Hara, gadis perfeksionis yang lebih mengedepankan logika daripada perasaan itu baru saja mengalami putus cinta dan memutuskan bahwa dirinya tidak akan menjalin hubungan lagi, karena menurutnya itu melelahkan.
Kama, lelaki yang menganggap bahwa komitmen dalam sebuah hubungan hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh, membuatnya selalu menerapkan friendzone dengan banyak gadis. Dan bertekad tidak akan menjalin hubungan yang serius.
Mereka bertemu dan merasa saling cocok hingga memutuskan bersama dalam ikatan (boy)friendzone. Namun semuanya berubah saat Nael, mantan kekasih Hara memintanya kembali bersama.
Apakah Hara akan tetap dalam (boy)friendzone-nya dengan Kama atau memutuskan kembali pada Nael? Akankah Kama merubah prinsip yang selama ini dia pegang dan memutuskan menjalin hubungan yang serius dengan Hara?Bisakah mereka sama-sama menemukan cinta atau malah berakhir jatuh cinta bersama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizca Yulianah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cara Klasik
Motor yang di kendarai Kama memasuki pelataran parkir kantor pengadilan wilayah setempat. Dia asal saja menaruhnya, tidak pada tempatnya. Lalu dengan buru-buru melompat turun.
"Lo parkirin yang bener" Teriaknya pada Rio yang masih saja nol informasi. Tapi apa mau di kata, kalau dia ikutan berlari menyusul Kama, apa lantas motor itu bisa memarkirkan dirinya sendiri?
"Awas aja lu nggak gantiin soto gue" Gerutu Rio sembari menuruti kata-kata Kama untuk memarkirkan motor mereka.
Kama yang berlari secepat kilat menuju ruang sidang untuk pelanggaran lalu lintas itupun mengabaikan beberapa sapaan dari para petugas yang kebetulan lewat. Dia sedang buru-buru mengejar jawaban dari rasa penasarannya tentang maksud Hara yang bingung ketika di tanya tentang masalah suami.
"Mas Kama" Bahkan sapaan dari petugas cantik yang biasanya berbasa basi dengan Kama itu pun dia abaikan.
"Hara" Panggil Kama lumayan cukup keras saat memasuki ruang tunggu, di tengah banyaknya para pengunjung yang antri menunggu giliran mereka.
Semua mata menoleh ke arah Kama yang baru saja datang dengan napas terengah-engah itu. Sedangkan Kama sendiri bingung mengedarkan pandangannya mencari di mana Hara di antara orang-orang.
Hara pun ikut menoleh ke arah sumber suara yang menyebutkan namanya. Tapi dia tidak lantas berdiri menyambut panggilan tadi, bisa saja Hara yang lain. Tidak ingin ge-er duluan, namanya mungkin saja cukup pasaran. Hara menyipitkan matanya menatap wajah yang celingukan mencari seseorang bernama Hara itu, semakin yakin bahwa bukan dirinyalah Hara yang di cari. Karena Hara sendiri tidak mengenal sosok pak polisi yang saat ini sedang mengatur napasnya itu. Tapi satu yang di rasakan Hara saat ini ketika menatap wajah Kama. Familier. Seperti dejavu pernah bertemu tapi lupa dimana.
"Saudari Ananta Hara" Panggil petugas kantor pengadilan dengan keras. Sudah waktunya bagi Hara untuk menyelesaikan urusan tilang menilang ini. Dia mempersiapkan berkas salinan surat tilang yang di pegangnya, kemudian berdiri.
Di saat yang bersamaan, Kama yang mendengar nama Ananta Hara itu pun menoleh ke arah datangnya suara. Dia melihat Hara yang sudah berdiri dan bersiap memasuki ruangan selanjutnya. Kama pun dengan cepat segera menyusulnya.
"Tunggu, tunggu dulu" Ucapnya buru-buru kepada petugas yang memanggil Hara.
"Loh mas Kama, ada apa mas?" Tanya si petugas itu heran melihat Kama yang tiba-tiba muncul di depannya. Begitu juga dengan Hara yang ada di sana. Sama herannya.
"I-ini biar saya aja yang ngurus" Kama tergagap salah tingkah. Keputusan yang secara sembarangan di ambilnya itu mau tidak mau menimbulkan konsekuensi yang tidak bisa di prediksi.
Petugas itu mengerutkan keningnya, bingung. Pun Hara yang melihat hal itu, dia menautkan alisnya. Dia tidak mengenal orang di hadapannya itu tapi mendadak orang yang sedang dia tatap lekat-lekat itu bilang akan menguruskan berkasnya?
"Di-Dia ini..." Kama yang masih salah tingkah malu-malu itu berusaha menjelaskan kepada petugas yang menuntut jawaban darinya. Namun Kama tidak bisa melanjutkan kata-katanya, mengetahui bahwa Hara pun melakukan hal yang sama. Menuntut jawaban.
Melihat wajah Kama yang perlahan berubah semakin merah, petugas itupun akhirnya merasa paham. Tanpa kata-kata dia mengangguk-angguk ke arah Kama sembari tersenyum dan mengedipkan mata.
"Ya udah kalau gitu, ini berkasnya mas" Jawabnya kemudian, lalu menyerahkan beberapa lembar kertas yang di pegangnya ke arah Kama.
Kama hanya membalasnya dengan senyum canggung, masih belum bisa menjawab maksud senyuman paham dari si petugas. Ya kali dia akan menjawab "dia bukan pacar saya" di saat dia sendiri belum berkenalan secara resmi dengan Hara. Yang ada Hara akan menganggapnya orang aneh atau mungkin orang mesum.
"Makasih ya pak" Pamit Kama kemudian berbalik menatap ke arah Hara. Tinggal satu lagi urusannya dengan Hara. "Saya jelaskan sambil jalan boleh?" Tanyanya berbisik kepada Hara.
Jika ini adalah cerita di drama-drama, maka sudah barang pasti Hara akan mengikutinya dengan tenang, mencari tempat yang agak sepi untuk menjabarkan penjelasan, lalu mengurai kesalahpahaman, dan kemudian di tutup dengan berkenalan secara natural yang mungkin, jika takdir mendukung, maka berlanjut ke arah janji temu berikutnya.
Tapi, dia adalah Ananta Hara, gadis logis perfeksionis sedingin es. Tentu saja dia tidak akan melakukan hal semacam itu. Dia sudah mengantri cukup lama, kenapa tiba-tiba ada petugas datang dan mengambil alih berkasnya? Pikiran negatifnya segera menguasainya.
"Bapak siapa ya?" Tanya Hara lantang. Jurus pertama yang dia pelajari saat dia di hadapkan pada situasi asing seperti ini adalah mengeraskan suara guna menjadi pusat perhatian. Memperkecil kemungkinan terjadinya tindak kejahatan yang bisa saja akan menimpanya.
Semua orang terkejut mendengar gema suara yang di timbulkan Hara, mereka menoleh ke arah dua orang yang sedang berhadapan itu. Kama yang tidak menyangka hal ini akan terjadi juga sama terkejutnya. Dia semakin salah tingkah. Dengan panik menoleh ke seluruh pasang mata yang sedang menatapnya dan tersenyum canggung.
"Maaf, maaf" Ucapnya sambil menganggukkan kepalanya dan tersenyum kepada semua orang. "Tidak ada apa-apa, silahkan di lanjutkan" Lanjutnya kemudian. Dia menatap Hara yang kini sedang menatapnya tajam sembari menyilangkan kedua tangannya.
"Ini saya Kama yang tadi mbak Hara telepon, saya petugas yang mengajukan bantuan buat mengurus surat tilang mbak Hara" Jelas Kama dengan berbisik. Tidak ingin menjadi pusat perhatian lagi, di tambah ini adalah urusan pelanggaran hukum, dia tidak ingin di tuduh berbuat korupsi, kolusi dan nepotisme karena membantu Hara mengurus proses tilangnya.
Hara yang semula memasang ekspresi waspada kini mulai mengendurkan otot-otot wajahnya. Dia menilik Kama dari atas ke bawah, memindai sendiri dengan mata kepalanya, apakah manusia yang ada di hadapannya itu dapat di percaya. Tapi sekali lagi, logikanya menolak untuk percaya dengan apa yang di tawarkan Kama. Toh, dirinya sudah berada di pengadilan, namanya sudah di panggil, mungkin tinggal satu tahapan lagi dan urusannya akan beres. Lalu apa yang membuatnya jadi berbeda kalau urusan itu di ambil alih oleh Kama. Hara masih menuntut jawaban logis.
Melihat keraguan di wajah Hara, Kama pun mau tak mau merasa perlu memberikan lagi sebuah alasan, kalau perlu yang tak masuk akal sekalipun.
"Kalau mbak Hara mau urusannya panjang berbelit-belit dengan sekumpulan tuduhan pasal pelanggaran hukum, ya silahkan di urus sendiri. Saya nggak ada masalah sama sekali dengan itu" Bisik Kama kemudian. Menakut-nakuti Hara adalah jalan pintas yang di pilihnya. Biasanya orang kampung lebih takut dengan hukum.
Hara yang menyimak kata-kata Kama dan hanya memahami arti "urusan panjang" itupun menyerah dengan pikiran negatifnya. Dia tidak punya waktu untuk di buang-buang begini. Hara akhirnya mengangguk menyetujui bahwa Kama memang harus membantunya mengurus ini.
"Kemana kita?" Tanya Hara kemudian.
Kama yang langsung menghela napas lega setelah mendengar jawaban Hara itu pun melonggarkan posturnya. Dia merubah ekspresinya menjadi senyum menawan mematikan yang biasanya dia berikan kepada kaum hawa untuk memikat mereka. "Kesana" Tunjuk Kama dengan sikap sopan, ke arah pintu keluar.
Hara berjalan lebih dulu, di susul Kama kemudian. Pergi meninggalkan ruang tunggu yang penuh dengan berpasang-pasang mata penasaran dengan masalah mereka. Saling tebak menebak ada apakah gerangan sampai-sampai polisi harus turun tangan langsung kepada wanita yang terlihat berwajah baik-baik itu.
"Sekarang bagaimana?" Tanya Hara tanpa basa basi begitu mereka telah keluar dari ruang tunggu dan keadaan sekitar sepi.
Kama yang baru saja sepenuhnya menghela napas lega itu kembali merasa tegang. Jantungnya seperti naik roller coaster. Sebentar lega, sebentar tegang. Masuk ke babak selanjutnya. Penjelasan.
"Begini, saya..." Kama kemudian berhenti dan berpikir sejenak. Sepertinya urutannya salah. Hara bahkan tidak berusaha berkenalan dulu dengannya. Sungguh di luar prediksi Kama, mereka melewatkan proses berkenalan dan langsung lompat ke dalam masalah. Kama tersenyum, merasa lucu dengan takdirnya saat ini. Semua ini pertama kali untuk Kama.
"Boleh pakai bahasa informal aja?" Tanya Kama kemudian.
Hara hanya mengangguk sebagai jawaban, dia tidak masalah dengan bahasa apapun itu asalkan masalahnya bisa cepat selesai.
"Jadi gini, gue mau bantuin kamu buat ngurus surat tilang ini biar lebih cepet" Jelas Kama ragu-ragu dan malu-malu. Baru kali ini dia segrogi itu dalam menjelaskan sesuatu kepada lawan bicaranya, apalagi lawan bicaranya adalah cewek. Hilang sudah kharisma cowok cool yang seumur hidup sudah di latihnya.
"Atas dasar?" Tanya Hara masih sangsi.
"Ya..." Kama kebingungan mencari alasan. Obrolan semacam ini tidak pernah dia praktekan sebelumnya. Kalau itu adalah cewek lain yang selalu tergoda akan pesonanya, Kama akan menjawab karena kamu cantik. Tapi yang sedang di hadapinya saat ini sepertinya tidak bisa di kategorikan seperti cewek pada umumnya. Jika salah jawaban, bisa di pastikan Hara akan langsung mengambil berkas-berkasnya dan kembali masuk ke dalam.
Melihat Kama yang kebingungan dan tidak mampu menjawabnya, Hara semakin tidak percaya padanya.
"Bapak mau minta duit ke saya ya?" Tebak Hara kemudian, yakin sekali. Bukan rahasia umum lagi kalau ada begitu banyak oknum yang bertindak demikian.
"Du-duit?" Kama terkejut mendengar pertanyaan Hara. Selama tiga belas tahun kiprahnya sebagai playboy, baru kali ini dirinya di tuduh butuh uang oleh seorang cewek. Mendapati kenyataan itu membuat Kama tertawa terbahak-bahak. Beginilah taste yang Kama maksud.
Hara yang semula sangat yakin dengan pertanyaannya itu pun mengerutkan keningnya. Hatinya mencelos sedikit khawatir. Menuduh seseorang tanpa bukti adalah perbuatan tidak menyenangkan, dan yang di hadapannya saat ini jelas lebih paham tentang hukum itu sendiri. "Te-terus kalau nggak, apa maksudnya semua ini?" Tanyanya dengan suara gugup bergetar namun tetap berusaha terlihat tegas.
Setelah Kama menguasai tawanya, dia menatap Hara lekat-lekat. Tepat ke dalam matanya. "Ya karena gue polisi yang baik" Jawabnya kemudian sembari tersenyum menggoda.
Hara memutar bola matanya ke atas, lagu lama.
"Saya serius pak" Ujar Hara tidak sabaran. Dirinya bukan lagi anak-anak yang sedang main tebak-tebakan begini. Waktunya yang berharga sudah terbuang satu jam lamanya.
"Iya iya maaf, nggak begini maksud gue, waktu itu gue kan ngirim pesan ke kamu, menawarkan bantuan ngurus tilang, tapi kamu nggak ada respon sama sekali" Jelas Kama berusaha mengurai semua kesalahpahaman yang aneh ini. "Nah waktu itu tidak ada konfirmasi balik dari kamu, jadi ya seperti ini, tau-tau gue dapet telepon dari kamu" Lanjutnya kemudian.
"Terus?" Kejar Hara yang masih tidak paham kenapa Kama harus menjelaskan semua ini dari awal, terlalu berbelit-belit. Dia ingin yang sat set dan to the point.
"Ya gue merasa bersalah aja karena pas ternyata kamu butuh bantuan, gue nggak ada di tempat ini" Jawab Kama hati-hati, benar-benar menyembunyikan niat awalnya yang ingin berkenalan, dekat, dan seterusnya. "Tapi sebenarnya ngurus beginian bisa kok di wakilin ke suami kamu" Lanjut Kama buru-buru menambahkan, mumpung sudah terlanjur ngobrol sekalian saja menyingung masalah "suami" ini.
"Suami?" Hara mengerutkan kening bingung. "Cuma suami yang bisa ngewakilin ngurus beginian? Misal orang lain gitu nggak bisa ya?" Tanya Hara lagi.
Yes. Akhirnya informasi penting ini sudah Kama dapatkan. Menilik dari kebingungan Hara dan pertanyaannya, bisa di pastikan statusnya masih single belum menikah. Urusan dia punya pacar atau tidak, masih bisa di tikung.
"Ya bisa sih orang lain, pacar mungkin?" Jelas Kama menyerempet topik sensitif ini tanpa terkesan bertanya.
"Kalau kayak rekan kerja gitu bisa nggak?" Tanya Hara balik.
Double yes. Informasi penting lainnya, dia tidak punya pacar. Untuk saat ini itulah yang di tangkap Kama.
"Bisa, bisa" Kama mengangguk-angguk mantap. "Tapi berhubung masalah ini sudah gue ambil alih, jadi ya gue yang bakal ngurusin ini buat kamu. Nanti kamu tinggal terima beresnya" Jelas Kama percaya diri.
"Lama nggak?" Dari sekian banyak pertanyaan penasaran yang Kama harapkan, malah pertanyaan itu yang muncul dari mulut Hara.
Minimal tanya nama dulu kan bisa. Kama menggelengkan kepalanya sembari tersenyum sendiri. Unik.
"Lumayan sih" Jawab Kama berusaha terdengar yakin.
"Terus biayanya berapa?" Tanya Hara kemudian, to the point. Karena Hara merasa tidak mungkin ada sesuatu yang gratis di dunia ini.
"Hmmm... Gratis?" Jawab Kama ragu-ragu, ingin menimbang bagaimana reaksi Hara selanjutnya. Berterima kasih penuh rasa syukur kah, atau sekali lagi, di luar prediksi BMKG.
"Kok bisa?" Hara bertanya tak percaya. Nah kan! Kama seperti sudah bisa menebaknya, tidak mungkin cewek di depannya ini memilih opsi yang pertama. Berterima kasih penuh rasa syukur.
"Ya bisa" Jawab Kama santai, sudah bisa menemukan ritme dalam obrolan ini. Perlahan-lahan Kama kembali menjadi dirinya sendiri.
"Gratis sama sekali? Semuanya?" Kejar Hara tak percaya.
"Hmmm... sembilan puluh sembilan persen lah" Jawab Kama sedikit bercanda.
"Itu sih nggak gratis namanya, masih ada kemungkinan satu persen untuk biaya tak terduga" Cebik Hara kesal. Sudah membuang-buang waktu malah nyatanya seperti di permainkan. "Nggak dulu deh pak, terima kasih" Pungkas Hara kemudian mengambil berkas dari tangan Hara. Sebagai akuntan yang sering berhubungan dengan "uang", dia tidak bisa begitu saja mengabaikan kemungkinan satu persen dari yang di katakan Kama. Tidak jelas, satu persen itu akan di hitung berdasarkan apa. Terlebih lagi dia tidak kenal dengan oknum polisi itu. Jadi dia lebih memilih jalan yang pasti-pasti saja, seperti contohnya kembali ke dalam dan menanyakan perihal biaya yang pasti sudah jelas.
Hara pergi begitu saja meninggalkan Kama yang sedang memejamkan matanya sembari menahan kesal itu. Menyesal telah mencoba bercanda dengan satu-satunya kesempatan yang ada. Mana dia tau cewek yang namanya Hara itu tidak bisa di ajak bercanda.
Tak mungkin menahan Hara, hal itu malah semakin membuatnya terlihat aneh dan seperti sangat membutuhkan sesuatu dari Hara. Marah pada dirinya sendiri, Kama mengusak rambutnya yang cepak itu lalu meninju udara.
Rio yang sedari tadi sudah menyusul Kama dan memperhatikan temannya itupun ikut merasa kesal. Apa susahnya tinggal bilang hai boleh kenalan. Terkadang sesuatu itu hanya perlu yang simple dan tidak bertele-tele.
Melihat Hara yang sedang berjalan menuju ke arahnya, terbersit sebuah ide di kepalanya. Dengan cepat dia mengeluarkan ponselnya dan segera berjalan mundur beberapa langkah ke belakang.
Hingga saat Hara dan dirinya sampai di belokan secara bersamaan, Rio berpura-pura terkejut melihat kedatangan Hara yang tiba-tiba dan menjatuhkan ponselnya. Hara yang juga terkejut, tapi yang ini sungguhan, itu pun kehilangan keseimbangan. Dirinya mencoba menghindari tabrakan dengan Rio dan malah akhirnya tersandung kakinya sendiri hingga membuatnya hampir jatuh.
Melihat hal itu, Rio yang kebanyakan nonton sinetron mungkin, dengan sigap segera meraih tangan Hara. Menahannya agar tidak terjatuh.
"Maaf" Ucap Rio buru-buru setelah membantu Hara menyeimbangkan tubuhnya kembali. "Saya lagi buru-buru soalnya" Lanjut Rio sembari menunduk mengambil ponselnya, yang untung saja masih utuh tanpa gores sedikitpun.
"Nggak, saya yang minta maaf, nggak lihat jalan. Maaf ya, ponselnya aman?" Tanya Hara sungkan.
"Kayaknya sih" Jawab Rio sembari pura-pura mengecek ponselnya. "Saya minta maaf ya, soalnya ada saudara yang minta tolong urusin surat tilang, takutnya saya udah telat" Jelas Rio yang tentu saja hanya alasan yang di buat-buat.
"Oh iya nggak apa-apa, tapi kayaknya kamu salah ruangan, ngurus surat tilang harusnya di sebelah sana" Jelas Hara karena melihat Rio yang malah berjalan ke arah yang berlawanan.
"Oh ya? Di sebelah mana ya?" Tanyanya kemudian sembari memasang wajah bingung.
"Kebetulan saya juga mau kesana, sekalian saya tunjukin" Tawar Hara sopan. Yang tentu saja di jawab anggukan oleh Rio. Dan mereka pun pergi bersama-sama menuju ruang sidang yang tadi di tinggalkan oleh Hara karena interupsi tidak jelas dari Kama.
Kama yang melihat kejadian itu hanya bisa melongo, bahkan ketika Rio menoleh ke arahnya dan membuat ekspresi seakan mengejek kegagalannya, Kama tetap saja tidak bisa menutup mulutnya dari keterkejutannya.
What the hell
kasih kesempatan sama Kama dong,buat taklukkin Hara😁😁
menjaga pujaan hati jangan sampai di bawa lari cowok lain🤣🤣🤣
Nggak kuat aku lihat Kama tersiksa sama Hara🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
aku bakalan nungguin kamu yang bucin duluan sama Hara😁😁😁
tiba-tiba banget Pak Polici kirim buket bunga pagi' 😁😁😁😁😁
tapi kenapa tiba-tiba Hara telp ya????