Shana bersedia menjadi pengganti bibi-nya untuk bertemu pria yang akan di jodohkan dengan beliau. Namun siapa yang menyangka kalau pria itu adalah guru matematika yang killer.
Bagaimana cara Shana bersembunyi dari kejaran guru itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 9
Shana berdiri di dekat pintu gerbang sekolah. Ini sudah sore. Bibi Raisa bilang hendak menjemputnya, tapi rupanya beliau belum juga muncul di depan sekolah sampai sekarang. Padahal langit masih terang tadi, tapi sekarang sudah meredup karena hari menjelang petang.
"Tahu gini aku ikut aja Bebi dan Mia. Biarpun naik motor bertiga juga enggak apa-apa," gerutu Shana karena akhirnya ia menyesal.
Brum! brum!
Terdengar suara motor menderu di belakangnya. Shana menoleh tanpa alasan. Hanya spontanitas karena ada sesuatu yang bising di sekitarnya. Setelah menoleh, dia merasa menyesal melakukannya. Di belakang sana ada Vino di atas motor dengan warna metalik-nya.
Secepatnya Shana balik lagi menoleh ke arah jalanan besar di depan sekolah. Dia tidak ingin pandangannya beradu dengan cowok itu. Kakinya berjalan agak jauh dari gerbang sekolah guna menghindari pertemuan.
"Aduh Bibii ... cepatlah datang," gerutu Shana dengan gumaman pelan. Dia menunduk melihat ke arah ponsel yang baru saja diambil dari saku kemeja putihnya. Melihat apakah ada chat balasan dari bibi-nya atau tidak.
Namun pengalihan Shana tidak berlaku karena cowok itu sudah menemukan dirinya di dekat pintu gerbang.
Shana! Cowok ini yang awalnya ingin langsung memacu motornya untuk pulang setelah latihan basket, kini terusik untuk mendekati gadis yang hampir saja kena bola di lorong kelas tadi.
"Belum pulang, Shan?" sapa Vino yang sudah berada di samping tempat Shana berdiri. Kepala Shana menoleh karena sedikit terkejut cowok ini sudah muncul di dekatnya.
"Ya," sahut Shana datar. Shana hendak berpindah tempat ketika itu muncul pak Regas dari arah halaman sekolah. Pria itu tengah menyalakan motornya. Sepertinya hendak pulang. Gawat! pekik Shana panik dalam hati.
"Apa kamu menunggu seseorang menjemputmu?"
"Ya." Sekali lagi jawaban singkat muncul dari bibir Shana. Gadis ini terasa enggan menanggapi Vino.
"Langit sudah sudah makin gelap. Sekolah sudah mulai sepi."
"Masih ada anak-anak," jawab Shana tanpa menoleh. Telinganya masih bisa mendengar suara anak-anak di dalam sekolah.
"Mungkin memang masih ada beberapa anak basket, tapi mereka juga sudah mau pulang sebentar lagi. Jadi aku rasa tidak akan ada lagi anak-anak yang ada di sekolah. Sebaiknya aku mengantarmu pulang, Shan ..." Vino menawarkan diri.
"Terima kasih atas tawarannya, tapi aku bisa menunggu lebih lama bibiku di sini." Shana bicara dengan serius. Raut wajahnya berbeda dengan tadi. Jika tadi dia bertingkah seakan tidak peduli, sekarang ia menunjukkan sikap tegasnya untuk menolak.
Vino diam sejenak mendapat penolakan tegas seperti itu. Dia tersenyum.
"Oke. Kalau begitu aku akan ikut menunggu mu di sini."
"Tidak. Aku tidak masalah menunggu bibiku menjemput sendirian di sini. Kamu bisa pulang tanpa peduli seberapa lama aku menunggu." Sekali lagi Shana menunjukkan penolakannya.
"Tapi ... ternyata aku peduli." Vino juga menunjukkan pemaksaan. Shana menatap lurus cowok ini. Raut wajahnya menunjukkan keheranan luar biasa.
"Vin! Mau balik sekarang apa enggak?!" tanya Jaka, cowok yang paling dekat sama Vino.
"Entar aja. Aku masih nungguin dia di sini." Vino dengan enteng menunjuk Shana yang ada di sebelahnya.
Jaka menoleh ke samping Vino. "Eh, kamu Shan? Napa belum pulang?" tanya Jaka teman sekelas Shana pas kelas satu.
"Belum di jemput."
"Nebeng aku?" tawar Jaka.
"Eh, kenapa kamu malah nyerobot mau anterin Shana? Sudah aku bilang aku nungguin dia," protes Vino dengan bola mata melebar. Shana melirik Vino karena kalimat ini. Begitu juga bola mata Jaka.
"Eh, kamu ..." Kalimat Jaka menggantung seraya melihat Vino dan Shana dengan penuh keheranan. "Ah, iya ya ... Enggak jadi, Shan." Jaka langsung tanggap. Dia mengerti.
"Aku juga enggak niat nebeng, aku ini sedang nunggu bibi ku jemput," terang Shana gemas. Jaka terkekeh.
"Oke, aku pergi dulu ya. Kalau bibi mu masih lama, lebih baik di anterin pulang sama Vino aja, Shan. Hitung-hitung hemat, iya kan?" usul Jaka.
Shana hanya mendengkus. Jaka pun menyalakan mesin motornya dan pergi meninggalkan mereka berdua. Pandangan mereka tidak sengaja beradu. Shana memilih melihat ke arah yang lain. Vino menipiskan bibir melihat sikap gadis ini.
Suasana hening. Berkali-kali Shana lihat ke arah ponselnya. Berharap bibi Raisa memberitahu kemunculannya dan ia cepat pulang.
"Kabarmu gimana, Shan?" tanya Vino.
"Bukannya kita sering ketemu, kenapa tanya kabar?" Shana melihat ke arah jalanan.
"Benar, tapi sepertinya kita tidak pernah benar-benar bertemu. Mungkin hanya berpapasan, itu pun hanya beberapa detik. Kamu seperti tidak pernah mengenal ku sama sekali. Padahal kita adalah sahabat waktu SMP." Vino berkata dengan wajah menerawang jauh. Shana diam. Dia tidak tahu cowok ini akan bicara tentang masa lalu mereka.
"Bagaimana kabar Rima?" tanya Shana. Dia tampak memaksakan diri untuk bertanya tentang gadis itu. Gadis yang ternyata lebih di pilih Vino daripada dirinya. Meski itu hanya cinta monyet, tapi ingatan soal Vino yang menyatakan cinta pada sahabatnya ketika pesta kelulusan sekolah masih terkenang di hatinya.
"Baik."
"Syukurlah."
"Kalian belum pernah bertemu?" tanya Vino heran.
"Bagaimana kita bisa bertemu? Bukankah aku ikut bibiku di sini?"
"Benar juga," ujar Vino mengangguk. Setelah percakapan mereka barusan, Shana kembali diam. Vino menatap gadis ini beberapa detik, tapi kemudian berpaling ketika gadis itu mendongak karena merasa terganggu. Vino melihat ke jalanan di depan. Berpura-pura sejak tadi sudah melakukannya.
Shana mengerjapkan mata seraya menghela napas. Ya. Dia kembali teringat kenangan SMP di kampung. Dimana ia mengagumi Vino pemain voli andalan sekolah. Tubuhnya yang sudah tinggi tegap meski masih SMP, membuatnya mencolok daripada yang lain.
Saat itu Pak Regas ternyata juga masih belum pulang. Beliau muncul dengan motor dari arah dalam sekolah.
Sial, pekik Shana sembari melebarkan mata. Shana berpura-pura sibuk dengan menunduk melihat ke arah ponselnya.
"Kamu belum pulang?" tegur Pak Regas. Padahal Shana sudah ingin menghindar, tapi ternyata beliau justru menegur duluan.
"I-iya, Pak. Saya nunggu jemputan." Shana menjawab dengan terbata. Bahkan ia bingung menempatkan fokus pandangan kemana.
Bola mata Regas berganti menatap ke Vino. Cowok ini menganggukkan kepala memberi hormat.
"Bukannya kamu bawa motor? Kenapa belum pulang juga?"
"Dia sendirian. Jadi saya menunggunya sampai jemputan datang. Sekolah kan sudah sepi." Vino menunjuk ke arah gedung sekolah mereka di belakang. Bola mata Pak Regas kembali menatap Shana yang melirik pada Vino dengan pandangan tidak suka. Karena ia tidak ingin di temani sebenarnya. Pak Regas melihat lagi ke Vino karena mengerti tatapan gadis di depannya. Shana sepertinya tidak ingin ditemani oleh Vino.
...----------------...
keep fighting 💪