aku temani dia saat hidupnya miskin, bahkan keluarganya pun tidak ada yang mau membantu dirinya. Tapi kenapa di saat hidupnya sudah memiliki segalanya dia malah memiliki istri baru yang seorang janda beranak 2? Lalu bagaimana denganku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DITNTUT
Motor tua itu kembali meraung saat Ramli menghidupkannya lagi. Tapi suara mesin itu tak lebih keras dari suara tekanan dalam batinnya. Di satu sisi, ia takut kehilangan Wulan. Di sisi lain, ia tahu hidupnya hanya bergantung dari kemurahan hati Rukayah yang sudah capek disakiti tapi masih mau memberinya kesempatan.
Dan ia tahu, kalau ketahuan satu kali saja mencuri uang toko—semuanya bisa hancur. Tidak hanya pernikahan keduanya, tapi juga harga dirinya sebagai lelaki.
Terkadang, Ramli sempat terpikir: apakah ia harus menjual motor bututnya itu saja? Motor yang sudah menemaninya bertahun-tahun, meski sekarang sering mogok dan lebih banyak batuk-batuk ketimbang melaju. Tapi hanya itu satu-satunya miliknya yang tersisa. Yang bisa ia klaim sebagai milik pribadi. Sementara kendaraan lainnya—mobil pick up toko, motor matic, bahkan sepeda listrik milik anak Rukayah—semua disita dan dilarang disentuh tanpa izin.
Ia ingat betul kalimat istrinya waktu itu.
"Bapak bisa pakai mobil atau motor kalau minta izin dulu. Dan jangan harap kunci dipegang sendiri. Semua saya simpan."
Dan memang benar, kunci kendaraan kini tergantung rapi di laci ruang kerja Rukayah, terkunci dengan gembok kecil.
“Kalau dijual... berapa sih? Paling banter sejuta lebih dikit…” gumam Ramli, menatap spion yang sudah retak. “Tapi kalau dijual, aku jalan ke toko naik apa?”
Ia tertunduk di atas motornya. Jalan kaki bukan pilihan, toko berjarak hampir 7 kilometer dari rumah kontrakan. Naik ojek? Mana ada ojek di kampung ini. Mau pinjam motor orang? Malu. Gengsi. Harga dirinya yang sudah diinjak-injak terlalu banyak, tapi tetap ia genggam sisanya kuat-kuat.
Motor tua itu jadi satu-satunya kebebasan yang ia miliki sekarang. Satu-satunya yang tidak dikendalikan oleh Rukayah.
"Kalau motor ini dijual," desahnya, "tinggallah aku sepenuhnya jadi laki-laki tua tanpa apa-apa..."
Ia kembali menyalakan mesin yang langsung batuk-batuk dan nyaris mati. Tapi akhirnya hidup juga. Seolah motor itu mengerti bahwa satu-satunya alasan ia masih menyala adalah karena mereka saling membutuhkan.
Dengan napas panjang dan hati kacau, Ramli kembali melaju menuju toko.
Sesampainya di toko, Ramli langsung membuka pintu rolling door yang berat itu. Suara gesekannya beradu dengan lantai semen, nyaring dan serak—seperti suara hatinya yang sudah lelah. Ia menatap toko material yang sudah dibangunnya sejak nol, dengan kerja keras dan keringat, saat belum ada siapa-siapa yang percaya padanya… kecuali Rukayah.
Beberapa karyawan mulai berdatangan. Ada Asep yang biasanya datang paling pagi, disusul oleh Darto dan Eko yang langsung menuju gudang belakang.
“Pagi, Pak Ramli,” sapa Asep sopan sambil menaruh helm.
Ramli tersenyum kecut dan hanya mengangguk. Ia langsung menuju meja kasir, tempat biasa Rukayah duduk memantau penjualan melalui kamera dan catatan stok.
Tapi pagi ini meja itu kosong.
"Alhamdulillah Rukayah belum datang," batinnya. Kesempatan.
Ramli berpura-pura mengecek catatan pembukuan, padahal matanya melirik-lirik ke arah laci tempat uang tunai biasa disimpan sebelum disetorkan ke rekening toko. Ia tahu Rukayah biasanya mengambil sebagian uang sore hari, jadi pagi ini masih ada cukup banyak uang tunai di sana.
Ia membuka laci pelan. Ada beberapa bendel uang seratus ribuan yang sudah dihitung dan disusun rapi.
Jantung Ramli berdetak cepat.
"Kalau aku ambil dua juta saja… mungkin nggak ketahuan. Bisa bilang untuk bayar barang, atau bayar tukang..."
Tangannya mulai bergetar saat hendak menyentuh bendel itu. Tapi tiba-tiba suara Asep dari belakang membuatnya tersentak.
“Pak, ini nota pembelian semen kemarin, mau saya simpan di laci atau meja kasir?”
Ramli buru-buru menutup laci dan menarik napas panjang.
“Simpen aja dulu di rak nota, Asep,” jawabnya cepat.
Asep mengangguk, tak curiga.
Ramli duduk dan menutupi wajahnya dengan tangan.
Ia tahu betul… sekali saja ia ambil uang itu tanpa izin, kalau sampai Rukayah tahu, habislah dia. Bukan cuma harga dirinya, tapi mungkin juga pernikahannya dengan Wulan akan jadi bahan tertawaan.
Namun di sisi lain, suara Wulan di pagi tadi masih menggema di telinganya.
“Mas harus kasih Wulan uang! Anak-anak butuh makan, kontrakan harus dibayar! Kalau nggak sanggup, Wulan balik aja ke mantan suami!”
Ramli kembali menoleh ke sekeliling. Ia memastikan tidak ada satu pun karyawan yang memperhatikan gerak-geriknya. Asep sedang menyapu bagian depan toko, sementara Eko tampak sibuk mencatat stok barang di rak cat.
Dengan hati-hati, Ramli membuka sedikit laci kasir. Uang tunai di dalamnya terlihat begitu menggoda. Hanya beberapa lembar, batinnya, untuk Wulan dan anak-anaknya. Nanti ia cari cara mengembalikan.
Tangannya mulai masuk ke dalam laci…
Kringgg! Kringgg!
Tiba-tiba ponselnya berdering keras.
Ramli sontak kaget dan hampir menjatuhkan ponselnya sendiri. Jantungnya seperti berhenti berdetak sesaat. Ia buru-buru menutup laci dan merogoh saku. Layar ponselnya menyala dengan nama "Ibu" tertera jelas di sana.
"Astaghfirullah... Ibu..." gumamnya panik.
Dengan tangan gemetar, ia mengangkat panggilan itu dan menjauh sedikit dari meja kasir.
"Halo, Bu...," suaranya bergetar.
"Ramli… kamu di toko, Nak?" Suara ibunya terdengar lemah tapi tegas.
"Iya, Bu… ada apa?"
"Ibu butuh uang. Bulan ini belum kamu kirim. Pamanmu mau pinjam juga buat bayar cicilan. Kamu tahu sendiri kami nggak punya siapa-siapa selain kamu."
Ramli terdiam. Ingin rasanya ia berkata bahwa uangnya kini bukan lagi miliknya sepenuhnya. Ingin ia jelaskan kalau semua diatur oleh Rukayah—dari toko hingga keuangan pribadi. Tapi ia tahu, ibunya tidak akan mau mendengar alasan itu.
"Ramli! Kamu dengar nggak omongan Ibu tadi?" suara perempuan tua di seberang terdengar begitu keras.
"Iya, Bu… Ramli denger," jawabnya pelan.
"Lalu kenapa diem aja? Sudah tiga bulan kamu nggak kirim sepeser pun! Semenjak kamu menikah lagi sama janda, uang bulanan jadi distop. Apa kamu pikir Ibu dan adik-adikmu bisa makan dari angin, hah?!"
Ramli hanya bisa diam, menunduk, menggenggam ponsel dengan gemetar. Matanya menatap kosong ke arah laci kasir yang kini seperti menertawakannya.
"Ibu tahu kenapa kamu begini! Semua ini gara-gara kamu tergoda sama janda kampungan itu! Sekarang, harta yang kamu kumpulin sama istrimu malah dikuasai sama Rukayah! Dan kami, keluargamu sendiri, dilarang dapat bagian?! Apa kamu nggak malu sama orangtuamu, Li?!"
Suara ibunya meninggi, menyayat telinga Ramli. Ia memejamkan mata. Semua kata-kata itu benar. Ini memang kesalahannya. Ia yang menghancurkan semuanya—rumah tangga, kepercayaan, dan nama baik keluarga.
"Maaf, Bu…" ucapnya pelan, nyaris tak terdengar.
"Maaf? Kamu pikir maaf cukup? Adikmu harus berhenti kuliah! Pamanmu hampir ditagih debt collector! Kalau ayahmu masih hidup, kamu pasti sudah diusir dari keluarga!"
Ramli menghela napas berat. "Bapak..." gumamnya, hampir tidak sadar menyebut kata yang selama ini selalu dia banggakan sebagai sapaan dirinya. Kini, ia merasa tidak pantas lagi.
"Ibu, Ramli janji... Ramli akan cari cara," katanya pelan.
"Cari cara? Jangan janji doang, Li! Sekarang juga kamu kirim uang, atau Ibu sendiri yang akan datang ke rumah istrimu dan bicara langsung sama Rukayah!"
Klik.
Telepon ditutup lagi.
Ramli terpaku. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat, keringat dingin mengalir di pelipis. Ucapan ibunya barusan bukan sekadar ancaman. Jika ibunya benar-benar datang ke rumah, semuanya akan lebih kacau.
Ia menatap laci toko itu untuk ketiga kalinya pagi ini.
Kini, suara di kepalanya jauh lebih bising dari sebelumnya.