follow IG Othor @ersa_eysresa
Di usia 30, Aruni dicap "perawan tua" di desanya, karena belum menemukan tambatan hati yang tepat. Terjebak dalam tekanan keluarga, ia akhirnya menerima perjodohan dengan Ahmad, seorang petani berusia 35 tahun.
Namun, harapan pernikahan itu kandas di tengah jalan karena penolakan calon ibu mertua Aruni setelah mengetahui usia Aruni. Dia khawatir akan momongan.
Patah hati, Aruni membuatnya menenangkan diri ke rumah tantenya di Jakarta. Di kereta, takdir mempertemukannya dengan seorang pria asing yang sama sekali tidak dia kenal.
Apakah yang terjadi selanjunya?
Baca kisah ini sampai selesai ya untuk tau perjalanan kisah Aruni menemukan jodohnya.
Checkidot.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Lima hari berlalu begitu cepat, diwarnai dengan antusiasme dan persiapan kecil. Aruni mengajukan cuti mengajar selama beberapa hari, dan semua kebutuhan perjalanan ke kampung halaman sudah disiapkan. Siang itu, setelah selesai mengajar, Aruni, tante Dina dan si kecil Rubby sudah bersiap akan ke stasiun. Udara di luar terasa hangat, seolah ikut merayakan kegembiraan yang membuncah di hati Aruni.
"Apa semua sudah siap semua, ga ada yang ketinggalan?” tanya Dina, memastikan.
"Siap, Tante! Tinggal berangkat saja," jawab Aruni dengan senyuman yang tak lepas dari bibirnya.
Tepat saat mereka berdua keluar dari rumah, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan gerbang. Kaca jendela perlahan turun, memperlihatkan sosok Rico yang tersenyum menawan di balik kemudi. Jantung Aruni berdesir. Ia tidak menyangka Rico akan menyempatkan diri mengantar mereka.
"Mau ke stasiun, kan?" tanya Rico, senyumnya tak lepas dari Aruni. "Ayo, aku antar saja."
Tante Dina melirik Aruni dan tersenyum simpul. "Wah, repot-repot aja, Rico. Tidak usah, kami bisa naik taksi."
"Tidak apa-apa, Din. Sekalian saja," sahut Rico ramah. "Sudah siap semua, kan? Ayo, biar nggak buru-buru."
Akhirnya, Aruni dan Tante Dina naik ke mobil Rico. Perjalanan menuju stasiun diisi dengan obrolan ringan dan sesekali tawa. Rico tak henti-hentinya menanyakan apakah Aruni sudah mempersiapkan segala keperluannya. Ia tampak sangat antusias dan sedikit gugup, sama seperti Aruni.
Setibanya di stasiun, Rico membantu menurunkan koper-koper mereka. Suasana di peron cukup ramai, orang-orang hilir mudik menunggu kereta datang. Tepat sebelum kereta api tujuan kampung Aruni tiba, Rico mendekati Aruni. Di tangannya, ada sebuah tas kecil yang dibungkus rapi dengan kertas kado berwarna emas.
"Aruni," panggil Rico, nadanya sedikit pelan. "Ini… ada sedikit hadiah dari mama."
Aruni mengerutkan kening, merasa tak enak. "Apa ini?"
"Kaga mama Ini untukmu," ujar Rico lembut, menyodorkan tas itu. "Pesan mama, nanti kamu pakai saat acara lamaran nanti, ya."
Aruni mengambil tas itu dengan rasa penasaran. Tapi dia ingat ucapan Rico, kalau itu harus dia pakai di acara lamaran. Jadi rasa penasaran itu dia buang jauh-jauh dan akan membukanya nanti saat sampai di rumah.
Aruni tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih banyak, Rico. Aku akan membukanya nanti. Sampaikan salam ku pada tante. "
"Nanti akan aku sampaikan. Jaga diri baik-baik di jalan. Nanti kalau sudah sampai, langsung kabari aku, ya," pesan Rico, matanya penuh perhatian.
"Pasti. Kamu juga, hati-hati di jalan pulang," balas Aruni.
Peluit panjang kereta api berbunyi, pertanda sebentar lagi akan berangkat. Setelah berpamitan dengan Rico, Aruni dan Tante Dina segera naik ke dalam gerbong. Aruni melambaikan tangan pada Rico yang masih berdiri di peron, hingga sosoknya tak terlihat lagi seiring melajunya kereta.
Perjalanan kereta api yang cukup panjang dan melelahkan akhirnya usai. Cahaya senja menyambut kedatangan mereka di stasiun desa. Udara pedesaan yang sejuk dan aroma tanah basah setelah hujan sore terasa begitu menenangkan. Tak lama kemudian, sosok Pak Burhan dan Bu Aisyah sudah terlihat menunggu di peron, senyum lebar terukir di wajah mereka.
"Aruni! Dina!" seru Bu Aisyah, langsung menghampiri dan memeluk erat putri dan adiknya. "Alhamdulillah, sudah sampai juga kalian."
"Ayah, Ibu," sapa Aruni, membalas pelukan ibunya dengan erat. "Sehat semua, kan?"
"Sehat, Nak. Kamu juga kelihatan segar," kata Pak Burhan, menepuk pundak Aruni. "Ayo, mari pulang. Pasti capek kan?"
Sesampainya di rumah, suasana hangat langsung menyelimuti. Aroma masakan Ibu yang khas memenuhi udara. Setelah menikmati hidangan sederhana namun lezat, mereka berkumpul di ruang tamu.
"Jadi, bagaimana ini, Nak? Tinggal dua hari lagi, kan?" tanya Bu Aisyah, wajahnya berbinar-binar. "Apa saja yang perlu kita siapkan?"
"Iya, Bu. Rico bilang keluarganya akan datang lusa. Mereka ingin melamar secara resmi," jelas Aruni. "Untuk persiapannya, sepertinya tidak perlu terlalu mewah, Bu. Yang penting sederhana dan khidmat."
Pak Burhan mengangguk setuju. "Betul kata Aruni, Bu. Yang penting niat baiknya. Kita siapkan makanan secukupnya dan tempatnya saja."
Bu Aisyah tampak berpikir sejenak, lalu menatap Aruni dengan tatapan ingin tahu yang besar. "Nak, Ibu masih penasaran, bagaimana sih awal mulanya kamu bisa kenal dengan Rico? Kok bisa sampai sejauh ini? bisa di ceritain pada kami? "
Aruni tersenyum malu. "Begini, Bu… Bapak… Jadi, Aruni pertama kali bertemu Rico itu di kereta, saat Aruni berangkat ke Jakarta pertama kali. Waktu itu, Aruni duduk bersebelahan dengannya.”
Pak Burhan dan Bu Aisyah mendengarkan dengan seksama, karena mereka sangat penasaran.
Aruni terus bercerita ternyata dunia sangat sempit, Rico ternyata teman kerja Om Amar. Dan sering datang ke rumah Om Amar, karena pertemuan itulah benih-benih cinta mulai tumbuh. Dan akhirnya sampai ke jenjang ini.
"Oh, jadi begitu rupanya!" seru Bu Aisyah, matanya membulat. "Pantas saja kemarin Dina bilang Rico kenal dengan Om Amar."
"Lalu, bagaimana dia bisa menyatakan keseriusannya, Nak?" tanya Pak Burhan.
"Dia mengajak aku kerumahnya dan mengenalkanku dengan kedua orang tuanya. Dan saat mau pulang, kedua orang tua Rico bilang ingin melamar ku. Karena Rico sudah mantap, katanya. Jujur, awalnya Aruni sempat ragu," Aruni mengakui, suaranya sedikit merendah. Ia teringat kembali luka masa lalu yang pernah ia alami.
" Waktu itu Aku sempat takut masa lalu terulang lagi, Ayah, Ibu. Jadi, Aku memutuskan untuk melakukan shalat istikharah."
"Shalat istikharah?" ulang Bu Aisyah. "Alhamdulillah, Nak. Itu pilihan yang bijak."
"Iya, Bu. Aruni memohon petunjuk dari Allah, apakah Rico adalah jawaban terbaik untukku," kata Aruni, matanya berkaca-kaca. "Dan… dan jawaban dari shalat istikharah Aruni adalah Rico. Hati Aruni merasa tenang sekali dan yakin setelah itu."
Pak Burhan dan Bu Aisyah saling berpandangan, senyum kebahagiaan dan syukur tergambar jelas di wajah mereka. Mereka tidak hanya bangga dengan pilihan putrinya, tetapi juga dengan cara Aruni mencari petunjuk dari Sang Pencipta.
"Alhamdulillah, Nak. Alhamdulillah Ya Allah," ucap Bu Aisyah, air mata haru menetes di pipinya. "Ibu sama Bapak jadi semakin bahagia dan bersyukur mendengarnya, Nak. Itu berarti Rico memang jodohmu, Nak. Pertanda dari Allah."
"Iya, Nak. Kalau memang itu sudah petunjuk dari Allah, kami tidak akan menghalangi. Kami sangat merestui," tambah Pak Burhan, suaranya penuh kelegaan. "Semoga semua lancar sampai hari H nanti, ya."
Aruni memeluk kedua orang tuanya, merasakan kehangatan dan kasih sayang yang tulus. Ia tahu, dukungan dan restu merekalah yang paling berharga. Dengan hati yang lapang, ia siap menyambut babak baru dalam hidupnya.