa kau? Kenapa aku merasa seperti melihat diriku sendiri?”
Pria berjubah merah itu, Zingtian, menoleh sekilas. Bibirnya membentuk senyum santai, nyaris seperti ejekan, lalu kembali menatap daging yang dipanggang.
“Heh… jangan terlalu dipikirkan. Santai saja. Mumpung masih panas dagingnya. Sebelum aku pergi, setidaknya kau harus mencicipi daging rusa es ini. Jarang sekali bisa mendapatkan yang segar seperti ini.”
Chen Yu mengerutkan dahi. Aura pria ini membuat seluruh instingnya berteriak bahaya.
“Jangan mengalihkan pembicaraan! Jawab aku! Kenapa wajahmu mirip denganku?! Siapa sebenarnya kau!?”
Zingtian tertawa kecil, suara tawanya bergema di antara pepohonan bersalju. Tawa itu terdengar ringan, namun di dalamnya terselip rasa getir, seolah menertawakan nasib yang tak bisa ia ubah.
“Aku bukan musuhmu, dan juga bukan temanmu. Aku tidak datang untuk merugikanmu, Chen Yu.”
Ia menatap api unggun, sinar merah dari kobaran api memantul di matanya yang menyerupai magma.
“Satu hal yang harus kau tahu… setelah aku pergi, kau tidak akan mengingatku lagi.”
Chen Yu terkejut. Ia melangkah maju, menatap Zingtian dengan mata membara.
“Apa maksudmu!? Kenapa!? Siapa kau sebenarnya!?”
Zingtian perlahan mengangkat pandangan, menatap langsung ke dalam mata Chen Yu. Sorot matanya dalam, penuh rahasia yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
“Kau akan baik-baik saja, Chen Yu. Kau memiliki jalan sendiri yang harus kau tempuh. Kehadiranku… ingatanku… jika itu tetap bersamamu, maka hanya akan menjadi beban. Kau tidak memerlukan bayangan orang lain untuk menentukan jalanmu sendiri.”
Zingtian menghela napas panjang, lalu berdiri. Tubuhnya menjulang, jubah merahnya berkibar meski angin nyaris tidak ada. Ia mengangkat jarinya, lalu menjentikkannya.
Cahaya merah meledak dari ujung jarinya, melingkupi tubuh Chen Yu seperti pusaran api yang menyala namun tidak membakar. Udara bergetar, pepohonan di sekitar mereka berguncang hebat, serpihan salju berterbangan liar.
Chen Yu merasakan dunia berputar. Pikirannya kabur.
“Tidak… jangan… apa yang kau lakukan padaku?!” serunya, berusaha melawan, namun suaranya tertelan pusaran cahaya.
Zingtian menatapnya sekali lagi, senyum samar terukir di wajahnya.
“Maaf… aku harus menghapusnya.”
Cahaya merah semakin terang, hingga menelan seluruh pandangan Chen Yu. Suara api, suara angin, semuanya hilang. Hanya cahaya, lalu kegelapan.
Sekte Langit Cerah – Aula Utama
Aula utama Sekte Langit Cerah berdiri megah, atapnya menjulang tinggi dengan tiang-tiang batu giok putih yang berukir naga emas. Namun, kemegahan itu hari ini dibalut suasana duka. Tangisan pilu bergema di bawah langit-langit tinggi, membentuk gaung yang menusuk hati setiap orang yang mendengarnya.
Beberapa tetua sekte berdiri dalam lingkaran, jubah panjang mereka berdesir pelan setiap kali angin dari celah pintu menerobos masuk. Murid-murid senior berdiri di belakang, kepala tertunduk, tak ada satu pun yang berani berbicara.
Di tengah ruangan, Xining berlutut di lantai marmer putih, wajahnya basah oleh air mata. Suaranya pecah, lirih namun penuh rasa sakit.
“Chen Yu… dia mati menyelamatkanku…!”
Kata-kata itu membuat suasana semakin membeku. Para tetua saling berpandangan, sebagian matanya memancarkan keterkejutan, sebagian lain memendam kekhawatiran.
Tetua Qingwei, seorang wanita cantik beralis tebal, melangkah maju. Ia berusaha menenangkan Xining dengan suara lembut.
“Tenanglah, anakku. Ceritakan dari awal. Siapa yang menyerang kalian?”
Xining menggigit bibirnya. Ia mencoba mengingat, namun tiba-tiba wajahnya berubah pucat. Tatapannya kosong, seperti seseorang yang kehilangan bagian dari dirinya. “Aku… aku…”
Tangan Xining terangkat, memegang kepalanya erat-erat. Nafasnya memburu.
“Tunggu… aku tadi mengingat seseorang berpakaian merah. dia berdiri di hadapanku… tapi…”
Nadanya berubah panik. Matanya menyapu ruangan, memandang semua orang seakan mencari jawaban.
“Aku tidak ingat. barusan aku jelas melihatnya… tapi sekarang kosong, semuanya hilang.”
Aula menjadi sunyi. Tidak ada yang berbicara.
Tetua Qingwei menatap Xining dengan prihatin, lalu menghela napas. “Mungkin kau masih terguncang… ingatanmu kabur karena trauma.”
Xining hanya menunduk, tubuhnya bergetar. Air mata jatuh tanpa suara.
“Chen Yu… kau benar-benar sudah pergi…?”
Di Tempat Lain – Padang Es
Kabut tipis bergelayut di atas hamparan salju. Langit suram tanpa sinar matahari.
Chen Yu terbangun sendirian di tengah padang es. Tidak ada api unggun, tidak ada aroma daging, tidak ada sosok berjubah merah di hadapannya.
Ia duduk perlahan, matanya kosong. Telapak tangannya terangkat, menatap jemari sendiri. Ada perasaan aneh yang mengganjal di dadanya, seperti ia baru saja kehilangan sesuatu yang amat penting. Namun bagaimana pun ia mencoba mengingat… ia tidak tahu apa itu.
Rasa kosong itu membuat dadanya terasa sesak.
Sekte Langit Cerah – Kembali ke Aula Utama
Setelah Xining melapor sambil menangis, dan kehilangan sebagian ingatannya, keheningan menyelimuti seluruh aula. Para tetua hanya berdiri dengan wajah muram.
Ketua Sekte, Jian Xu, seorang pria tua berwajah keras dengan sorot mata setajam elang, berdiri di depan singgasana batu giok hitam. Ia memejamkan mata, napasnya teratur namun berat.
Di sisinya, Tetua Qingwei menghela napas panjang. “Anak itu… bahkan belum satu bulan di sekte. Tapi ia sudah mengorbankan nyawanya demi misi dan rekan satu sekte.”
Seorang tetua berambut putih bergumam pelan. “Tindakannya layak dihormati. Tapi… terlalu cepat ia pergi.”
Jian Xu membuka matanya perlahan, tatapannya tajam namun suaranya tegas.
“Nama Chen Yu akan diukir di Monumen Kesetiaan Murid. Meskipun ia baru, ia membuktikan keberaniannya.”
Semua tetua menunduk memberi hormat. Namun di sudut ruangan, seorang tetua tua dengan janggut tipis mengernyit. Matanya menatap langit-langit sejenak, lalu bergumam lirih yang hanya bisa ia dengar sendiri.
“Aneh… aku merasa aura hidup anak itu belum sepenuhnya padam…”
Klan Mu – Aula Utama
Aula utama Klan Mu dibangun dari batu giok biru, dingin dan megah. Di kursi tertinggi duduk Mu Tuzhi, patriark keluarga, seorang pria berwajah keras dan penuh wibawa.
Di sisinya berdiri Mu Wan, mengenakan gaun merahnya yang berani. Di tangannya tergenggam erat sebuah gulungan surat dari Sekte Langit Cerah.
Tulisan di surat itu hanya singkat, namun cukup untuk membuat hatinya bergetar. Chen Yu gugur dalam misi.
Mu Wan menunduk. Matanya merah, meski air mata tak jatuh. Suaranya nyaris tak terdengar. “Jadi… dia benar-benar mati…”
Mu Tuzhi diam cukup lama sebelum berkata pelan. “Kau tidak perlu terlalu bersedih. Sejak awal dia bukan pilihan yang sepadan untukmu.”
Mu Wan mengangkat kepala, menatap ayahnya dengan sorot tajam.
“Ayah… justru karena itu aku merasa bersalah. Aku yang menyeretnya ke dalam pernikahan ini.”
Ia menghela napas, suaranya bergetar.
“Kalau aku tidak mengikuti rencana ayah… mungkin dia tidak akan berakhir seperti ini.”
Keheningan kembali menyelimuti ruangan.
Mu Tuzhi akhirnya mengepalkan tangannya di atas meja batu giok. “Aku… juga bersalah. Aku mengira menikahkanmu dengannya hanya akan melindungi kehormatan keluarga. Tapi ternyata… anak itu bukan pengecut seperti yang kita kira.”
Mu Wan tak menjawab. Ia hanya memalingkan wajah, lalu berbalik meninggalkan aula. Meskipun ia tidak memiliki rasa cinta kepada Chen Yu, ia tahu bahwa kematian itu terjadi karena hubungan mereka. Sebuah rasa sedih dan bersalah menghantui langkahnya.
Klan Wen – Aula Kegelapan, Kota Baiwen
Berbeda dengan kesedihan di dua tempat lainnya, aula utama Klan Wen justru dipenuhi hawa puas dan licik.
Dinding-dindingnya dihiasi ukiran naga hitam, cahaya lilin berwarna merah darah berkedip-kedip, memberi kesan menyeramkan.
Wen Gaoyang, tetua pertama, berdiri di depan meja besar yang dipenuhi peta politik antar klan. Di sisi lain, Wen Shao, tuan muda Klan Wen, duduk santai sambil memutar cawan anggur.
“Jadi… bocah Chen Yu itu mati?” suara Wen Shao ringan, seolah membicarakan cuaca.
Seorang informan membungkuk.
“Benar, Tuan Muda. Tetua kelima yang melakukannya. Tubuhnya jatuh ke jurang dan tak ditemukan.”
Wen Shao tersenyum puas. “Itu bagus. Tetua kelima memang tidak pernah mengecewakan.”
Wen Gaoyang ikut tertawa ringan.
“Langkah pertama sudah berhasil. Aku harus memberikan hadiah untuk tetua kelima saat ia kembali nanti.”
Wen Shao mengangkat cawan anggurnya tinggi. “Sudah saatnya kita mengirim surat perjodohan resmi kepada Klan Mu.”
Senyum liciknya melebar, matanya menyipit penuh nafsu. “Jika Mu Wan menjadi istriku… fondasi kekuatan Klan Wen akan meningkat satu tingkat. Dan aib pernikahan sebelumnya akan terhapus.”
Ia mencondongkan tubuh, bibirnya melengkung mesum. “Tentu saja… aku akan menidurinya sepanjang hari. Aku tidak akan berhenti sampai aku benar-benar kelelahan.”
Beberapa tetua tertawa kecil, sebagian mengangguk puas.
Wen Gaoyang memberi perintah terakhir, suaranya tenang namun penuh ancaman.
“Bersiaplah. Kirim utusan dalam tiga hari. Pastikan mereka membawa hadiah pernikahan yang tak mungkin ditolak oleh siapa pun.”
Saat ini ditempat Chen Yu berada.
Chen Yu kini tidak berada di pegunungan yang beku. dia telah berjalan tak tentu arah dan jalan menelusuri tebing Berbatu.
Langit di barat telah mulai diselimuti warna oranye keemasan. Senja menjelma seperti lukisan indah, namun di balik ketenangannya, udara membawa hawa aneh yang sulit dijelaskan. Chen Yu melangkah perlahan di antara tebing-tebing batu yang menjulang, setiap langkahnya menimbulkan gema halus di lembah sunyi itu.
Akar-akar pohon tua merayap di antara retakan batu, dan lumut basah menebarkan aroma lembut tanah yang tertimpa embun. Angin hutan yang membawa kesejukan menyapu wajahnya, namun di dalam hati, ia masih menyimpan perasaan kosong yang tak bisa ia mengerti.
Chen Yu berhenti di depan sebuah pohon kuno yang tumbuh di atas gundukan tanah berbatu. Batangnya tebal dan kulit kayunya dipenuhi garis-garis berliku, seolah merekam jejak ribuan tahun kehidupan. Di antara cabang-cabangnya yang menjulur ke langit, sebuah buah berwarna emas bergantung sendirian. Cahaya keemasan itu tidak menyilaukan, melainkan berdenyut perlahan, seperti detak jantung makhluk hidup.
Saat Chen Yu mendekat, ia merasakan udara di sekitar pohon menghangat, dan tekanan energi spiritual yang lembut merayap ke kulitnya.
Tatapannya memfokus pada buah tersebut. “Buah YuanQi murni…?” gumamnya lirih, matanya berkilat.
Ia mengangkat tangan dan menyentuh permukaan buah itu. Seketika, arus energi yang padat dan hangat mengalir masuk melalui telapak tangannya. Rasanya seperti memegang tetesan matahari yang dijinakkan, penuh vitalitas namun tidak membakar. Chen Yu menghela napas panjang, menikmati sensasi itu sejenak sebelum akhirnya menyimpan buah langka tersebut ke dalam cincin penyimpanan pemberian Puyou.
Menatap cincin di jarinya, Chen Yu berkata pelan namun tulus, “Puyou… hadiahmu benar-benar berguna.”
Perjalanannya berlanjut. Ia menuruni lereng yang curam, melompati bebatuan lembap, dan menyibak akar-akar besar yang tumbuh seperti naga tidur. Hingga pada suatu titik, terdengar suara gemuruh halus, seperti bisikan air yang mengalir.
Chen Yu mendorong semak belukar yang menghalangi pandangan, lalu pandangannya terbuka.
Di hadapannya terbentang sebuah kolam spiritual alami. Airnya berwarna biru keperakan, jernih hingga dasar, memantulkan cahaya senja yang membentuk kilau seperti potongan kristal. Kabut putih tipis melayang di atas permukaan, bergulung lembut tertiup angin, membawa aroma murni khas YuanQi.
Kolam itu seolah hidup.
Setiap tetes airnya memancarkan aura yang membuat tubuh terasa ringan, dan tekanan energi di sekitarnya begitu padat namun tidak menekan, justru mengundang.
Chen Yu menatapnya dalam-dalam. “Tempat ini… sempurna untuk kultivasi. Aku tidak boleh melewatkannya.”
Tanpa ragu, ia menanggalkan pakaiannya satu per satu, melipatnya rapi dan meletakkannya di atas batu datar di tepi kolam. Uap tipis dari air mengusap kulitnya saat ia melangkah masuk.
Air kolam itu hangat, namun bukan sekadar hangat biasa. Rasanya seperti pelukan energi spiritual, menyusup ke otot, tulang, dan meridian, menghapus setiap kelelahan. Saat tubuhnya seluruhnya terendam, kabut tipis menyelubungi dirinya, membuat sosoknya samar seperti bayangan di dunia roh.
Chen Yu duduk bersila di dasar kolam yang dangkal, menutup mata. Air berkilau di sekelilingnya, sementara pusaran kecil mulai terbentuk di permukaan, berputar mengikuti irama napasnya.
Sunyi.
Tak ada suara selain bisikan halus air yang menyentuh kulit, dan aliran YuanQi yang masuk dari segala arah. Setiap tarikan napas membawa masuk kekuatan murni, setiap hembusan napas melepaskan sisa-sisa kotoran di tubuh. Retakan meridian yang pernah rusak kini perlahan diperbaiki, fondasinya menguat, dan napasnya semakin stabil.
Namun… ini bukan sekadar kultivasi biasa. Kolam ini seperti membangkitkan sesuatu yang tersembunyi jauh di dalam inti tubuhnya. YuanQi di sekitarnya terkumpul, membentuk pusaran yang semakin pekat di atas kepalanya.
Di langit jauh di atas, awan mulai berkumpul. Putaran lembut terbentuk, seolah langit sendiri ikut bernafas bersama Chen Yu.
apakah Xu Hao yang di novel satu lagi Thor?
tekejut awak Ruoying hamil. berarti yang malam dihutan itu Ruoying beneran kikuk kikukin Chen Yu yang lagi tidur/Plusone//Facepalm/