NovelToon NovelToon
Simpul Yang Terurai

Simpul Yang Terurai

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Perjodohan / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Persahabatan / Pihak Ketiga
Popularitas:745
Nilai: 5
Nama Author: Simun Elthaf

Haisya, gadis cerdas berhati teguh, meraih beasiswa ke Negeri Fir'aun, namun hatinya telah terpaut cinta pertama dari pesantren. Di Inggris, ia bertemu seseorang yang awalnya membencinya karena perbedaan, namun berubah menjadi cinta mendalam. Kembali ke tanah air, Haisya dijodohkan. Betapa terkejutnya ia, lelaki itu adalah sosok yang diam-diam dicintainya. Kini, masa lalu kembali menghantuinya, menguji keteguhan hati dan imannya. Ikuti perjalanan Haisya menyingkap simpul-simpul takdir, dalam kisah tentang cinta, pengorbanan, dan kekuatan iman yang akan memikat hatimu hingga akhir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Simun Elthaf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perpisahan dan Pertanyaan Tak Terjawab

Suara deru sepeda motor Hasnan memecah keheningan sore di Dusun Kedung Waru. Tak lama kemudian, ia tiba di depan rumah Haisya. Hasnan baru saja mematikan mesin motornya saat pintu rumah terbuka dan Haisya sudah muncul di ambang pintu, matanya berbinar melihat kedatangannya.

"Tok tok tok… Assalamualaikum…" Hasnan belum sempat mengetuk sempurna, Haisya sudah menyambutnya.

"Wa'alaikumussalam… ye… mana martabaknya?" Haisya langsung merebut bingkisan martabak manis itu dari tangan Hasnan, ekspresinya ceria seperti anak kecil yang mendapatkan permen. Ia bahkan tak menunggu Hasnan masuk. Gadis itu segera duduk di sofa ruang tamu dan langsung menyantap lahap martabak kesukaannya, seolah belum makan seharian. Hasnan masih berdiri di depan pintu, sedikit lelah namun tersenyum geli, hanya mengawasi tingkah Haisya yang masih kekanak-kanakan itu, yang tak pernah berubah.

"Mas Hasnan, ayo makan bareng sini!" ajak Haisya, mulutnya masih penuh martabak.

"Tidak perlu, dimakan aja, Sha! Mas langsung pamit ya," jawab Hasnan, nadanya agak tergesa.

"Lho kok pulang sih, baru juga sampai?" Haisya mengernyit, merasa aneh dengan ketergesaan Hasnan.

"Mas ada urusan," jawab Hasnan singkat, tidak ingin menjelaskan lebih lanjut tentang apa yang baru saja ia alami.

"Ya sudahlah kalau nggak mau makan martabaknya, aku habisin ya," Haisya pura-pura mengancam, meski ia tahu Hasnan takkan peduli.

"Dihabisin aja," kata Hasnan, menahan senyum.

"He… makasih…" Haisya terkekeh.

Tanpa membuang waktu, Hasnan langsung naik ke motornya, menyalakan mesin, dan menyusuri jalan raya. Pikirannya masih dipenuhi keganjilan pertemuannya dengan Amanda. Tak lama kemudian, ia memarkirkan motornya di depan gerbang rumah mewah di kawasan Jl. Rinjani, sebuah area elit di Cilacap. Ia berharap disinilah ia akan menemukan jawaban dari semua pertanyaan yang membelenggunya.

Ia memencet bel. Suara bel berbunyi nyaring, memecah kesunyian rumah itu. Tak lama kemudian, pintu terbuka dari dalam. Nampak seorang wanita muda yang cantik, namun masih asing baginya, berdiri di ambang pintu.

"Assalamualaikum…" sapa Hasnan, berusaha menjaga kesopanannya.

"Wa'alaikumussalam, ada yang perlu dibantu, Mas?" wanita itu balas menyapa dengan ramah, senyum tipis di bibirnya.

"Ridwannya ada, Mbak? Saya temannya Ridwan," Hasnan bertanya, sedikit ragu.

"Oh, temannya Mas Ridwan," jawab wanita itu, senyumnya semakin lebar. "Sayang sekali suami saya baru saja keluar."

"APA... SUAMI?!" Hasnan terkejut, matanya membelalak. Dunia seolah berhenti berputar. Kata "suami" itu menusuk telinganya bagai belati.

"Iya, kenalkan saya Jihan, istrinya Mas Ridwan," wanita itu memperkenalkan diri dengan bangga, mengulurkan tangannya.

"Bagaimana mungkin? Kapan kalian menikah?... Tidak... saya tidak bisa percaya ini!" Hasnan menggelengkan kepala, mundur selangkah, otaknya menolak menerima kenyataan.

"Tapi, Mas, sa... saya memang..." Ucapan Jihan terpotong oleh kedatangan seorang gadis remaja yang muncul dari dalam rumah, dengan cepat menarik lengan Hasnan, seolah ingin menjauhkan Hasnan dari Jihan dan kebenaran yang pahit.

"Apaan sih, Nda? Saya belum selesai bicara dengan wanita itu, bagaimana ini semua terjadi? Tolong jelaskan, Amanda!" Hasnan menuntut, suaranya dipenuhi frustasi. Ia menatap Amanda, adik Ridwan, yang kini berdiri di depannya.

"Oke, akan aku jelaskan, tapi tolong Mas Hasnan tenang dulu," Amanda mencoba menenangkan, suaranya bergetar. Ia segera memakai helmnya dan mulai men-starter sepeda motornya.

"Kamu mau ke mana?" tanya Hasnan, bingung.

"Sudah, ikuti aku aja, Kak," jawab Amanda singkat. Ia melajukan motornya, dan Hasnan yang masih bertanya-tanya dan kebingungan, segera mengikutinya dari belakang. Mereka berdua mengendarai sepeda motor masing-masing, membelah jalanan kota yang mulai ramai.

***

DI SEBUAH TAMAN KOTA, BEBERAPA SAAT KEMUDIAN.

Hasnan dan Amanda akhirnya berhenti di sebuah kursi taman yang sepi, di bawah rindangnya pohon. Suasana tenang taman itu kontras dengan badai yang berkecamuk di hati Hasnan. Belum juga ia sempat berkata apa-apa, Amanda sudah meneteskan air matanya, isakan tertahan keluar dari bibirnya. Hasnan tambah dibuat bingung olehnya. Dia benar-benar tidak mengerti dengan semua ini, otaknya terasa buntu.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Nda? Kenapa kamu menangis seperti ini?" tanya Hasnan, suaranya melunak, prihatin melihat adik sahabatnya itu.

"Aku bingung harus memulai dari mana, Kak, aku benar-benar sedih," jawab Amanda, suaranya serak.

"Kamu sedih kenapa, hah? Cerita sama Kakak!" Hasnan mendesak, tangannya mengusap bahu Amanda, berusaha menenangkan.

Amanda menarik napas panjang, mencoba merangkai kata-kata di antara isak tangisnya. "Sebenarnya Kak Ridwan satu bulan yang lalu mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan dari Madura ke Cilacap. Ia sempat kritis dan mengalami koma selama dua minggu." Air mata mengalir deras di pipinya. "Kata dokter, Kak Ridwan mengalami benturan yang cukup parah di bagian kepalanya. Sehingga ketika Kak Ridwan sadar dari komanya, ia sama sekali tidak mengenali kami semua. Berbagai upaya telah kami coba untuk mengembalikan ingatannya. Tetapi hasilnya nihil, ia tetap tidak bisa mengingat apa pun."

Hasnan mendengarkan dengan syok, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Setelah kurang lebih satu pekan Kak Ridwan di rumah," lanjut Amanda, "ia mulai percaya kepada kami. Ia percaya kalau kami memang benar-benar keluarganya. Mungkin karena foto-foto keluarga itu membuat Kak Ridwan percaya, meskipun tidak teringatkan semuanya." Amanda menghela napas berat, "Dari situ Ayah kami memanfaatkan amnesia Kakak, Ayah menjodohkan Kak Ridwan dengan putri salah satu rekan bisnisnya. Ayah mengatakan kepada Kak Ridwan kalau Kak Ridwan sangat mencintai gadis itu sebelum akhirnya ia mengalami amnesia dan melupakannya. Kak Ridwan percaya karena memang ia membawa cincin pertunangan saat kecelakaan." Amanda menatap Hasnan dengan tatapan memohon maaf. "Akhirnya Kak Ridwan mau menikah dengan Mbak Jihan. Dan sekarang mereka telah sah menjadi suami istri hiks… hiks…" Isakan Amanda semakin keras.

Hasnan terpaku, seluruh tubuhnya terasa dingin. Fakta ini menghantamnya bagai palu godam. "Kenapa kamu tidak mengabariku, Nda? Tahukah kamu bahwa Ridwan ke Cilacap itu bertujuan untuk mengkhitbah Haisya, sepupuku? Dan cincin itu adalah cincin yang telah ia siapkan untuk Haisya!" Suaranya meninggi, penuh penyesalan dan amarah.

"Maafkan aku, Kak," Amanda menciut, "saat itu aku benar-benar tidak bisa memikirkan sesuatu, yang aku pikirkan hanyalah kesembuhan Kak Ridwan."

Hasnan menghela napas panjang, kekecewaan melingkupinya. "Ya sudah kalau begitu, saya permisi. Makasih untuk waktunya, Nda." Ia bangkit dari kursi, tubuhnya terasa sangat letih, bukan hanya fisik tapi juga mental. Hasnan pergi, meninggalkan Amanda yang masih terisak, dan segera pulang ke rumah. Jalanan sore yang ramai terasa senyap di telinganya.

Sesampainya di rumah, Hasnan membersihkan diri, mandi untuk menenangkan pikiran dan tubuhnya. Setelah itu, ia segera melakukan salat Isya, memohon petunjuk dan kekuatan. Usai salat, ia merebahkan badannya di atas kasur, berusaha mengistirahatkan diri, namun pikirannya masih kalut. Bagaimana ia harus memberitahu Haisya?

***

London Menanti dan Pertemuan Tak Terduga

DI BANDARA SOEKARNO-HATTA, MALAM HARI.

Beberapa hari kemudian, di Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang ramai, Haisya berjalan tergesa-gesa di tengah kerumunan penumpang. Ia menarik kopernya yang berukuran sedang dan menjinjing tas mini miliknya. Pikiran Haisya penuh dengan daftar barang bawaan dan persiapan keberangkatan.

Tiba-tiba, "Debrug!"

Haisya menabrak seseorang, membuat kopernya dan tas mininya jatuh berserakan di lantai.

"Hey, kalau jalan pakai mata dong!" Seorang lelaki berteriak marah-marah, tanpa menoleh, langsung pergi begitu saja setelah menumpahkan kekesalannya.

"Dasar! Siapa yang salah, siapa juga yang marah-marah," gerutu Haisya, kesal. Ia membungkuk, dengan cepat mengambil koper dan tasnya yang terjatuh. Ia tak ingin membuang waktu.

Haisya memasuki pesawat tujuan London, sebuah penerbangan panjang yang akan membawanya ke babak baru dalam hidupnya. Ia segera mencari tempat duduknya, yang terletak di dekat jendela. Saat ia hendak menyimpan tasnya di bagasi atas, ia melihat seseorang di samping kursinya.

"What? Loe lagi, loe lagi. Ngapain lo ada disini?" tanya Haisya terkejut, melihat sosok yang familiar, namun tidak ia harapkan. Itu adalah Denny, pria yang dulu sering ditemui di Mesir, pria dengan tindik sebagai ciri khasnya.

Denny menoleh, ekspresinya datar. "Ini tempat duduk saya, kenapa memangnya?"

"Bangku gue ada di sebelah loe, jadi mendingan loe minggir sekarang!" Haisya memerintah, merasa tidak nyaman harus duduk di samping Denny.

"Nggak mau, ini bangku saya. Kalau memang nggak mau sebelahan dengan saya, ya sudah sana kamu aja yang pergi!" Denny membalas, tak kalah sengit.

"Oh gitu ya? Oke fine!" Haisya mendengus, berbalik, dan mencari kursi lain. Namun, rupanya semua kursi di kelas ekonomi sudah penuh. Terpaksa ia harus kembali ke kursinya.

"Aahh, sial! Nggak ada tempat lain lagi," Denny mengacak-acak rambutnya kesal. Ia duduk dengan kasar, tubuhnya terhempas ke kursi, dan menekuk kedua tangannya di depan dada, menunjukkan ketidaknyamanan yang sama.

"Ha... ha... ha... kenapa balik lagi? Sudah penuh ya? Kasihan..." ledek Haisya, tak bisa menahan tawa melihat kekesalan Denny.

"Diam lo, berisik!" Denny menyahut ketus, matanya menatap tajam.

"Sensi banget jadi orang," Haisya bergumam, lalu memalingkan badannya. Ia kembali membaca surat dari Universitas Al-Azhar yang ia bawa, surat yang berisi kabar baik dan telah menjadi tiketnya menuju impian. Ia merasa seperti sedang bermimpi bisa melanjutkan gelar magisternya di universitas ternama di London, setelah menyelesaikan gelar sarjananya di Mesir.

"Baca apaan sih?" Denny bertanya, penasaran, kepalanya sedikit menoleh.

"Kepo," jawab Haisya singkat.

"Mana coba gue lihat!" Denny tanpa permisi merebut kertas itu begitu saja dari tangan Haisya.

"Iiiih, nggak sopan banget sih jadi orang!" Haisya merebut kembali surat itu dengan cepat dari tangan Denny, kesal dengan tingkah lakunya.

Denny melirik sekilas isi surat itu. "Oh, loe dapat beasiswa di... (tulisan tidak terbaca), gue juga kuliah di sana." Denny menyebutkan nama universitas yang tertera di surat, yang tidak jelas terbaca.

"Oh ya? Gimana rasanya kuliah di sana? Enak enggak? Ceritain dong!" Haisya, tiba-tiba antusias, bertanya tentang London.

"Biasa aja! Sudah ah, jangan ganggu gue, gue mau tidur! Ngantuk," Denny kembali bersikap dingin, memejamkan mata.

"Iiiih, dasar nyebelin," Haisya memalingkan badannya, merasa kesal karena Denny tak mau bercerita. Namun, di dalam hati ia merasa sedikit lega, setidaknya ada seseorang yang dikenal di tempat baru nanti.

***

London, Kiblat, dan Takdir yang Baru

DI LONDON, MALAM HARI.

Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, Haisya akhirnya tiba di London. Malam telah tiba, dan kota metropolitan ini memancarkan cahaya yang memukau. Haisya turun dari taksi dan masuk ke dalam hotel khusus para mahasiswa, sebuah bangunan modern dengan lobi yang ramai. Ia menyeret kopernya menuju unit apartemen yang telah ia sewa.

Tepat di depan pintu apartemennya, lagi-lagi ia bertemu dengan pria berambut hitam manis dengan tindik sebagai ciri khasnya—Denny. Seolah-olah takdir terus mempertemukan mereka.

"Bisa nggak sih lo nggak usah ngikutin gue terus!" Haisya langsung melontarkan protes, merasa jengkel.

"Jadi orang ge-er banget sih, siapa juga yang ngikutin lo," balas Denny santai, menyeringai.

Haisya mendengus kesal. Tanpa memperdulikan Denny, ia langsung membuka pintu dan masuk ke apartemennya.

"What! Jadi sekarang gue harus tetanggaan sama cewek judes itu! Ampun deh..." gerutu Denny, tak percaya dengan nasibnya.

Haisya meletakkan kopernya di samping ranjang, ia membersihkan tubuhnya dan hendak salat Magrib. Saat ia akan menggelar sajadahnya, ia teringat sesuatu. Ia tidak tahu arah kiblat. Ini di London, bukan di Indonesia, di mana arah kiblat sudah sangat familiar.

Haisya keluar dari apartemen, mencari petunjuk. Ia mencoba untuk melihat matahari, tetapi langit di sini benar-benar mendung dan kelabu. Matahari pun telah benar-benar terbenam, digantikan oleh gelapnya malam London. Ia berjalan mondar-mandir di koridor, sambil mengingat-ingat letak matahari saat dirinya baru saja sampai di sana, berusaha mencari orientasi.

"Weh, nyari apaan?" tanya Denny, yang tiba-tiba muncul dari pintu apartemennya.

"Nyari arah kiblat," jawab Haisya, tanpa berpikir.

"Hah? Kiblat?" Denny mengernyit, seolah asing dengan kata itu.

"Iya kiblat, arah umat Muslim salat. Kamu tahu enggak di mana letak arah kiblat?" Haisya bertanya, penuh harap.

"Gue Kristen," jawab Denny singkat, nadanya datar.

"Oh, sorry," Haisya merasa tidak enak. Ia berbalik badan dan hendak pergi, mencari cara lain.

Tapi, tiba-tiba Denny menepuk pundaknya. Haisya menoleh, dan Denny sedang menunjukkan tangannya ke sebuah arah, ke arah yang tepat. Haisya mengangkat sebelah alisnya, tanda tak mengerti bagaimana Denny bisa tahu.

"Kiblatmu," ucap Denny singkat, seolah-olah dia tahu dengan ekspresi kebingungan yang diberikan Haisya. Tanpa menunggu ucapan terima kasih, Denny kembali masuk ke apartemennya. Begitu pula dengan Haisya. Ia lantas kembali mengambil air wudhu dan segera melaksanakan ritual wajibnya. Usai salat, Haisya membuka kitab kesayangannya—Al-Qur'an—dan mulai muraja'ah hafalannya. Suara Haisya yang melantunkan ayat-ayat suci begitu indah dan merdu, terdengar hingga ke kamar-kamar tetangga, termasuk kamar Denny. Namun, Denny hanya mendengarkan sekilas, tanpa terlalu memedulikan, dan kembali memainkan game PS-nya hingga larut malam, di tengah alunan merdu ayat suci. Dua dunia yang berbeda, di satu bangunan yang sama.

1
Jaku jj
Baper abis!
Simun Elthaf: nanti di akhir" part akan banyak yg bikin salting lagi kak😊
total 1 replies
Fiqri Skuy Skuy
Jelas banget ceritanya!
Simun Elthaf: Terimakasih sudah mampir kak, saya baru belajar menukis☺🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!