"Tidak heran ini disebut Jurang Neraka, aku sudah jatuh selama beberapa waktu tapi masih belum menyentuh dasar..." Evindro bergumam pelan, dia tidak mengingat sudah berapa lama dia terjatuh tetapi semua kilas balik yang dia lakukan memakan waktu cukup lama.
Evindro berpikir lebih baik dia menghembuskan nafas terakhir sebelum menghantam dasar jurang agar tidak perlu merasa sakit yang lainnya, tetapi andaikan itu terjadi mungkin dia tetap tidak merasakan apa-apa karena sekarang pun dia sudah tidak merasakan sakit yang sebelumnya dia rasakan dari luka yang disebabkan Seruni.
Evindro akhirnya merelakan semuanya, tidak lagi peduli dengan apapun yang akan terjadi padanya.
Yang pertama kali Evindro temukan saat kembali bisa melihat adalah jalan setapak yang mengeluarkan cahaya putih terang, dia menoleh ke kanan dan kiri serta belakang namun hanya menemukan kegelapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hendrowidodo_Palembang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Harapan
Qorin meningkatkan permainan pedangnya sekali lagi dan berhasil memukul mundur Evindro.
Ketika Evindro menyerang sekali lagi dengan Seni Naga, dia kembali hanya bisa bertahan dua puluh jurus saja. Hal ini membuatnya mulai merasa frustasi.
Evindro tidak ingat lagi sudah berapa lama waktu yang telah dihabiskannya untuk menghadapi Qorin. Yang diketahuinya, tidak peduli kombinasi Seni Naga yang digunakannya, Evindro selalu mendapatkan kekalahan dari lawannya.
Berbagai Seni Naga baru berhasil Evindro kuasai namun seolah tiada arti di hadapan Qorin. Setiap jurus baru yang dilepaskannya selalu berhasil diatasi oleh Qorin.
Akhirnya Evindro menyadari sesuatu setelah menjalani semua itu, pada akhirnya dia mengambil salah satu pedang yang tertancap di tanah, Evindro sekali lagi mencoba menghadapi Qorin menggunakan pedang.
"Oh? Akhirnya kau kembali menggunakan pedang? Apa yang kau sadari?" Qorin tersenyum mengejek.
"Kau mengatakan bahwa apapun yang aku kuasai juga bisa kau gunakan bahkan lebih baik, ini artinya kau bisa menggunakan Seni Naga lebih baik dari aku.
"Alasan kau mengatakan bahwa bisa mengalahkan aku hanya dengan mengandalkan ilmu pedang menunjukkan kau memahami kalau sehebat apapun Seni Naga yang aku gunakan tidak akan berhasil mengalahkan ilmu pedangmu."
Satu-satunya penjelasan yang masuk diakal Evindro adalah Qorin menguasai Seni Naga dengan sempurna sehingga mengetahui cara menghadapi setiap jurus yang tercatat maupun kombinasi serangan mungkin dilakukan.
"Benar, tetapi pemahamanmu belum sempurna. Kau belum memahami alasan pedang di tanganku ini masih tetap utuh setelah semua pertarungan yang kita lakukan." Qorin menunjukkan pedang di tangannya yang masih terlihat seperti baru.
Evindro mengayunkan pedangnya, tidak berniat mendengarkan lebih jauh. Terlepas komentar Qorin, Evindro mengetahui satu-satunya jalan mengalahkan lawannya adalah beradu ilmu pedang.
Keduanya kembali bertukar jurus dan seperti biasa Qorin unggul telak.
"Pedangmu masih seperti sebelumnya, kau sungguh tidak memahaminya. Coba kau ingat kembali, pada kehidupan pertamamu, kau berhasil bertahan sampai usia 70 tahun di dunia persilatan sambil mengandalkan ilmu yang tidak seberapa dan bakat yang buruk. Apa kau lupa hal yang telah membuatmu bisa bertahan hidup sampai akhirnya menemukan Kitab Al-Hikam?"
Evindro menggigit bibirnya dan terus menyerang.
"Ah, reaksimu menunjukkan kau menyadarinya tetapi kau menolaknya. Benar, yang membuat pedang ini menjadi tajam, tidak terkalahkan dan terus melindungi nyawamu adalah keinginan untuk balas dendam. Tekad tersebut yang membuatmu berkali-kali menolak untuk mati meskipun sudah diujung tanduk."
Evindro terus menyerang menggunakan Ilmu Pedang Ilusi, berusaha melampaui Qorin namun pedangnya ditangkis oleh lawan dan dirinya terpental mundur cukup jauh.
"Lemah, andaikan seperti dulu, kau membawa pedang yang berisi dendam selama puluhan tahun, kau tidak akan terkalahkan. Kau sudah menjalani kehidupan keduamu hampir selama sepuluh tahun dan kau melupakan rasa dendammu, pedangmu kosong dan tidak berarti."
Qorin menunjuk pedang di tangan Evindro yang kini patah menjadi dua. Evindro menancapkan pedang yang tersisa ke tanah sebelum mengambil pedang lainnya.
Kali ini Evindro tidak langsung menyerang, melainkan memandangi pedang yang ada di tangannya. Dia menatap pedang tersebut cukup lama sebelum tersenyum lebar.
"Aku mengerti sekarang, kau benar... Pedang yang selama ini aku ayunkan kosong." Evindro mengayunkan pedangnya pada Qorin, "Kalau begitu aku akan mengisinya dengan sesuatu yang kutemukan selama beberapa tahun terakhir..."
Evindro dan Qorin kembali beradu jurus, mulai dari sepuluh jurus naik ke dua puluh, empat puluh, enam puluh sampai akhirnya seratus jurus.
Tidak berhenti disitu, perlahan-lahan jumlah jurus yang digunakan terus meningkat sampai dua ratus, tiga ratus bahkan melebihi lima ratus jurus.
Qorin yang biasanya selalu tenang mulai berubah raut wajahnya, "Kau... Bagaimana bisa?"
Pedang Qorin dilucuti dari tangannya, pedang tersebut terlempar menjauh dan akhirnya menancap ke tanah sementara pedang Evindro mengarah ke leher Qorin.
"Aku menyadari teknik pedangku telah melampaui kamu, tetapi keraguanku membuatmu bisa membaca semua pola serangan ku. Kau benar, aku mulai bertanya apa yang aku perjuangkan dalam kehidupan kedua ini? Untuk apa aku kembali ke dunia asalku? Setelah menemukan jawabannya, pedangku menjadi tidak terkalahkan."
Qorin tersenyum sebelum tertawa lepas, "Jadi apa yang mengisi pedangmu sekarang?"
"Harapan... Aku bertarung demi orang-orang yang telah tiada pada kehidupan sebelumnya namun di kehidupan kedua ini, orang-orang yang ingin aku lindungi masih bernafas. Aku tidak bertarung sendiri dan membawa harapan mereka semua, harapan terhadap kedamaian."
Qorin memejamkan mata sambil menunduk ke bawah, "Harapan ya... Kurasa tidak terlalu buruk."
"Aku berusaha menemukan cara terbaik untuk mencapai kedamaian, aku akan menggunakan kemampuanku sebaik mungkin."
"Aku percaya padamu..." Qorin perlahan-lahan mulai menghilang, "Hei, setidaknya luangkan waktumu untuk mencari pasangan hidup, jangan ulangi kehidupan lalu kamu yang kesepian itu."
Evindro terbatuk-batuk pelan, sementara Qorin tertawa keras. Seiring menghilangnya Qorin, dimensi tempat Evindro berada mulai runtuh.
Perlahan-lahan semua pandangan Evindro menjadi gelap, dia kembali merasakan dirinya berada dalam posisi duduk bersila. Evindro mulai mengeluarkan asap putih serta cairan kental berwarna hitam keluar dari pori-pori kulit di seluruh tubuhnya.
Perasaan pertama yang menyerangnya adalah rasa lapar yang hebat, Evindro membuka mata dan menemukan tubuhnya tinggal tulang serta kulit saja. Selain itu tubuhnya yang kini diselimuti cairan hitam lengket serta berbau busuk seperti kotoran sulit digerakkan. Cairan hitam tersebut dikenal sebagai kotoran batin, bagian yang tidak diinginkan dalam tubuh manusia yang bisa menghambat perkembangan bela diri sekaligus mempercepat penuaan.
Ketika seseorang mencapai tingkat Pendekar Suci, mereka akan mengeluarkan cairan tersebut dari tubuh yang menyebabkan kondisi tubuh mereka jauh lebih baik dari manusia biasa serta membuka akses pada delapan gerbang rahasia pada tubuh manusia.
Manusia pada umumnya hanya bisa menggunakan 20% dari seluruh potensi kekuatan yang terkandung dari tubuhnya tetapi dengan membuka delapan gerbang tersebut maka manusia bisa menggunakan seratus persen bahkan lebih potensi kekuatannya.
Hal ini yang membuat pendekar suci biasanya bisa lima sampai sepuluh kali lebih kuat dari Pendekar Raja.
Evindro bangkit dari posisi bersila, meski awalnya dia merasa lemah tetapi setelah menggunakan tenaga dalam dirinya tidak mengalami kesulitan bergerak.
Evindro meninggalkan kediamannya dan menemukan hari sudah tengah malam, Nacha terlihat sedang memasak daging siluman dalam jumlah besar.
"Evindro akhirnya kau... Ugh! Tubuhmu sangat bau! Cepat bersihkan dulu dirimu sebelum mendekatiku!" penciuman Nacha tajam jadi meski jarak keduanya cukup jauh tetapi aroma tubuh Evindro tercium jelas oleh hidungnya.
Evindro menggaruk kepalanya dengan canggung, dia merasa malu. Evindro pergi mencari tempat untuk membersihkan diri dan mengganti pakaiannya sebelum mendatangi Nacha kembali.
"Makanlah dulu, kau pasti kelaparan, kita bisa bicara setelah kau selesai makan."