Evan dipaksa menikah oleh ayahnya dengan Alya, gadis yang tidak dikenalnya. Dengan sangat terpaksa Evan menjalani pernikahan dengan gadis yang tidak dicintainya.
Evan mulai menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alya. Perbedaan karakter dan pola pikir menjadi bumbu dalam pernikahan mereka.
Akankah pernikahan mereka berhasil? Atau mereka menyerah dan memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan
Setelah melalui penerbangan yang cukup lama, Evan sampai juga di bandara Soekarno Hatta. Bersama dengannya, Edward, Gelar dan Sherly ikut pulang ke tanah air. Kedatangan mereka sudah ditunggu supir yang dikirimkan ayah Edward. Mereka melanjutkan perjalanan ke Bandung menggunakan jalur darat.
Perjalanan menuju kota Bandung harus melalui kemacetan di beberapa titik sebelum mereka masuk ke tol Cipularang. Setelah berada di tol tersebut, barulah mobil yang ditumpangi Evan dan kawan-kawannya melaju tanpa hambatan. Edward meminta supirnya untuk berhenti di rest area. Mereka hendak mengisi perut dahulu, makanan di pesawat tidak membuat mereka kenyang.
Supir keluarga Edward membelokkan kendaraannya memasuki rest area di km 72, kemudian menghentikan kendaraannya di depan food court. Evan beserta yang lain segera turun dari mobil. Evan meregangkan tubuhnya yang cukup pegal. Dia terjengit ketika tiba-tiba Sherly memeluk lengannya.
“Lepas, Sher,” Evan mengibaskan tangannya, membuat pelukan Sherly terlepas.
Dengan santai dia melenggang menuju food court. Lebih dulu dia memesan minuman dingin untuk membasahi kerongkongannya. Di belakangnya menyusul Edward dan Gelar. Sherly berjalan paling belakang, wajahnya nampak tertekuk. Sejak menjejakkan kakinya di Sidney, Evan terus bersikap dingin padanya.
“Ge.. lo tau ngga kenapa Evan dingin banget sama gue sekarang?” tanya Sherly dengan suara pelan.
“Emang lo ngga inget?”
“Inget apa?”
“Malam sebelum kita berangkat ke Sidney, lo mabok terus lo bilang sama Evan kalau suka sama dia. Lo malah maksa tidur sama dia.”
“OMG!”
Sherly menaruh kedua tangannya di pipi, raut wajahnya nampak terkejut. Matanya kemudian memandang pada Evan, pantas saja pria itu selalu bersikap dingin padanya. Dengan cepat dia menghampiri pria itu. Dia perlu memperbaiki hubungannya dengan Evan.
“Van.”
Sherly mendudukkan diri di samping Evan. Pria itu masih tak menghiraukannya. Dia sibuk memilih menu yang akan dimakannya. Baru saja Sherly hendak membuka mulut, Evan mengankat tangannya, memanggil salah satu pelayan.
“Mau pesan apa, mas?”
“Mie ayam jamur satu.”
“Baik, mas. Ada lagi?”
“Saya sate maranggi,” ujar Gelar.
“Samain,” ujar Edward.
“Saya dimsum aja.”
Dengan cepat pelayan tersebut mencatat pesanan, kemudian segera menuju stand yang dimaksud. Edward bangun dari duduknya lalu bergegas menuju toilet. Gelar juga menjauh dari meja ketika ponselnya berdering. Kini hanya tinggal Sherly dan Evan saja yang ada di sana.
“Van.. lo kenapa sih dingin banget sama gue?”
“Masa? Perasaan biasa aja.”
“Ngga biasanya lo nolak cium gue.”
“Ck.. lagi banyak pikiran gue. Lagian lo kan masih bisa ***** Ge atau Ed, sama aja.”
“Lo marah ya sama gue?”
“Marah kenapa?”
“Pas kita mau berangkat ke Sidney, gue mabok dan ngomong ngelantur. Kata Ge, gue juga ngajakin elo tidur.”
Evan hanya menghembuskan nafas panjangnya. Sebenarnya dia malas membahas soal ini dengan Sherly. Pikirannya masih tertuju pada pernikahan papanya. Untung saja Edward dan Gelar kembali tepat waktu, Evan jadi tidak perlu melanjutkan perbincangan dengan Sherly. Tak lama kemudian pesanan mereka datang. Tanpa banyak bicara, mereka langsung menyantap pesanan mereka.
☘️☘️☘️
Pukul empat sore, Evan tiba di rumahnya. Di sana Karina dan Fariz sudah menunggunya. Dia segera memeluk kakaknya yang paling cantik. Karina membawa Evan duduk di ruang tengah. Fariz membawa koper Evan ke kamarnya, tugasnya menjaga Evan sudah dimulai sekarang.
“Papa mana?”
“Paling lagi ketemuan sama Alya.”
“Katanya kakak sama abang ngga ke rumah papa lagi. Ini ngapain pada ngumpul di sini?”
“Ya nunggu kamu. Kalau bukan nunggu kamu, kakak ogah ke sini.”
Karina berpura-pura kesal. Dia masih harus berakting tidak menyetujui pernikahan Antonio dengan Alya. Begitu pula dengan Fariz. Evan semakin dibuat terbengong ketika Karina menceritakan perubahan yang dialami Antonio setelah bertemu dengan Alya.
“Serius papa kaya gitu?”
“Iya. Tiap hari papa tuh pakaiannya rapi jali, parfum ngga pernah lepas, rambutnya juga kelimis terus. Kamu tahulah kalau orang lagi falling in love kaya gimana.”
“Wah ngga bener nih. Si papa dipelet kali.”
“Kamu percaya yang begituan?” sela Fariz.
“Ngga sih.”
“Yang jelas papa itu lagi puber kedua. Dan perempuannya itu Alya.”
Evan hanya terdiam mendengar ucapan Fariz. Dia semakin penasaran dengan sosok Alya. Lamunannya buyar ketika mendengar mobil Antonio memasuki pekarangan rumah. Seperti yang dikatakan Karina, ayahnya terlihat berbeda. Pria itu terlihat begitu sumringah, sambil bersiul Antonio masuk ke dalam rumah. Evan segera menyambut kepulangan papanya.
“Papa..” Evan segera mencium punggung tangan Antonio.
“Ngapain kamu pulang? Katanya kamu mau kerja di Sidney,” sindir Antonio.
“Aku pulang buat nyegah papa nikah sama perempuan yang pantesnya jadi anak papa.”
“Datang-datang main mau batalin pernikahan aja. Kemana aja kamu kemarin waktu papa suruh pulang? Kamu setuju atau ngga, pernikahan akan tetap berlangsung.”
“Aku ngga setuju! Pokoknya aku ngga mau punya mama tiri!”
“Kamu setuju atau ngga pernikahan akan tetap terjadi!”
Tanpa mempedulikan protesan Evan, Antonio segera masuk ke dalam kamarnya. Diam-diam pria itu tersenyum. Jebakan Kaisar ternyata berhasil membawa anak nakalnya itu pulang ke rumah. Sekarang tinggal menjalankan rencana kedua, memaksa Evan menyetujui pernikahan dengan Alya.
“Bang.. aku mau ketemu si Alya.. Alya itu. Abang tau di mana rumahnya?”
“Jangan sekarang. Kamu pasti capek. Besok aja abang antar ke café tempatnya kerja.”
“Ya udah, aku mau mandi dulu, gerah.”
Evan bangun dari duduknya, lalu segera masuk ke dalam kamarnya. Karina mengulum senyumnya, akhirnya sang suami bisa menarik adiknya itu pulang. Begitu pula dengan Fariz, dia segera masuk ke kamar Antonio untuk membicarakan pertemuan Evan dan Alya besok.
“Menurut papa gimana? Evan mau ketemu Alya besok.”
“Ketemukan saja.”
“Tapi Evan kan masih anggap Alya nikah sama papa.”
“Biarin aja. Sesekali anak itu keliatan oonnya, hahaha..”
“Wah bener juga. Besok aku mau intip mereka ngobrolin apa aja.”
“Jangan lupa videoin.”
Fariz mengangkat jempol tangannya tanda setuju. Sambil keluar dari kamar, pria itu menghubungi Kaisar. Dia perlu mendiskusikan rencana selanjutnya. Ada kemungkinan besok Evan akan tahu kalau yang akan menikah dengan Alya adalah dirinya, bukan sang papa.
☘️☘️☘️
Cukup lama Evan memandangi gadis di depannya. Dilihat dari penampilan fisiknya, Alya memang cantik. Wajahnya memiliki kecantikan alami tanpa make up. Tidak seperti Sherly yang selalu menghias wajahnya dengan make up. Dilihat begitu intens oleh Evan, Alya jengah sendiri.
“Ada apa mengajakku bertemu?” Alya akhirnya memulai percakapan karena Evan sedari tadi hanya diam saja.
“Apa yang kamu inginkan dari papaku?”
“Apa maksudmu?”
“Tidak usah pura-pura. Apa yang kamu inginkan sampai kamu setuju untuk menikah? Apa yang kamu harapkan dari papaku?”
“Aku tidak mengharapkan apa-apa. Om Antonio adalah orang yang baik, dia juga sangat menyayangi anak-anaknya. Apa salah kalau aku ingin merasakan kasih sayangnya juga?”
“Cih.. kasih sayang. Bilang aja kalau kamu mau uang papaku.”
BRAK!
Evan terkejut karena Alya tiba-tiba menggebrak meja. Matanya menatap nyalang pada pria di depannya. Baru pertama bertemu, tapi pria itu sudah menuduhnya macam-macam. Dengan kesal dia berdiri dari duduknya, ditaruhnya kedua tangan di atas meja. Matanya menatap tajam pada Evan.
“Jaga ya mulut kamu. Kalau bukan karena om Antonio, aku ngga akan pernah menyetujui pernikahan ini. Sebaiknya kamu berkaca, apa ada gadis yang mau menikah denganmu kalau sikapmu menyebalkan seperti ini.”
Kesal mendengar kata-kata Alya, Evan bangun dari duduknya. Dia melakukan hal yang sama seperti Alya. Kedua tangannya bertumpu pada meja, dan matanya menatap tak berkedip pada gadis itu.
“Tidak usah mengurusi diriku. Sebaiknya kamu mundur saja, jangan pernah bermimpi masuk ke dalam keluargaku. Aku akan menggagalkan pernikahan ini.”
“Coba saja kalau bisa. Aku akan sangat berterima kasih kalau kamu bisa membatalkannya. Aku heran om Antonio itu baik sekali, begitu juga dengan kak Karin dan bang Fariz, tapi kenapa kamu menyebalkan sekali!”
Tanpa memberikan kesempatan Evan untuk membalas ucapannya, Alya segera meninggalkan meja tersebut. Nana yang sedari tadi hanya mengintip dari kejauhan segera menghampiri sahabatnya itu.
“Gimana?”
“Sumpah tuh cowok nyebelin abis. Aaaarrrgggghhh… pengen gue bejek-bejek itu mulutnya.”
“Sabar Al.. sabar.. orang sabar vantatnya lebar, hahaha..”
“Elo tuh..”
“Ya mau gimana lagi, biar nyebelin tapi kan dia calon suami elo. Tapi ganteng loh, ngga malu-maluin deh dibawa ke kondangan,” Nana terkikik geli mendengar ucapannya sendiri.
“Au ah.. gue mau pulang. Bête gue gara-gara ketemu tuh makhluk nyebelin.”
Sambil menghentakkan kakinya, Alya masuk ke café lewat pintu belakang. Dia segera menuju loker untuk mengambil tasnya. Jam kerjanya sudah selesai sejak satu jam lalu, tapi dia harus menunda kepulangan karena Evan mengajak bertemu. Di belakangnya Nana menyusul, dia juga akan pulang bersama dengan sahabatnya.
Sementara itu, setelah ditinggalkan Alya, Evan juga segera beranjak dari mejanya. Dia kembali ke mobil sang kakak. Fariz yang sudah selesai merekam perbincangan Alya dan Evan segera kembali ke mobilnya.
“Gimana?” tanya Fariz begitu Evan masuk ke dalam mobilnya.
“Beneran rese tuh cewek. Papa kok bisa-bisanya sih suka sama cewek bar-bar kaya gitu.”
“Namanya juga cinta.”
“Udah jalan, bang.”
“Nanti nunggu Alya dulu.”
“Mau ngapain?”
“Papa telepon tadi, aku disuruh nganter Alya pulang.”
“Hadeuh..”
Evan memundurkan jok mobil yang didudukinya. Dia memposisikan tubuhnya setengah berbaring. Kedua tangannya dilipat di dada, kemudian memejamkan matanya. Fariz segera turun dari mobil ketika melihat Alya dan Nana keluar dari café. Pria itu bergegas menghampiri calon adik iparnya.
“Al.. ayo abang antar pulang.”
“Ada Evan ya?”
“Iya.”
“Males ah, bang. Orangnya nyebelin banget.”
“Hahaha.. dia emang kaya gitu. Tapi kalau kamu udah kenal dia, anaknya baik kok. Namanya juga perkenalan pertama. Mungkin aja dia salah paham sama kamu. Ayo abang antar pulang.”
“Tapi bang..”
“Aku bakalan dimarahin papa kalau kamu ngga mau diantar pulang. Please Al..”
“Ayo, Al. Mayan ngirit ongkos,” bisik Nana.
Dengan berat hati Alya mengikuti langkah Fariz menuju mobilnya. Nana pun ikut dengan sahabatnya itu. Evan yang sedari tadi memperhatikan dari balik kaca cukup heran melihat sikap Fariz pada Alya.
Katanya ngga setuju papa nikah sama Alya, tapi kenapa bang Fariz kayanya dekat banget sama Alya?
☘️☘️☘️
Ternyata Alya ngga mudah tertindas sama Evan ya😂
Alya tidak tahu itu - jadi bikin Alya merasa diabaikan - tak di sayang ayahnya.
Gak jadi kabur Bro - jadi menikah nih /Facepalm/