Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.
Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.
Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.
Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Takut
..."Sedikit bantuanmu membuatku terlepas dari derita ini"....
...•...
...•...
Bingung, dan termenung Arlan di taman sekolah dengan menggenggam kedua tangannya. Gio memang terlalu kejam mengenai nilai kepadanya dan juga Variel, tapi pria itu tetap Papanya. Dan Arlan akan tetap menyayanginya walaupun sikap pria itu seperti itu dengan dirinya dan adiknya. Ia berusaha untuk membahagiakannya walaupun dalam sebuah tekanan.
Haruskah Arlan terus terang? Bukankah Gio dapat memikirkannya dengan logika? Jika kedua Putranya sangat tertekan dengan sikap tekanan nilai yang pria itu berikan.
Arlan tidak tahu harus bagaimana. Di sisi lain, kedua lembaran yang bernilai buruk menurutnya telah disembunyikan Variel di sekolah bocah itu. Dan lembaran kemarin di bawah kasur. Ia juga tidak mau jika adiknya mendapatkan ucapan kurang mengenakkan dari orangtuanya sendiri. Itu akan membuat hati bocah itu tersakiti dan teriris di usianya yang sangat muda untuk mendapatkan sebuah ucapan kasar namun tenang dari pria yang memiliki hubungan darah dengannya.
Ia mengakuinya, jika saat beberapa ujian akan dilaksanakan. Arlan bukannya belajar, justru bermain dengan ponselnya. Ia lelah, lelah dengan tekanan dan belajar terus-menerus. Sekuat-kuatnya ia belajar hingga mimisan pun tidak akan membuat pria itu senang jika hasilnya tidak memuaskan untuk papanya.
"Mungkin, harus jujur," lirih Arlan, menatap tangannya yang sedang meremas minuman kaleng.
"Jujur apa?"
Sontak Arlan terkejut dengan kedatangan Zea yang tiba-tiba berada di sampingnya dan dengan tatapan aneh itu.
"Enggak ada."
"Gua mau tanya."
Arlan menatap gadis di sebelahnya dengan serius dan membalas tatapan Zea yang entah kenapa membuat Arlan ingin mengetahui lebih tentang gadis itu.
"Apa?" tanya Arlan, dengan nada bicara datar.
"Variel kenapa nggak keluar waktu gua ke rumah lo? Adik lo kayak kesepian banget gitu, padahal rumah lo deket sama taman kota yang biasanya banyak bocil-bocil main di sana."
Arlan membuang wajahnya. Rasa ingin menjawab pertanyaan tersebut, tapi ia tidak ingin orang lain tahu tentang keluarganya yang seperti ini. "Dianya yang nggak mau," bohong Arlan.
Sementara itu di sekolah Variel, bocah itu diam di bangkunya. Menatap teman-temannya yang lain sedang bermain dengan yang lainnya dengan para guru-guru yang lainnya. Bukan karena tidak ingin bermain, tapi di depannya, di atas mejanya. Sebuah buku yang Gio berikan kepada abangnya waktu itu telah terbuka lebar di halaman tengah.
Muak, Variel juga ingin bermain dengan teman-temannya yang lain. Ia ingin merasakan apa yang anak-anak lainnya rasakan di sekolah selain belajar. Meremas ujung buku itu dengan wajah sedihnya menatap tulisan-tulisan yang membuatnya ingin memuntahkan isi perutnya.
"Variel! Sini!" ajak wali kelasnya.
Variel menggeleng dengan tersenyum tipis pada gurunya. "Tidak, Bu."
Karena kelasnya ramai, Variel mengambil bukunya dan keluar untuk membaca di depan kelasnya. Walaupun sama ramainya, tapi tidak seramai di dalam kelasnya. Jujur saja, saat ia menolak ajakan ibu wali kelas. Jauh di lubuk hatinya, bocah itu sangat ingin bermain bersama di sana.
Di dalam kelasnya, ibu wali kelas tadi menatap kepergian Variel dengan tatapan aneh. Wanita itu sudah tahu jika Variel tidak jauh dari kata introvert. Tapi bocah itu masih terlalu muda untuk benar-benar merasakan sebuah tekanan dunia.
"Kenapa?" Tanya Zea lagi.
"Lo nggak perlu tau," jawab Arlan. Ia melemparkan bekas minuman kalengnya ke tempat sampah di dekatnya dan beranjak meninggalkan Zea yang menatap punggungnya menjauh.
"Gua emang nggak tau apa-apa soal lo, tapi keadaan adik lo kayak bener-bener kesepian," kata Zea. Ia beranjak dari duduknya dan meninggalkan taman.
...••••...
Variel membulatkan matanya melihat Gio di ambang gerbang sekolah. Ia hampir tidak mempercayai ini, pria itu sendiri yang menjemputnya. Dan bukan sopir yang biasanya. Karena pakaian formal serta berpakaian sangat rapi hingga ujung rambut sampai kaki. Itu membuatnya mencolok dan menjadi pusat perhatian wali murid lainnya.
Berlarian ke arah Gio dengan tersenyum senang karena pria itu sendiri yang menjemputnya sudah membuatnya bahagia. Sederhana bukan? Tapi sangat bermakna.
"Papa jemput aku?" Tanya Variel.
Gio tersenyum tipis menatap manik mata Variel. "Iya. Pulang, yuk?"
Variel mengangguk cepat. Sedikit terkejut dengan tangan Gio yang tiba-tiba menggandengnya untuk menuju mobil di sisi jalan. Baru saja melangkah beberapa langkah. Seorang wanita berjalan cepat menuju kearahnya dengan menggenggam tiga lembaran serta memanggil-manggil nama Variel.
Variel berbalik dengan senyuman yang belum juga luntur dari wajahnya. Namun, saat manik matanya mendapatkan tiga lembaran yang wali kelasnya bawa. Itu membuatnya memudarkan senyumannya dan membuat jantungnya berdetak kencang.
Apa itu lembaran hasil ujian abangnya? Mungkinkah?
Meneguk salivanya dengan kasar dan melepaskan genggaman tangan Gio, Variel mendekati wali kelasnya yang berjalan cepat kearahnya dengan tersenyum ramah.
"Punya kamu, kan? Ada nama Abang kamu di sini. Abang kamu pintar, ya? Nilainya aja bagus," kata wali kelasnya.
Variel hanya tersenyum tipis dengan tangannya yang menerima ketiga lembaran tersebut. "Terima kasih, Bu."
Setelah itu, Variel kembali mendekati Gio dan menundukkan kepalanya untuk berpamitan kepada wali kelasnya sebelum berbalik melewati gerbang masuk sekolah. Wali kelasnya hanya tersenyum dengan melambaikan tangannya.
"Itu apa?" Tanya Gio.
"Bukan apa-apa. Cuman gambaran aku yang ketinggalan."
"Iya? Coba papa lihat." Tangan Gio hampir menyentuh ujung kertas tersebut, tapi langsung Variel tarik agar pria itu tidak dapat meraihnya.
"Jangan! Jelek soalnya," kata Variel. Ia menyembunyikan ketiga lembaran tersebut di belakang punggungnya.
Suasana sunyi menyelimuti karena tidak adanya percakapan di mobil. Variel menatap keluar jendela dengan ekspresi wajah sedihnya. Jantungnya berdetak tidak karuan karena perihal benda yang ia sembunyikan.
Hari-hari seakan-akan tiada ketenangan. Variel tidak menyukainya jika seperti ini. Dunianya seperti mengendalikan dirinya di bawah tekanan yang tidak bisa ia bantah.
Bocah itu mencoba untuk menutup matanya, mencari sebuah ketenangan. Karena tidur adalah sebuah obat untuk penenang pikiran. Bagi Variel dan Arlan. Walaupun terkadang tidak bisa tidur karena memikirkan sebuah masalah, tapi mereka akan terus mencobanya. Sebab hal tersebut dapat membuat mereka melupakan masalah tersebut sementara waktu dan tenggelam dalam dunia gelap dengan ketenangannya.
...••••...
...Tersesat di dunia ini. Tenggelam dengan semua keresahan dan tekanan pikiran. Dialah pengendalinya jika kau tidak melakukan sebuah perlawanan....
...Membuat sebuah mimpi seakan-akan mustahil untuk terwujud, karena alur seolah-olah menolaknya terus-menerus....
...Jangan berhenti, ini adalah tengah jalannya. Jadi, jangan berhenti di tengah jalan dan terus berjalan hingga mencapai cahaya....
...Jangan biarkan ketakutan, keresahan, serta rasa putus asa, dan air matamu sia-sia untuk meraihnya karena sebuah cobaan di tengah jalan yang menggoyangkan kegigihanmu....
...Di mana tekad kuatmu yang kau miliki di awal jalan? Apakah sudah menghilang? Menghilang begitu saja?...
...Jangan pecundang! Bahkan orang pecundang saja juga ingin memiliki masa depan....
...Seseorang menjawab kata-kata di atas dengan kalimat, "Aku tidak memiliki masa depan karena ketergantungan pada orang lain. Aku hanya menunggu ajal menjemput dan ingin tertidur lama karena lelah dengan dunia ini."...
...Lalu? Apakah kau akan membiarkan duniamu memakanmu? Dan terus menghujammu dengan kekejaman alurnya?...
...Bahkan saat tertidur juga terdapat alur mimpi. Lalu dia menjawab, "Setidaknya aku merasakan kebahagiaan karena orang di dalam mimpi itu tidak aku kenali. Tidak seperti di dunia ini yang banyak mengenalku tapi menjadi seorang pengkhianat."...
...Mungkin, kau terlalu lelah dengan duniamu. Bahkan, kau sudah siap jika ajal menjemputmu. Padahal, di sana akan ada alur lain yang tidak bisa manusia usahakan lagi. Karena usaha mereka itu di dunia....
..."RASA KETAKUTAN ITU MENYELIMUTIKU, DAN KEBAHAGIAAN SEOLAH-OLAH ENGGAN UNTUK MENGHAMPIRIKU!"...
..."Aku, tertekan perihal ini. Biarkan aku menenangkan jiwa yang tersakiti dengan tidur dalam gelapnya."...
...••••...
Variel mengucek matanya melihat sekitar, ini kamarnya. Sontak ia membulatkan matanya. Apakah Gio yang memindahkannya? Dan di mana ketiga kertas tersebut?
Mencari grasak-grusuk dari tas sekolah dan meja di kamarnya, tapi tidak ada. Variel berlarian menuju ruang kerja Gio dan dengan tanpa seizin orang di dalamnya, ia membukanya secara kasar karena terlalu gegabah.
"Mana kertas yang tadi aku bawa?" Tanya Variel saat pintu terbuka dengan lebar.
Hampir saja Gio terkejut dengan benturan pintu ruang kerjanya yang keras. Ia menatap Variel yang tengah menatapnya di ambang pintu sana.
"Mungkin masih ada di mobil. Memangnya kenapa? Kok kamu ketakutan gitu?" Tanya Gio. Karena terlihat jelas jika raut wajah Variel tengah khawatir dan ketakutan.
"Nggak apa-apa. Takut orang lain lihat," jawab Variel. Ia menutup pintu ruang kerja Gio kembali dan menuruni tangga menuju garasi.
Bocah itu bernafas lega saat mendapati ketiga kertas tersebut di kursi penumpang di samping pengemudi. Sore ini sedikit mendung, dan abangnya belum juga pulang. Variel menekuk ketiga kertas tersebut, dan melenggang pergi dari garasi.
Saat di ruang tamu, ia mendengarkan suara gerbang rumah terbuka dan berbalik untuk menghampiri orang yang akan memasuki rumah. Itu pasti Arlan.
Arlan tersenyum tipis saat melihat Variel yang berdiri di ambang pintu rumah. Namun, ia mengerutkan keningnya saat melihat raut wajah adiknya yang seperti orang ketakutan dengan segala kekhawatirannya.
"Kenap-"
Tiba-tiba Gio keluar dari balik pintu yang setengah terbuka dan berdiri di samping Variel. Bocah itu langsung meneguk salivanya dengan kasar dan mulai memutar tubuhnya untuk berhadapan dengan Gio dengan menyembunyikan ketiga kertas tersebut di punggungnya.
Karena merasa aneh dengan sikap putra bungsunya, Gio langsung menyahut ketiga kertas tersebut dengan kasar dan membuka lipatannya. Yang ia lihat hanya pulasan warna Variel yang sedang mewarnai gambar rumah di pegunungan. Namun, kertas kedua dan ketiga membuat ia membulatkan matanya dan menatap Arlan dengan tatapan menusuk.
"Kamu masuk, Riel," suruh Gio. Tanpa melirik, menatap Variel terlebih dahulu. Justru pria itu menatap lurus ke depan, ke arah putra sulungnya.
Variel melirik abangnya yang hanya mengangguk kepadanya. Namun, ia masih tetap berdiri di tempatnya dan enggan untuk melenggang pergi ke dalam untuk menuruti ucapan Gio.
...••••...
...TBC....