Mungkin berat bagi wanita lain menjalankan peran yang tidak ia inginkan. Tetapi tidak dengan Arumi yang berusaha menerima segala sesuatunya dengan keikhlasan. Awalnya seperti itu sebelum badai menerjang rumah tangga yang coba ia jalani dengan mencurahkan ketulusan di dalamnya. Namun setelah ujian dan cobaan datang bertubi-tubi, Arumi pun sampai pada batasnya untuk menyerah.
Sayangnya tidak mudah baginya untuk mencoba melupakan dan menjalani lagi kehidupan dengan hati yang mulai terisi oleh seseorang. Perdebatan dan permusuhan pun tak dapat di hindari dan pada akhirnya memaksa seseorang untuk memilih diantara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Cinta Pertama
Bab 18. Cinta Pertama
POV Arumi
Dari kecil hingga remaja, tujuan hidupku ingin selalu melihat kedua orang tuaku tersenyum bahagia.Tidak pernah mengenal cinta dan hanya fokus pada pendidikan untuk membanggakan kedua orang tua. Bergaul sewajarnya, dan membantu orang tua di waktu senggang.
Sampai tiba di usia dewasa, Bapak memberitahu ku tentang perjodohan yang sudah lama di sepakati. Aku pun menikah dengan lelaki yang merupakan anak dari mendiang sahabat Bapak yang sudah sangat dekat bak saudara.
Tetapi pernikahan itu tidak berjalan sesuai yang aku ekspektasikan. Mas Arman selingkuh dengan kekasihnya dan menikah meski aku belum di ceraikan olehnya.
Mengingat masa-masa itu, hatiku sakit dan perih. Meski menikah tanpa rasa cinta, tapi aku tulus menerima perjodohan itu dan mencoba untuk menjadi istri yang baik baginya.
Sampai tiba masa terpuruk bagiku dan keluargaku. Aku di ceraikan, dan orang tuaku mengalami kebangkrutan hingga terlilit hutang. Bapak sakit-sakitan karena beban hidup dan pikiran. Dan Ibu banting tulang bekerja untuk mencukupi kebutuhan serta mencicil hutang yang tak sanggup kami bayarkan.
Aku pun bekerja kesana kemari. Pindah dari satu tempat kerja ke tempat yang lain.
Sampai saat tawaran itu tiba, aku di minta Paman ku menggantikan putrinya yang kabur, untuk menikah dengan lelaki yang sudah di pacari putrinya selama satu tahun lebih. Imbalan melunasi semua hutang orang tuaku pun membuat aku tergiur. Lalu aku menikah lagi tanpa mengenal siapa yang akan menjadi pasangan hidupku.
Namanya Dimas Prasetya, putra kedua dari konglomerat, mungkin. Entahlah...Yang pasti dia anak orang kaya dan memiliki perusahaan.
Aku bisa menerima permusuhannya karena tidak ada cinta di antara kami. Wajar saja bila dia bersikap acuh padaku. Calon istri yang sebenarnya kabur, dan aku hanya pengganti untuk menjaga martabat semuanya.
Sikap dingin dan acuhnya tidak melukai hatiku karena aku paham, apa yang dia rasakan. Dan aku akan tetap menjalani peranku sebagai istri yang baik untuknya.
Di luar dugaan, dia pria dingin yang bertanggung jawab. Andai Renata tidak kabur, aku rasa dia wanita yang beruntung di cintai lelaki yang kini menjadi suamiku.
Dia pekerja keras, bertanggung jawab, loyal dan juga tampan tentunya. Dalam sikap dingin dan acuhnya, masih bisa kurasakan ada bentuk perhatian walau tidak terlihat.
Dia terlihat seperti kucing galak, sedikit membuat takut, tapi juga bikin penasaran untuk di dekati. Terkadang terlihat tidak peduli, tetapi menurut bila dihadapi dengan kesabaran. Dia tidak membiarkan aku kelaparan, dan membiarkan aku bebas melakukan apa saja di rumahnya.
Lalu suatu hari dia jatuh sakit. Mengurung diri setengah hari dalam kamarnya. Aku sedikit cemas karenanya. Walau bagaimana pun, dia adalah suamiku.
Ku beranikan diri masuk ke dalam kamarnya. Ku dapati dia terbaring lemah di sana. Aku pun segera melakukan sebisaku, berusaha untuk mengobati sakitnya agar tidak semakin parah. Dan syukurlah, dia baik-baik saja keesokan harinya.
Hari-hari ku jalani bersamanya terasa damai dan tenang. Dia memang seperti itu, dingin. Tetapi aku sudah terbiasa, dan lama-lama aku merasa aman bersamanya.
Kehadirannya membuat aku nyaman, sehingga aku selalu menunggu kedatangannya di setiap pulang kerjanya. Dan menanti kebersamaan kami yang hanya bisa sering bersama di meja makan.
Aku tidak tahu persis, hubungan apa yang kami jalani sebenarnya. Pernikahan memang terjadi di antara kami, tetapi tidak sepenuhnya kami menjalani peran sebagai suami istri.
Dia baik padaku, dan aku nyaman dengannya. Bahkan aku mulai merasakan suka padanya. Apakah boleh aku seperti ini?
Bertemu dengan mertuaku setelah sekian bulan. Ku kira mereka akan membenciku karena aku bukanlah menantu yang mereka harapkan. Tapi ternyata, mereka wellcome kepadaku. Bahkan Dimas pun tidak pernah menjelekkan aku di depan orang tuanya. Ah, bikin aku semakin baper saja. Aku jadi berharap lebih karenanya.
Tapi ternyata aku salah, aku tidak boleh memiliki perasaan yang tidak jelas itu.
"Ya, aku memang berencana menceraikanmu tahun depan."
Satu kalimat yang di ucapkan Dimas menghempaskan rasa yang baru saja tumbuh. Aku tahu itu bakal terjadi, tapi tidak ku sangka, waktunya tidak lama lagi.
Namun perasaan itu semakin kuat dan membuat aku bingung. Ketika kaki ku terluka tanpa sengaja, Dimas terlihat sangat khawatir padaku. Bahkan dia mau mengobati kaki ku. Kenapa dia memberi harapan padaku?
Memandanginya dengan jarak yang begitu dekat, membuat jantungku berdebar-debar. Aku yakin ini bukan karena tensi darahku yang naik. Tetapi perasaan menggetarkan jiwa dengan aroma musim semi sedang menelusup di dalam relung hatiku. Bukankah ini cinta?
Betapa naifnya aku. Padahal dia sudah mengatakan akan bercerai dengan ku. Tetapi aku malah masih memiliki perasaan terhadapnya. Dan bahkan semakin tubuh.
Sepertinya, cinta memang buta. Sudah diberi peringatan tapi hatiku tidak sadar diri. Bagaimana tidak perasaan itu terus ingin tumbuh, jika ucapan dan perbuatannya bertolak belakang? Dia mengatakan akan bercerai, tetapi setiap perbuatannya selalu membuat hatiku bergetar karenanya.
Dan lihat saja hari ini, dia mengijinkan ku bertemu orang tuaku. Bahkan dia mengantarkan ku ke rumah mereka.
"Bagaimana suamimu? Apa dia sama seperti Arman?"
"Dia sangat baik Bu. Dia jauh lebih baik dari Mas Arman. Meski dia dingin, tetapi dia tidak membiarkan ku kelaparan. Dia memenuhi segala kebutuhanku. Dan juga... Aku masih menjadi satu-satunya istrinya."
Bahkan menceritakannya pada ibuku pun membuat aku tersipu. Dan sepertinya, ibu tahu akan perasaanku yang sebenarnya. Ibu mengelus punggungku, memberikan ku dukungan, dan menasehatiku untuk tetap menjadi istri yang baik, terlepas dari sikap dingin suamiku.
"Kamu yang sabar. Tetaplah jadi istri yang baik buat dia. Sekeras-kerasnya hati manusia, bila di sentuh dengan ketulusan dan kasih sayang terus menerus, lama-lama akan luluh juga."
"Iya Bu. Arumi selalu mendengarkan nasehat Ibu."
Tidak bisa ku tahan lagi isi hatiku di depan orang tuaku. Aku pun mengungkapkan kalau aku menyukai Dimas Prasetya.
Aku tahu ini bodoh. Biarlah ku nikmati perasaan yang baru pertama kali ku rasakan ini. Mungkin ini cinta pertama ku. Dan sering ku dengar kalau cinta pertama itu jarang sekali berhasil. Dan sepertinya, aku termasuk dalam golongan cinta yang gagal itu.
"Kamu tidak menghubungi suamimu? Dia jemput jam berapa?" Tanya ibuku.
"Dia tidak bilang apa-apa," jawabku.
Ibu menghela napas panjang.
"Sebaiknya kamu pulang Nak. Kamu sudah cukup lama disini. Jangan biarkan dia menunggu mu terlalu lama. Kamu di ijinkan boleh kesini saja sudah patut di syukuri." Ujar ibuku.
"Iya Bu. Arumi coba hubungi Dimas dulu."
Ku ambil handphone dari dalam tas kecil ku dan mencoba mengirimkan pesan kepada Dimas.
Hanya dalam hitungan detik pesan ku di balas olehnya. Sepertinya dia sedang berselancar dengan benda pipih bergambar buah bekas gigitan di belakangnya.
Dimas : Aku sudah berada depan rumah.
"Cepat sekali." Gumam ku.
"Kenapa Rum?" Tanya Bapak.
"Dimas sudah di depan Pak."
"Ya sudah. Ayo, kamu cepat pulang. Jangan biarkan dia lama menunggu, nanti dia malah marah dan kamu tidak boleh kesini lagi." Ujar ibuku.
"Baik Bu."
Aku menurut kata ibuku, lalu menyalami kedua orang tuaku, dan memeluk mereka satu persatu. Kemudian mereka pun mengantarkan ku sampai ke depan pintu.
"Itu suami mu." Kata Ibuku menunjuk Dimas dengan arah pandangnya.
Aku ikut menoleh ke arah mata ibu memandang. Disana ada Dimas yang menunggu di depan pintu mobil. Dia tidak mendekat ke arah kami. Dan masih dengan ekspresi dinginnya itu, dia menundukkan sedikit kepalanya menyapa kedua orang tuaku tanpa bicara.
"Sana..." Bisik ibuku sembari memegang punggungku.
Aku mengangguk. Lalu perlahan melangkah mendekati Dimas dan meninggalkan orang tuaku yang memandangi kami dengan penuh senyum.
Bersambung...
Jangan lupa dukung Author dengan like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
hari ini apes bener arumi.. bertemu org2 ##$$@## dpt tlp dr pamannya yg juga sama2 ##$@##$🙄
suka dgn gaya rumi yg tdk mudah memperlihatkan kelemahannya pd lawan bicara yg pd nyebelin itu..meski dlm hatinya remuk redam... pasti berat bagi rumi dlm situasi yg spt ini.. semangat arumi... semoga semua masalah cpt berlalu n kamu bisa hidup dgn lbh baik kedepannya
kamu yg ninggalin dimas... tp sekarang malah gk tau malu minta balikan... maksudmu piye? jgn takut arumi lawan aja itu si renata.. bkn kamu yg salah.. dia yg ninggalin dimas jd jgn kepengaruh sama renata...