Novi adalah seorang wanita seorang agen mata-mata profesional sekaligus dokter jenius yang sangat ahli pengobatan dan sangat ahli membuat racun.
Meninggal ketika sedang melakukan aktivitas olahraga sambil membaca novel online setelah melakukan misi nya tadi malam. Sayangnya ia malah mati ketika sedang berolahraga.
Tak lama ia terbangun, menjadi seorang wanita bangsawan anak dari jendral di kekaisaran Dongxin, yang dipaksa menikah oleh keluarga nya kepada raja perang Liang Si Wei. Liang sangat membenci keluarga Sun karena merasa mencari dukungan dengan gelar nya sebagai salah satu pangeran sekaligus raja perang yang disayang kaisar.
Tepat setelah menikah, Novi melakukan malam pertama, ia menuliskan surat cerai dan lari. Sayangnya Liang, selalu memburu nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ayah
Yuxuan cepat-cepat merogoh saku bajunya, mengeluarkan gulungan kain kecil, dan membentangkannya perlahan. Di atas kain, tergambar wajah seorang pria muda, beralis tajam dan mata tajam. Ia memakai jubah panjang dan topi bangsawan. Guratan kuasnya tidak sempurna, tapi ekspresi wajahnya jelas hidup.
“Ini...” bisik Yunjin. “Kau yang menggambar?”
Yuxuan mengangguk. “Aku lihat diam-diam waktu Ibu sedang tidur.”
Yuheng mengambil lukisan itu, memelototinya sejenak, lalu mengangguk. “Tampangnya seperti jenderal. Atau mata-mata. Atau... pencuri topi!”
“Bukan waktunya bercanda!” Yuxuan merebut lukisan itu. “Kalian tidak penasaran dia sebenarnya siapa?”
“Kata Ibu, Ayah sudah meninggal dalam perang,” ucap Yunzhao.
“Kata Ibu, Ayah dibunuh oleh musuh politik,” timpal Yuheng.
“Lho? Kata Ibu padaku, Ayah tewas karena kutukan racun seribu ular,” kata Yunjin dengan mata membulat.
Keempatnya saling pandang.
“Jadi... mana yang benar?” gumam Yuxuan.
Suasana jadi hening. Angin berhenti sejenak, seolah ikut mendengarkan rahasia yang tersembunyi.
“Apa... mungkin Ayah masih hidup?” tanya Yuxuan nyaris tak terdengar.
Yunjin menggigit bibir. “Kalau iya, kenapa dia tidak pernah datang menemui kita?”
“Mungkin dia di penjara?” kata Yuheng.
“Atau menyamar?” gumam Yuxuan.
“Atau... dia kehilangan ingatannya, dan sekarang hidup sebagai penjual tahu di desa sebelah!” kata Yuheng sambil tertawa.
“Yuheng!” tegur Yunzhao. Tapi kemudian, raut wajahnya berubah serius. “Tapi kalau benar Ayah masih hidup... Ayo, kita harus cari tahu.”
Yuxuan memandang kakaknya penuh harap. “Kita bisa menyelidiki?”
“Bagaimana caranya?” tanya Yunjin.
Yuheng langsung berseru, “Kita kabur dari rumah! Kita bisa menyamar! Aku bisa jadi kambing betina, Yuxuan jadi pengemis, Yunjin jadi biarawan, dan Kakak jadi kuli!”
“Idemu selalu aneh,” desah Yunzhao.
“Tapi… aku memang ingin keluar,” kata Yuxuan. “Kita selalu terkurung di sini. Lihat tembok tinggi itu! Seperti penjara.”
“Ibu bilang demi keselamatan kita,” gumam Yunjin. “Karena ada musuh ayah yang ingin mencelakai kita.”
“Atau... mungkin karena kalau kita tahu kebenaran, kita akan membahayakan Ayah?” ucap Yuxuan pelan.
Yuheng berdiri dan berjalan mondar-mandir. “Kalau begitu... kita cari petunjuk. Kita tidak harus kabur jauh-jauh dulu. Kita mulai dari dalam rumah ini.”
“Gudang tua?” usul Yunjin.
“Perpustakaan?” tanya Yuxuan.
“Kamar Ibu?” bisik Yuheng sambil menoleh takut-takut.
“Tidak,” kata Yunzhao akhirnya. “Malam ini, kita akan ke ruang bawah tanah.”
Ketiganya menoleh. “Ruang bawah tanah?”
Yunzhao mengangguk. “Kunci duplikatnya kusimpan. Ibu jarang ke sana. Kalau ada rahasia... kemungkinan besar ada di sana.”
“Jadi, kita mulai malam ini?” tanya Yuxuan.
Yuheng mengacungkan tangan. “Aku akan siapkan lentera dan serbuk kabut. Kalau ada penjaga lewat, kita bisa sembunyi.”
“Aku akan bawa lukisan ini, siapa tahu berguna,” kata Yuxuan.
“Aku... akan siapkan makanan ringan,” ucap Yunjin.
“Kau pikir ini piknik?” dengus Yuheng.
Yunzhao tersenyum tipis. “Baik. Kita akan bertemu tengah malam di dapur. Jangan sampai ketahuan.”
Keempatnya saling mengangguk.
Cahaya lampu minyak menggantung tenang di atas meja makan. Aroma sup ayam ginseng dan tumisan sayur segar memenuhi udara. Tapi keempat anak Sun Yu Yuan tak tampak antusias seperti biasanya. Sendok mereka bergerak lambat. Tatapan mereka saling menyilang, mata bertemu, lalu berpaling cepat. Tak ada yang berbicara, tapi sorot mata mereka... penuh isyarat.
Sun Yu Yuan mengangkat alisnya.
“Kalian kenapa? Cepat makan,” ucapnya tenang, meski nadanya sedikit mengawasi.
Yuxuan tersenyum kaku. “Supnya enak sekali hari ini, Ibu.”
“Tentu saja. para koki sendiri yang memilih bahan-bahannya,” jawab Yu Yuan, matanya menyipit. Ia menangkap Yuheng melirik Yuxuan, lalu mengedip cepat, sekali ke kiri, sekali ke kanan. Yuxuan menggigit bibir bawahnya, lalu mengangguk pelan tanpa suara.
Kode. Itu pasti kode.
Yunjin meletakkan sumpitnya, lalu bersuara, “Ibu, bolehkah aku tidur lebih awal malam ini? Aku sedikit pusing.”
Seketika, Yuheng menimpali cepat, “Wah, aku juga! Mungkin angin sore tadi terlalu dingin.”
Yuxuan mengangguk cepat, “Aku juga agak... tidak enak perut.”
Yunzhao tetap diam, tapi ia menguap lebar-lebar secara mencolok, lalu menutup mulut sambil melirik ketiga adiknya. Gerakan kepala kecil, sangat halus.
Sun Yu Yuan menahan senyum. “Begitu ya? Kalian ingin pergi diam-diam malam ini?” ucapnya dalam hati
Sebagai seorang ibu yang telah hidup dalam bayangan intrik istana, menjadi istri dari seorang pria yang penuh rahasia, dan membesarkan empat anak yang makin cerdik dari hari ke hari... ia tahu benar. Gestur kecil, gumaman aneh, irama makan yang berubah, semuanya berbicara lebih nyaring dari suara.
“Kalau kalian tidak enak badan,” katanya lembut, “habis makan langsung tidur, ya. Jangan main-main malam ini. Mengerti?”
“Baik, Ibu,” jawab keempat anak itu serempak, terlalu cepat, terlalu seragam.
Sun Yu Yuan menatap mereka satu per satu. Yuxuan menghindari tatapannya. Yuheng pura-pura sibuk menuang sup. Yunjin mengelus pelipis. Yunzhao... tetap tenang, tapi bola matanya menyapu cepat ke arah jam pasir di sudut ruangan.
Mereka sudah menentukan waktu.
“Kalau begitu,” kata Sun Yu Yuan sambil berdiri, “Ibu juga akan tidur lebih awal malam ini.”
Mata keempat anak itu membelalak sepersekian detik sebelum cepat-cepat berpura-pura biasa. Yuheng bahkan tersedak sedikit.
“Ah...eh...baik, Ibu.”
Sun Yu Yuan melangkah tenang keluar ruang makan. Tapi dalam hatinya, ia tersenyum penuh siasat. “Anak-anakku, kalian boleh merencanakan apapun malam ini. Tapi jangan lupa.. kalian anak dari Sun Yu Yuan.”
Yuxuan membuka mata tepat ketika jarum jam pasir menunjukkan batas pertama malam.
Ia duduk di ranjang perlahan, memastikan kasurnya tetap rapi seolah ia masih terbaring. Tangannya bergerak cepat, mengenakan pakaian hitam tipis, lalu menyelinap keluar dari pintu kamarnya yang tidak dikunci.
Di lorong luar, Yuheng sudah menunggu, duduk di pojok tangga sambil menggigit apel yang entah darimana ia dapatkan.
“Kenapa makan buah sekarang?” bisik Yuxuan tajam.
“Persiapan tenaga. Kau kira menyusup itu tidak melelahkan?” bisik Yuheng santai sambil mengunyah.
“Kau tidak bisa diam,” Yuxuan memutar mata.
Langkah kaki pelan terdengar dari belakang. Yunjin muncul dengan senter kecil dari bambu, senyumnya gugup.
“Dari tadi aku merasa... takut. Bagaimana kalau kita ketahuan?”
“Kita memang sedang mencoba untuk tidak ketahuan,” kata Yuheng, kali ini dengan nada serius.
Tak lama kemudian, Yunzhao muncul paling akhir. Ia membawa tas kecil berisi tali, buku catatan, dan sebilah pisau kecil yang ia sembunyikan di dalam lengan bajunya.
Mereka bergerak cepat, menyusuri lorong-lorong panjang yang remang. Di balik tirai tebal, bayangan mereka memanjang, tampak seperti siluet makhluk-makhluk kecil yang mencoba bermain jadi besar.
Mereka tiba di ruangan belakang tempat tangga kayu tua menurun ke bawah tanah. Tangga itu jarang digunakan, bahkan nyaris terlupakan oleh pelayan-pelayan muda.
Yunzhao mengeluarkan kunci duplikat dari balik sabuknya, lalu memutar dengan hati-hati. Bunyi klik kecil terdengar, dan pintu terbuka perlahan, mengeluarkan aroma lembab, khas tempat yang lama tidak dibuka.
“Kalau di dalam ada hantu, aku akan salahkan kalian bertiga,” bisik Yunjin.
“Kalau hantu itu ayah kita?” kata Yuheng pelan, menyeringai.
Yuxuan mendorongnya pelan. “Jangan menakut-nakuti.”
Jangan lupa like, komen, dan ratingnya ya
cerita nya makin keren ..
bikin menantang ada bumbu bumbu penyedap nya Thor 😂😂😂😂
untung Author jauh di sono....
coba kalo deket.....tak umpetin tuh
alas kaki nya..... biar ga bisa kemana-mana...
biar diem anteng......ketak ketik update nya looooossss......🤗🤭🔥
semangat upnya thor 💪💪