Kata orang, beda antara cinta dan benci itu sangat tipis. Kita bisa begitu mencintai dan sangat mudah berubah menjadi benci, begitu pula sebaliknya.
Begitupun kisah Cinta Arjuna, dimana benci mengalahkan logika. Namun, berubah menjadi cinta yang tidak terkira dan sangat pas rasanya disebut budak Cinta.
Zealia Cinta yang harus menderita dengan mengorbankan hidupnya menikah dengan Gavin Mahendra agar perusahaan yang dirintis oleh Omar Hasan (ayahnya) tetap stabil. Hidupnya semakin kacau saat dia menggugat cerai Gavin dan menjadi kandidat pengganti CEO di perusahaan tempatnya bekerja.
Arjuna Kamil, putra pemilik perusahaan menuduh Zea ada main dengan Papanya. Berusaha mendekati Zea untuk membuktikan dugaannya.
Siapa dan bagaimana rasa benci dan cinta mereka akhirnya berbalik arah? Simak terus kelanjutan kisah Zea, Arjuna dan Gavin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tunggu Saja
Walaupun tidak ada jejak atau tanda yang menjelaskan kalau sarapan dan air minum yang tersedia di meja adalah Arjuna yang membawakan untuk Zea, tapi petunjuk hanya memang mengarah kepada dia. Tidak ada anggota keluarga Zea yang tahu kondisi Zea apalagi sampai peduli dengan keadaannya.
Setelah dua hari absen karena jemari tangannya yang terluka, Zea akhirnya kembali ke kantor. Arjuna yang juga dua hari ini tidak menemui Zea setelah dia mengantarkan sarapan secara diam-diam, berada dalam kebimbangan dan kegalauan yang dia sendiri tidak tahu alasannya. Tidak ada semangat untuk melanjutkan misinya menuju posisi CEO melalui jabatan OB. Ada hal yang mengganjal di hatinya.
Arjuna yang sedang melamun di pantry menoleh ke arah Ucup yang sedang mengaduk teh manis. “Untuk siapa?” tanya Arjuna karena seingat dia semua staf sudah diantarkan minuman sesuai request.
“Ibu Zea, dia sudah masuk. Kasihan ya tangannya masih diperban. Aku nggak bisa bayangkan, gimana dia melepas dan pakai baju. Gimana dia mandi juga aktivitas lainnya. Kalau makan sih bisa pakai tangan kiri,” seloroh Ucup.
Dalam hati Arjuna mengiyakan juga apa yang dikhawatirkan Ucup. Tapi Arjuna masa bodoh dengan hal tersebut, karena Zea bisa saja memanggil saudara atau kerabatnya untuk membantu Zea beraktivitas di rumahnya.
Arjuna mengekor langkah Ucup yang menuju ruangan Zea. Ruang kerja Zea ramai dikunjungi para staf divisi marketing yang sekedar menanyakan kabar dan menanyakan kronologis jemari Zea yang terluka, dia pun urungkan niat untuk melihat kondisi Zea yang dia yakini baik-baik saja.
Saat mengerjakan tugasnya, Zea didampingi Nia untuk membantunya. Seharian ini Nia benar-benar menjadi asisten Zea. Saat jam makan siang, Zea memperkenankan Nia untuk meninggalkan ruangan dan beristirahat. Sedangkan dia sendiri memilih tetap berada di ruangannya, berpindah duduk di sofa agar lebih nyaman dan mencoba membuka lunch box yang dia pesan secara online.
Lantai gedung dimana Arjuna berada cukup sepi karena hampir semua pegawai keluar untuk makan siang. Sedangkan Arjuna masih berada di pantry, baru saja mengakhiri panggilan telepon dengan bawahan di perusahaannya sendiri. Sudah menitip makanan pada Ucup karena malas harus turun ke lobby dan keluar mencari rumah makan, akhirnya Arjuna memilih tetap di tempat.
Arjuna melihat pintu ruang kerja Zea yang terbuka saat hendak ke toilet. Berjalan mendekat dan masuk tanpa mengetuk pintu. Zea yang sedang duduk di sofa dikejutkan dengan Arjuna yang berdiri di tengah pintu. Keduanya saling tatap dan membuat suasana menjadi canggung.
"Ngapain udah masuk, memang sudah bisa buat kerja jarinya?" tanya Arjuna yang sudah duduk di samping Zea sambil memperhatikan jemari Zea yang masih dibalut perban.
Zea memandang Arjuna yang meraih lunch box miliknya lalu dibuka. "Hm, kayaknya enak nih. Kenapa belum dimakan? Mau disuapin?"
"Nggak usah nyebelin deh, mending pergi dari pada julid. Dari tadi aku berusaha buka tutupnya tapi susah."
"Nyendoknya juga susah 'kan. Ya sudah sini disuapin." Arjuna mengambil sendok dan mengisinya lalu mengulurkan ke depan mulut Zea yang masih menutup rapat mulutnya dan menatap Arjuna. Keduanya saling tatap untuk sekian detik.
"Aaaa," titah Arjuna.
"Juna, aku bisa sendiri."
"Ck, kalau bisa sendiri ini makanan pasti sudah habis dari tadi. Ayo cepat, nanti keburu ada yang datang dan lihat aku suapi Ibu. Digosipin lagi terus nangis -nangis dan ... aduh," pekik Arjuna sambil menjauhkan tubuhnya karena Zea mencubit perut Arjuna dengan tangan kirinya. "Nyubit sih, atau sengaja mau pegang-pegang tubuh aku. Bilang dong, nanti aku kasih tau area yang enak untuk dipegang.”
“Nggak usah kurang aja ya kamu,” sahut Zea.
“Ayo buka mulutnya!" titah Arjuna dengan sendok masih berada di depan mulut Zea yang akhirnya membuka mulutnya perlahan dan pasrah disuapi oleh Arjuna.
"Sudah, cukup," ujar Zea setelah sebagian menunya sudah berpindah ke perut.
"Ini belum habis."
"Tapi aku sudah kenyang." Tanpa Zea duga, Arjuna malah menghabiskan sisa makanan Zea.
"Sayang, Bu. Jangan suka membuang makanan,” nasihat Arjuna ketika Zea menatapnya aneh.
Ponsel Zea yang ada di atas meja sofa berdering, Arjuna sempat melirik layar ponsel yang menunjukkan nama penelpon.
Pengacara, apa ini terkait perceraiannya, batin Arjuna.
Dari ucapan Zea menjawab telepon, Arjuna bisa menyimpulkan kalau Zea mengadakan janji temu sore ini.
Terdengar langkah kaki dan suara obrolan, sepertinya para rekan kerja Zea sudah mulai berdatangan. Arjuna pun beranjak dari duduknya meninggalkan ruangan Zea tanpa pamit sama seperti saat pria itu masuk tanpa menyapa.
"Dasar aneh, udah kayak jelangkung aja datang pergi semaunya."
...***...
Zea sudah berada di dalam taksi menuju kantor pengacara yang akan ditunjuk untuk mengurus perceraiannya. Dengan kondisi tangannya yang masih terluka, Zea belum bisa mengemudikan mobilnya. Termasuk tadi pagi, dia datang ke kantor menggunakan taksi.
Keluar dari taksi di lobby gedung dimana kantor pengacaranya berada. Karena sudah membuat janji tentu saja tidak sulit bagi Zea bertemu dengan Herman pengacaranya.
"Sore Ibu Zea, sapa Herman saat Zea masuk ke ruangan pria itu diantar oleh asisten Herman.
"Sore juga Pak Herman," jawab Zea.
"Silahkan duduk. Ah, mau minum apa?"
Zea menoleh ke arah asisten Herman. "Air mineral saja."
“Jadi, bagaimana?” tanya Herman memastikan keinginan dan keputusan Zea. Sebelumnya Zea sudah berkonsultasi terkait niatnya bercerai dengan Gavin. Sudah menyiapkan dan mempersiapkan dokumen yang dibutuhkan ketika Zea sudah memutuskan akan bercerai dengan Gavin.
Melihat ada perban di jemari Zea, Herman menanyakan apakah itu ada kaitannya dengan Gavin. Khawatir jika Zea mengalami kekerasan dan bukti visum bisa dijadikan bukti dan materi gugatan perceraian.
“Berapa lama kira-kira pengadilan akan mengetuk palu dan saya resmi bercerai?”
“Tergantung prosesnya, kalau pihak tergugat tidak datang selama sidang termasuk juga tidak menolak mediasi biasanya akan cepat prosesnya. Ini dokumennya sudah lengkap, akan saya daftarkan besok. Ibu Zea tinggal tunggu kabar dari saya.”
Zea mengangguk paham lalu pamit undur diri meninggalkan lantai dimana kantor pengacaranya berada. Tanpa diduga saat menunggu taksi di lobby ada seseorang yang menghampiri Zea. Orang yang tidak ingin ditemui dan sudah dihindari selama beberapa hari ini.
“Zealia Cinta, ternyata kita bertemu di sini.”
Deg!
“Ma-mas Gavin.”
“Wah, ternyata kamu masih ingat dengan suamimu,” ejek Gavin. Zea mencengkram ponsel yang dia pegang.
“Hei, ada apa dengan tanganmu?” Gavin mengulurkan tangannya, Zea langsung reflek menjauhkan tangannya.
“Ini bukan urusanmu.”
Gavin terkekeh pelan, “Semakin kesini kamu semakin berani. Apalagi setelah kabur dari rumah. Apa Ayahmu tidak bilang kalau aku memberikan sedikit kejutan?”
Zea memejamkan matanya sekilas kemudian kembali menatap Gavin. “Dewasalah dan jangan menjadi pengecut dengan selalu memberikan ancaman. Kemana arogansimu kalau aku minta cerai kamu kaitkan semua dengan urusan bisnis,” tutur Zea lirih. Sadar saat ini dia berada di tempat umum, tidak mungkin dia menanggapi Gavin dengan emosi atau berteriak karena hanya akan mempermalukan diri sendiri.
“Untuk apa kamu di sini?” tanya Gavin. Dia masih penasaran dengan kehadiran Zea di gedung tersebut dimana banyak tenant perusahaan kecil atau lembaga konsultasi.
“Tunggu saja, kamu akan tahu nanti,” jawab Zea kemudian meninggalkan Gavin.
kpn kira2 zea bisa bahagia thor...
angel wes..angel..
piye jun....
bersambung....