Hafsah bersimpuh di depan makam suaminya, dalam keadaan berbadan dua. Wanita berjilbab itu menumpahkan rasa lelah, atas kejamnya dunia, disaat sang suami tercinta tidak ada lagi disisinya.
Karena kesalahan dimasa lalu, Hafsah terpaksa hidup menderita, dan berakhir diusir dari rumah orang tuanya.
Sepucuk surat peninggalan suaminya, berpesan untuk diberikan kepada sahabatnya, Bastian. Namun hampir 4 tahun mencari, Hafsah tak kunjung bertemu juga.
Waktu bergulir begitu cepat, hingga Hafsha berhasil mendapati kebenaran yang tersimpan rapat hampir 5 tahun lamanya. Rasa benci mulai menjalar menyatu dalam darahnya, kala tau siapa Ayah kandung dari putrinya.
"Yunna ingin sekali digendong Ayah, Bunda ...." ucap polos Ayunna.
Akankan Hafsah mampu mengendalikan kebencian itu demi sang putri. Ataukah dia larut, terbelunggu takdir ke 2nya.
SAQUEL~1 Atap Terbagi 2 Surga~
Cuma disini nama pemeran wanitanya author ganti. Cerita Bastian sempat ngegantung kemaren. Kita simak disini ya🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 9
Yang pertama mbok Nah lakukan, dia memegang kaki sang cucu. Lalu berpindah pada tangan, serta dahi Raga. Wajah tua itu terlihat tenang, walaupun hatinya menjerit penuh tangisan.
Dan yang terakhir, tangan mbok Nah berhenti pada hidung sang cucu. Bibir mbok Nah melekuk indah, serta wajahnya penuh keikhlasan. Dia tidak mungkin menangis saat ini juga, mengingat cucunya sedang mengandung besar.
"Tidur yang nyenyak, Sayang! Sudah tidak sakit lagi," bisik sang Nenek, lalu mencium kening Raga begitu lama.
Hafsah sudah tidak kuat. Tubuh besarnya luruh diatas lantai, saat yang dia takutkan kini menjadi kenyataan. Mbok Nah beranjak menghampiri dia. Wajahnya begitu tenang, namun menyimpan sejuta luka.
"Suamimu sudah tidur dengan nyenyak, Sah! Jangan ditangisi ... Nanti memberatkan langkahnya!" gumam mbok Nah mengusap pundak Hafsah.
Hafsah segera bangkit. Dadanya terasa sesak. Dia langsung menghambur memeluk tubuh yang sudah tida berjiwa itu.
Dan telat pukul 09.00 pagi, Ragantara benar-benar tertidur untuk selama-lamanya.
"Mas, kamu bilang hanya tidur. Tapi kenapa kamu nggak bangun lagi. Ya ALLAH, Mas ... Ayo bangun, Mas! Kamu sudah berjanji akan menemani aku melahirkan. Kamu juga sudah berjanji akan menggendong bayi kita." Tangisan Hafsah terdengar miris, hingga dia langsung lemas hampir pingsan.
Mbok Nah, entah terbuat dari apa hatinya. Dia begitu tabah menjalani ujian demi ujian yang berlalu dalam hidupnya.
--------
"Hafsah ... Sudah nak, ikhlaskan suamimu! Tidak baik berlama-lama disini. Ingat, kamu sedang hamil besar," ucap mbok Nah, nenek dari Ragantara.
Perlahan, Hafsah mulai menyeka air matanya, dia mendongak sekilas kearah sang Nenek, lalu kembali mengusap nisan Raga, sebagai bentuk pamitan.
"Aku pulang dulu ya, Mas! Besok-besok aku pasti akan mengunjungimu lagi."
Dan setelah itu, mbok Nah membantu Hafsah untuk bangkit. Walaupun hati kecil Hafsah tidak rela meninggalkan pusara itu, tetapi dia tidak berdaya akan kehamilannya saat ini. Jika saja Hafsah dapat sehisteris itu saat kehilangan Raga, lalu bagaimana kabar mbok Nah yang sejak dulu merawat Raga, setelah ibunya meninggal.
Kabar duga itupun sampai ke telinga kedua orang tua Hafsah. Bukanya ikut berbela sungkawa, pak Mulyo dengan sombongnya hanya berdecih, merasa puas, karena pria yang dianggapnya sebagai beban sang putri, kini sudah mati.
"Ayo kita kesana, Pak! Kasian Hafsah pasti sendirian," pinta bu Mirna mengajak suaminya.
"Tidak sudi! Bagus jika pria itu sudah mati! Jika ibu kesana, kesana aja sendiri! Bapak sibuk!" jawab Pak Mulyo acuh.
Mau tidak mau, bu Mirna datang melayat mengajak adiknya yang bernama Satrio. Mereka berangkat menggunakan mobil Satrio tepat pukul 15.00 sore.
Karena baru pertama datang, bu Mirna agak kesusahan mencari alamat menantunya itu. Rumah Raga memang berada di Kota. Namun kediamannya lebih sederhana dibanding rumah Dinas yang diberikan oleh bosnya dulu.
Mobil Satrio terpaksa berhenti, pinta bu Mirna yang ingin bertanya terlebih dahulu. Mengingat ponsel Hafsah mati, jadi mereka berdua begitu kesulitan mencari.
"Oh, almarhum Mas Raga, ya? Ibu lurus dari sini, nanti ada masjid di pertigaan, ibu ambil kekiri. Rumahnya dibelakang masjid!" ucap wanita muda, yang saat ini sedang bermain dengan anaknya.
"Kalau begitu saja permisi, terimakasih!" pamit bu Mirna.
Selang 5 menit, mobil Satrio kembali berhenti disebrang masjid, karena jalanan depan rumah Raga tidak dapat dimasuki oleh mobil.
"Itu rumah menantumu, Mbak? Nyaman sih, tapi lebih kecil dari rumahmu," ucap Satrio menatap bangunan sederhana yang depannya terdapat tenda kematian.
"Sudah, ayo cepet turun!"
Didalam, Hafsah hanya terduduk lemas dengan tatapan kosong kedepan. Hafsah merasakan patah terberat dalam hidupnya. Patah yang dia sendiripun tidak tahu bagaimana cara merangkainya kembali. Separuh jiwa Hafsah ikut terkubur bersama kenangan Raga beberapa jam lalu.
"Assalamualaikum?" salam bu Mirna, sambil mengedarkan mata kedalam rumah.
Di kota berbeda dengan didesa. Setelah acara pemakan selesai. Orang-orang juga ikut bubar, pulang kerumah masing-masing. Sama seperti di rumah Raga saat ini. Yang tersisa hanyalah keluarga inti, dan juga beberapa saudara dekatnya saja.
"Walaikum salam ...." jawab seorang wanita berjilbab hitam, seusia bu Mirna, yang baru keluar dari dalam.
"Saya ibunya Hafsah!" katanya sambil mengulurkan tangan.
"Owalah, ibunya Hafsah ... Mari masuk! Mas, silahkan masuk!" serunya menatap Satrio juga.
Begitu keduanya duduk, wanita yang bernama mbak Siti tadi masuk kembali kedalam, untuk memanggilkan Hafsah.
"Diluar ada ibumu, Sah! Gantilah gamismu, dan cepat keluar," tegur mbak Siti menepuk bahu Hafsah.
Hafsah tersadar. Dia mengusap sisa air matanya, lalu segera masuk kedalam kamar untuk berganti pakaian.
Mbok Nah juga keluar menyalami besannya kini. Wanita tua itu terlihat lebih tabah, walaupun dalam hatinya hancur berkeping.
Hafsah keluar. Wajahnya masih terlihat pucat. Dia duduk disebelah bu Mirna, sambil sesekali mengusap perut buncitnya.
Bu Mirna tidak kuat menyembunyikan air matanya, saat melihat kehamilan sang putri sudah sebesar itu. Sifat kerasnya seketika luntur, bersamaan tangan yang terulur untuk mengusap perut sang putri.
"Maafkan ibu, Sah! Maaf jika ibu baru datang!" sesal bu Mirna menitikan air mata.
Melihat ada beberapa tetangga yang melayat, mbok Nah menatap sang cucu, untuk menemui para tetangganya dulu.
"Simbok tinggal dulu! Saya keluar dulu, bu Mirna," pamit mbok Nah, membiarkan besan serta cucunya untuk bercengkrama.
Tatapan Hafsah masih seperti semula. Kosong tak berarah. Namun semua ucapan ibunya dapat terdengar oleh telinganya. Bibirnya yang pucat kini mulai bersuara,
"Mas Raga sudah meninggalkan Hafsah, Bu! Perginya tidak sebentar, tapi selamanya. Pamitnya begitu tenang, hingga Hafsah tertipu dengan kesembuhan penyakitnya saat itu!"
Tangisan Hafsah pecah lagi. Bu Mirna juga ikut menangis, merasa iba menatap keadaan putrinya saat ini. Tanganya terulur merengkuh pundak sang putri.
"Lahiran di rumah ya ... Agar ibu dapat merawat bayimu juga!" pinta bu Mirna disela isakan tangisnya.
Hafsah tidak dapat melakukan itu. Disana ada mbok Nah. Wanita tua yang sudah Hafsah anggap sebagai Neneknya sendiri. Hafsah dapat melihat ketenangan mata Raga, dalam kelopak mata sang Nenek. Hafsah tidak akan tega meninggalkan wanita tua itu, hidup sebatang kara. Dan rumah itu ... Hafsah juga tidak akan keluar dari rumah sederhana, yang sudah Raga usahakan untuk hidupnya.
"Hafsah akan lahiran disini, Bu! Jika ibu berkenan datang, maka datanglah. Jika tidak, cukup ibu doakan agar persalinan Hafsah menjadi lancar! Hafsah tidak mungkin meninggalkan Simbok, hidup sendiri diusianya yang renta! Dialah satu-satunya orang yang merawat Raga sejak bayi. Mengorbankan apa yang dia punya, demi melihat cucu semata wayangnya bahagia. Tapi Bapak dan Ibu malah mematahkan harapan wanita tua itu. Walaupun Hafsah hidup sederhana seperti ini ... Mas Raga tidak pernah memperlakukan Hafsah secara hina!"
Kalimat Hafsah bagai belati tajam, yang mampu merajam hati bu Mirna saat ini. Dia seketika menundukan wajah. Merasa sesal atas sikapnya terhadap Raga saat dulu. Padahal, menantunya dulu mau bertanggung jawab kepada putrinya. Walaupun bayi itu bukan darah daging Raga.
"Jikapun kamu merasa sesal, itu semua percuma, Bu! Mas Raga sudah pergi. Sudah tidak ada lagi yang bakal ganggu kalian! Aku akan tetap disini. Dirumah ini!" imbuh Hafsah yang kini masih menatap lurus kedepan.
"Baiklah, Ibu hargai keputusanmu. Beri kabar Ibu, jika bayimu sudah lahir! Nanti ibu akan temani, rawat kamu disini."
"Sampaikan pada Bapak ... Maaf, jika Hafsah belum dapat melunasi uang Ibu. Pasti secepatnya akan Hafsah lunasi! Ibu tenang saja," jawab Hafsah.
"Ibu tidak pernah mempermasalahkan uang, Nak! Kamu jangan dengarkan ucapan Bapakmu. Uang ibu, juga uangmu."
Hafsah masih teringat betul, disaat dia datang meminjam uang kepada orang tuannya. Dan hal itu membuatnya semakin sesak.
Malam harinya.
Tepatnya seusai acara pengajian. Hafsah kembali masuk kedalam kamar, tepat pukul 10 malam.
Hafsah menghentikan langkahnya sejenak didepan pintu. Pandanganya langsung terhunus kearah ranjang. Tempat itu, tempat suaminya tertidur, bahkan sampai tidak bangun lagi. Dan pagi tadi, Hafsah masih bercengkrama dengan Raga. Masih seperti mimpi yang Hafsah rasakan saat ini.
Kamar itu mendadak senyap, sama seperti hatinya saat ini. Perlahan kakinya melangkah. Semakin dalam dia masuk, dadanya semakin terasa sesak. Hafsah berhenti, dan duduk diatas ranjang. Dia pandangani bantal milik Raga, bantal yang menjadi saksi suaminya menghembuskan nafas terakhir.
Tanganya terulur mengambil bantal itu. Mendekapnya dengan segenap jiwa. Menghirup aroma Raga, yang kini masih tertinggal dalam bantal itu. Rasa sesak kembali menyeruat didadanya. Entah sampai kapan dia terbelenggu dalam kisah tak berujung seperti ini.
'Jaga sholatmu ya, Dek!'
Hafsah masih mengingat betul, kalimat terakhir yang suaminya ucapkan. Ditengah isakan kecilnya, Hafsah meletakan kembali bantal itu. Dia mengusap perutnya sambil berkata,
"Sayang ... Kita sholat dulu ya! Ayah berpesan, agar kita selalu menjaga ibadah kita! Ayah sudah ke Surga lebih dulu! Kamu yang kuat ya disini sama Bunda. Kita lalui semuanya sama-sama! Dengan itu, Ayah pasti bahagia juga melihat kita," air mata Hafsah berjatuhan membasahi jilbabnya. Tanganya masih sibuk mengusap perut itu, berbicara dengan calon bayinya, sama persis yang sering Raga lakukan dulu.
Setelah menjalankan sholat isyak, Hafsah berhenti diatas meja riasnya. Dia duduk disana, lalu memgambil sebuah surat yang terkemas rapi dalam amplop bewarna putih.
"Dek, sini duduk dulu! Ini Mas ada surat. Surat ini untuk Bastian! Jika suatu saat kamu bertemu dengan dia, maka berikan surat ini. Ingat pesan Mas ... Jangan pernah kamu buka surat ini, sebelum sampai ketangan Bastian. Mengerti!" ucap Raga penuh kelembutan.
Hafsah masih teringat betul ucapan suaminya 1 bulan yang lalu.